Teror
Global dan Respons Indonesia
Broto Wardoyo ; Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 11 Januari
2017
Ada
tiga temuan menarik dalam tren teror global yang dilaporkan oleh Global
Terrorism Index (GTI) 2016, laporan yang mereviu aktivitas teror sepanjang
2015.
Pertama,
terjadi peningkatan serangan yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang
berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), baik dalam skala
serangan (dari 13 negara pada 2014 menjadi 28 negara pada 2015) ataupun
jumlah korban di negara-negara maju (dari 18 korban pada 2014 menjadi 313
pada 2015).
Kedua,
terjadi pergeseran pelaku teror dari kelompok terorganisasi ke sel-sel kecil
atau individu yang mengklaim berafiliasi dengan ISIS.
Ketiga,
terdapat peningkatan aktivitas kelompokkelompok teror, termasuk ISIS, di
dunia maya, termasuk dalam proses perekrutan teroris baru.
Tren
tersebut tampaknya terus bertahan sepanjang 2016 di mana serangkaian aksi
teror yang berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia,
diklaim dilakukan oleh ISIS dan kelompok atau individu yang berafiliasi
dengan ISIS. Metamorfosis jejaring teror ISIS memiliki beberapa perbedaan
jika dibandingkan dengan al-Qaeda.
Pertama,
penataan organisasional ISIS berbeda dengan al-Qaeda. Tidak seperti
pendahulunya, ISIS memiliki kemandirian dalam mengumpulkan pendanaan bagi
aktivitas terornya, sementara al-Qaeda mengandalkan para penyandang dana
untuk menyuplai kebutuhan operasional mereka. Aliran dana yang masuk ke al-Qaeda
kemudian didistribusikan ke cabang-cabang mereka di berbagai tempat.
Jaringan
al-Qaeda sendiri dibangun oleh keberadaan mantan jihadis yang sebelumnya
bergabung dengan kelompok tersebut. Artinya, dibutuhkan level kepercayaan
yang memadai bagi pembentukan cabang-cabang teror al-Qaeda. Meskipun
cabang-cabang al-Qaeda tersebut mengikuti arahan dari kantor pusat, mereka
juga dibekali dengan kemandirian dalam melakukan operasinya. Dengan karakte
ristik tersebut, upaya untuk membongkar jejaring dan mematikan pergerakan
al-Qaeda dilakukan dengan metode follow
the person dan follow the money.
Amerika
Serikat dalam perang global melawan teror melakukan berbagai upaya untuk
mencari tokoh-tokoh kunci al- Qaeda dan memotong kapasitas teror al-Qaeda
dengan menghentikan aliran pendanaan mulai dari hulunya. Penggunaan sanksi
ekonomi dengan pembekuan aset menjadi langkah yang paling jamakdilakukan.
Tidak seperti al-Qaeda, ISIS membangun jaringannya secara berbeda. ISIS tidak
membangun waralaba.
Apa
yang dikenal sebagai cabang-cabang ISIS biasanya merupakan kelompok lokal,
atau bahkan individu, yang menyatakan berafiliasi dengan ISIS. Beberapa kelompok
tersebut merupakan kelompok yang memiliki tatanan yang mapan, termasuk Boko
Haram di Nigeria, namun beberapa yang lain cenderung tidak terorganisasi
dengan baik. Keterikatan antara ISIS dan kelompok-kelompