Rethinking
Research
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
09 Januari 2017
RISET
mungkin lumrah dan lebih sering dilakukan di dunia perguruan tinggi. Namun,
riset pada pendidikan dasar dan menengah yang dilakukan para guru bisa jadi
masih berupa ilusi. Jangankan melakukan riset, faktanya guru lebih banyak
disibukkan dengan urusan administrasi pengajaran berupa penyiapan dokumen dan
bahan evaluasi.
Hampir
tak ada bimbingan teknis yang tajam dan jernih bagi guru-guru di tingkat
dasar dan menengah. Kalaupun mereka mempunyai penugasan seperti penelitian
tindakan kelas (PTK), semua dilakukan bukan atas fakta yang terjadi di kelas
dan sekolah, melainkan lebih banyak sebagai dokumen pelengkap persyaratan kenaikan
pangkat dan sebagainya.
Pendek
kata, tradisi riset yang sesungguhnya di tingkat dasar dan menengah masih
terbilang sangat rendah, apalagi jika ukurannya publikasi ilmiah hasil riset
guru.
Mengapa
para guru dan kepala sekolah sulit dalam melakukan riset?
Karena
apa yang mereka ajarkan lebih banyak berorientasi pada buku teks resmi dan
miskin pengembangan bahan.
Pada
akhirnya para guru dan kepala sekolah enggan mengajarkan sesuatu secara
objektif berdasarkan fakta yang terjadi di sekitar anak didik dan sekolah.
Padahal,
objektivitas ialah persyaratan utama bagi seorang peneliti.
Jiwa
peneliti tidak tumbuh karena para guru dan kepala sekolah tidak pernah
melihat objektivitas keseharian sebagai sesuatu yang bisa dijadikan bahan
riset pembelajaran.
Padahal,
menurut Foucault (2007), objektivitas itu sangat sederhana dan sangat mungkin
diteliti setiap saat.
Budaya riset di sekolah
Prinsip
pembelajaran merupakan tanggung jawab bersama yang mudah untuk dievaluasi
secara bersama adalah kunci pertama membangun budaya riset di sekolah dengan
baik.
Prinsip
ini sebenarnya sejalan dengan rencana tindakan kelas (action class research
plan) yang dimiliki rata-rata guru di setiap sekolah.
Lesson design
adalah keterampilan pertama yang harus dimiliki guru.
Setelah
itu, guru seharusnya dilatih untuk membuat portofolio yang mencatat hampir
seluruh peristiwa yang terjadi di kelas, baik yang menyangkut daya tanggap
anak terhadap mata pelajaran, sikap belajar, serta keinginan untuk
berkembang.
Setelah
itu, guru diwajibkan secara sistematis membuat jurnal dalam bentuk
curriculuum revision check list yang wajib di-share kepada teman guru
lainnya.
Dengan
demikian, hampir seluruh tingkatan level manajemen sekolah akan mengetahui
apa yang dilakukan para guru agar mempermudah untuk melakukan evaluasi dan
pengayaan materi sesuai dengan yang diperlukan guru.
Problem
mendasar untuk membangun kebiasaan melakukan riset kelas secara sederhana
berdasarkan apa yang terjadi sehari-hari (habit
of action research) bagi guru memang tak mudah.
Manajemen
sekolah harus serius mencari seribu satu cara agar seluruh sivitas akademika
mencintai sekolah mereka.
Sebagai
contoh di Sekolah Sukma Bangsa, Aceh, para guru beruntung karena secara
terstruktur manajemen sekolah memiliki perangkat sistem manajemen yang
integral.
Itu
karena ketersediaan sarana sekolah yang memadai dan dikembangkan menjadi
informasi sekolah terpadu online (SISTO) yang memudahkan para guru dalam
membuat jurnal, portofolio, dan curriculuum
revision check list.
Semua
bentuk tindakan tersebut kemudian menjadi sumber belajar bersama yang selalu
dibagi, dianalisis, dan direfleksikan dengan rencana tindakan-tindakan
lainnya ke depan.
Hal
itu semua dilakukan dalam rangka menciptakan tujuan pembelajaran yang
mendukung potensi siswa untuk berkembang sesuai dengan talenta mereka.
Ada
pernyataan menarik dari Gabel (1995) yang patut dikutip sehubungan dengan
action research: "I feel that we
need to make a greater effort to involve teachers in Action Research.
Teachers already know much about teaching--more than many of us do......It is
through joint research studies that science instruction in the schools will
improve, and we need to make a great effort in this regard." Dari
sini kita bisa berkesimpulan bahwa action research memiliki potensi untuk
menciptakan peningkatan kualitas
yang
relatif stabil di sekolah.
Hal
ini memberikan kemungkinan baru kepada pendidik untuk melakukan refleksi
terhadap cara mengajar mereka, mencari dan menguji ide, metode, material
baru, serta melihat seberapa efektifnya suatu pendekatan baru diterapkan di
sekolah.
Sejalan
dengan pemikiran itu, Margaret Walshaw dalam Working with Foucault in Education (2007) juga menyarankan agar
proses pengajaran dilakukan berdasarkan pengalaman keseharian siswa agar
proses risetnya juga mudah untuk dilakukan para guru.
Keunikan
lain dari riset berdasarkan catatan keseharian di kelas dan sekolah adalah
memudahkan guru untuk saling berbagi catatan tentang bakat dan minat siswa
yang sesungguhnya.
Riset-riset
pendidikan memang ditujukan agar para guru rajin berbagi temuan sesuai dengan
mata pelajaran yang mereka ampu dengan para guru lain. Mengapa hal ini
penting?
Karena
riset-riset pendidikan yang berkembang saat ini tidak melulu berkaitan dengan
kurikulum, manajemen sekolah, aspek pedagogis guru dan kepala sekolah,
melainkan juga berkaitan langsung dengan lingkungan sosial dan budaya siswa
baik di kelas, sekolah dan di luar sekolah.
Implikasi riset
Implikasi
riset-riset pendidikan yang berbasis sosial dan budaya sebenarnya dalam
jangka panjang akan membuka mata semua pihak bahwa penting untuk mengajarkan
model-model evaluasi pendidikan secara bertahap dan berkelanjutan yang
disesuaikan dengan hasil-hasil riset yang dilakukan sekolah.
Saya
membayangkan 10 tahun ke depan akan banyak sekolah dan guru yang memiliki
kemampuan dan keterampilan evaluasi proses belajar yang mereka lakukan bukan
hanya dengan bagaimana menilai sikap anak, tetapi lebih dari itu,
mengombinasi penilaian kognitif, afektif dan psikomotorik secara bersamaan.
Inilah
pendekatan evaluasi yang disebut sebagai kesiapan penilaian kognitif.
Penilaian
kesiapan kognitif menuntut semua pemangku kepentingan bidang pendidikan
memiliki kesadaran bahwa menilai dan mengevaluasi siswa harus komprehensif melalui
terawang pengetahuan, keterampilan, dan atribut.
Atribut,
menurut bahasa Harold F O'Neil, et al, dalam Teaching and Measuring Cognitive
Readiness (2013), adalah sebuah atribut independen yang lebih dari sekadar
menilai sikap siswa.
Bentukan
dari sikap pasti memiliki keterkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
siswa.
Atribut
juga lebih luas daripada sekadar kompetensi.
Jika
kompetensi bisa dilacak dari dasar pengetahuan dan keterampilan siswa,
atribut harus dilakukan secara terus-menerus dengan menilai basis pengetahuan
dan keterampilan siswa secara bersama-sama.
Beberapa
pendekatan dalam melakukan evaluasi jenis ini adalah dengan melihat 1)
bagaimana seorang siswa dapat beradaptasi dengan pengetahuan, keterampilan
dan lingkungannya; 2) memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah; 3)
memiliki keterampilan berkomunikasi secara efektif; 4) memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan; serta 5) memiliki kesadaran kekinian terhadap
lingkungan sekitar secara baik. Semoga riset-riset kependidikan berbasis
sosial dan budaya bisa dimulai di era Jokowi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar