Membayar
Negara agar Melayani
Amzulian Rifai ; Ketua
Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 09 Januari
2017
Ada
pro dan kontra ketika Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengawali
2017 dengan menaikkan berbagai tarif sebagai biaya administrasi pelayanan. Jangankan
rakyat biasa, mengutip media, Presiden Jokowi juga mempertanyakan persentase
kenaikan biaya pelayanan yang naik cukup signifikan itu. Padahal,
penetapan tarif baru itu melalui peraturan pemerintah (PP) yang diteken
Presiden. Ditambah lagi pernyataan Kapolri bahwa “kenaikan ini bukan karena
dari Polri”, bertambah bingung lagi jadinya.
Bagi
publik, selain persentase kenaikan itu signifikan, biasanya berimplikasi
terhadap harga-harga lain. Biasanya, kenaikan komponen transportasi berimbas
pada ongkos jalan. Ada saja justifikasinya. Sebagai negara demokratis, wajib
hukumnya mendengarkan publik yang terkena dampak dari kenaikan tarif layanan
itu.
Di
antara alasannya adalah soal ini berkaitan langsung dengan kepentingan
masyarakat yang sudah berat beban hidupnya. Sejak 6 Januari 2017 secara
nasional pemerintah telah memberlakukan PP Nomor 60/ 2016 tentang Jenis dan
Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak. Ada kenaikan signifikan biaya
administrasi terhadap beberapa produk layanan Polri.
Biaya
administrasi untuk penerbitan baru dan penggantian tiap lima tahun STNK
kendaraan roda dua dan tiga naik dari Rp50.000 menjadi Rp100.000. Sedangkan
untuk kendaraan roda empat atau lebih menjadi Rp200.000 dari Rp75.000.
Pengurusan dan penerbitan BPKB mengalami kenaikan signifikan.
Roda
dua dan roda tiga, tarif sebelumnya Rp80.000, kini diwajibkan membayar Rp225.000
dan roda empat atau lebih sebesar Rp375.000 dari sebelumnya Rp100.000. Selain
itu, biaya baru penerbitan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) untuk roda
dua dan roda tiga dari Rp30.000 menjadi Rp60.000, dan roda empat atau lebih
dari Rp50.000 menjadi Rp100.000.
Ada
ungkapan bahwa “payah jika negara sudah berkehendak.” Mestinya kehendak
negara yang berimplikasi luas terhadap publik tidak dilakukan serta- merta
begitu saja. Apalagi, alasan dan argumentasinya hanya dipahami oleh negara.
Begitu juga soal kenaikan biaya administrasi pengurusan STNK dan
kawan-kawannya itu.
Kesan
terjadi kenaikan mendadak itu tidak terelakkan karena PP baru ditandatangani
oleh Presiden pada 2 Januari 2017 dan berlaku secara nasional pada 6 Januari
2017. Tidak banyak PP yang mengalami proses begitu singkat seperti ini.
Minus Pelibatan Publik
Beberapa
pertanyaan publik pasti muncul atas kenaikan biaya STNK dan lain-lain ini.
Saya tidak bisa menjawab atas pertanyaan biaya apakah ini? Jika terkait
pajak, bukankah semua kendaraan pasti dikenakan pajak. Bagaimana mungkin ada
uang administrasi pengurusan STNK atau BPKB.
Gagal
pahamnya, masyarakat sebagai wajib pajak dikenakan “pajak” atau biaya atas
tindakannya untuk membayar pajak kendaraan bermotor. Padahal, “melayani” itu
kewajiban negara untuk melakukannya, jangan dipungut biaya untuk melayani.
Bukankah semua pungutan itu sebagai uang administrasi, bukan uang pajak?
Sebagaimana
kebijakankebijakan sebelumnya yang sensitif, seringkali dikemukakan telah ada
pelibatan publik walaupun tetap ada juga tidak paham publik mana yang
dilibatkan. Apalagi jika diungkapkan sudah ada persetujuan DPR RI. Salah satu
konsekuensi negara demokratis dicirikan dengan pelibatan publik dalam
kebijakan- kebijakan strategisnya, termasuk saat akan menerbitkan produk
perundang-undangan dalam berbagai jelmaannya.
Salah
satu kelemahan kita selama ini berlaku kontradiktif dengan apa yang
dikumandangkan. Di satu sisi didengungkan sebagai negara hukum demokratis
yang berkeadilan, namun dalam praktik seringkali bertentangan. Komitmen itu
mestinya berupa penerapan tata kelola kepemerintahan yang baik sebagai suatu
keniscayaan.
Tiga
hal wajib diterapkan dalam konteks tata kelola kepemerintahan yang baik yaitu
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Tiga prinsip ini juga berlaku
bagi PP Nomor 60/2017. Pembuat undang-undang pada era demokratis sekarang ini
sadar benar urgensi pelibatan publik dalam penerbitan peraturan
perundang-undangan.
Untuk
tidak menyebut semua ada beberapa ketentuan yang mewajibkan ada pelibatan
publik ini. Idealnya, publik terdampak suatu aturan dilibatkan dalam proses
pembuatannya. Simak saja Pasal 31 Undang- Undang Nomor 25/2009 tentang
Pelayanan Publik.
Pasal
ini menegaskan bahwa penentuan biaya/tarif pelayanan publik harus dengan
persetujuan DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten/ kota, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Pasal ini saja mengharuskan penyelenggara negara untuk
meminta persetujuan para wakil rakyat terlebih dahulu apabila akan menaikkan
tarif pelayanan publik.
Pertanyaannya,
apakah kenaikan tarif berdasarkan PP Nomor 60/2016 tersebut telah melalui
persetujuan DPR? Biasanya, persetujuan “semacam itu” tidakakansenyapsaja,
tanpa kehebohan yang melibatkan perdebatan publik. Masih dalam Pasal 31
tersebut bahwa tindakan menaikkan tarif tersebut harus berda-sarkan peraturan
perundang-undangan.
Di
antara aturan yang harus dipatuhi adalah UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangundangan. Masuk dalam kategori peraturan perundang-
undangan adalah; a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-undang/peraturan
pemerintah pengganti undang- undang; d) Peraturan pemerintah; e) Peraturan
presiden; f) Peraturan daerah provinsi; dan g) Peratur0an daerah kabupaten/
kota.
Bab
XI khusus memuat tentang Partisipasi Masyarakat. Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Pada tahapan ini seharusnya institusi yang menginisiasi
melakukannya karena masukan dapat secara lisan dan/ atau tertulis melalui: a.
rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d.
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Lantas Bagaimana?
Salah
satu kelemahan pembuatan perundang-undangan kita adalah rendahnya pelibatan
para pemangku kepentingan. Banyak peraturan dibuat tergesa-gesa atas dasar
kebutuhan pemerintah saja. Di daerah- daerah misalnya perda seringkali dibuat
untuk kepentingan menaikkan pemasukan anggaran daerah semata.
Dalam
soal PP Nomor 60/2016, tentu pemerintah paling paham apa yang
melatarbelakangi kenaikan biaya STNK dan BPKB. Seperti biasa, apa pun alasan
pemerintah, rakyat hanya dapat menggerutu, berceloteh ke mana-mana, namun
ending-nya, kehendak pemerintah yang mesti dijalani. Menurut Kapolri,
kenaikan biaya administrasi STNK dan kepengurusan suratsurat kendaraan
bermotor lain karena harga material untuk pembuatan surat kendaraan bermotor
tersebut naik.
Kita
juga bertanya-tanya, apakah pada era sekarang bukannya negara semakin
memanfaatkan teknologi sehingga pelayanan bersifat paperless? Ini artinya,
kenaikan kertas tidak menjadi alasan kenaikan harga. Malah sebagian negara
maju sudah meninggalkan kepemilikan buku BPKB, STNK dalam bentuk hard copy
yang riskan jika dibawa ke mana-mana.
Artinya,
dokumen tersebut mestinya tersimpan dalam bentuk elektronik. Jika ada razia
surat kendaraan, tinggal membuka telepon genggam yang menyimpan data yang
diminta. Lantas bagaimana? Pertanyaan ini penting karena sepertinya “suka
atau tidak suka” Peraturan Pemerintah Nomor 60/ 2016 telah diberlakukan sejak
6 Januari 2017. Ada banyak pro dan kontra soal ini.
Berbagai
bentuk diskusi terjadi di berbagai media. Ada banyak grup WhatsApp dan
Facebook yang berdiskusi soal ini. Mayoritas berkeberatan dengan besaran dan
cara kenaikan biaya tersebut. Salah satu usulan meminta pemerintah segera
merevisi PP tersebut, bahkan jika mungkin membatalkannya.
Revisi
dilakukan terkait biaya-biaya yang naik terlalu tinggi. Beberapa organisasi
nonpemerintah telah menyuarakan sikap tegasnya agar Presiden mengurungkan PP
ini. Berbagai diskusi dan wacana juga terus berkembang. Namun, pertanyaannya,
apakah mungkin pemerintah bersedia membatalkan PP sebagai dasar pungutan
kepada rakyat karena akan menambah pemasukan negara dalam jumlah cukup besar?
Prediksi
banyak orang, “mustahil” pemerintah bersedia melakukannya karena sudah
terbayang dana masuk dengan cara menaikkan tarif ini. Apalagi kebutuhan
mengisi APBN kita juga signifikan dengan pemasukan sekitar Rp1,7 triliun
hanya dari pemberlakuan PP Nomor 60/2016 tersebut. Sebagai perbandingan,
total sumbangsih Polri lewat PNBP pada 2015 adalah Rp8,0 triliun.
Ada
lagi kemungkinan mengajukan judicial review terhadap PP kepada Mahkamah
Agung. Adakah yang akan melakukannya dan mungkinkah hasilnya akan sejalan
dengan kehendak publik? Pasti ada keraguan pula. Wacana lain melakukan
executive review atau administrative review atas dasar maladministrasi.
Namun,
jika ini menyangkut kepentingan eksekutif, prosesnya lamban. Ada pula yang
meminta pemerintah untuk menunda penerapannya. Kepala Divisi Humas Polri
Irjen Pol Boy Rafli Amar menegaskan, tidak ada kenaikan pajak kendaraan, yang
ada saat ini merupakan kenaikan biaya administrasi pembuatan STNK, SIM,
maupun BPKB.
Membayar
pajak memang kewajiban setiap warga negara, tetapi ada kutipan biaya
administrasi untuk membayar pajak itu yang sulit dipahami. Pengenaan biaya
administrasi untuk membayar berbagai jenis pajak kendaraan sama saja halnya
dengan membayar negara agar melayani rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar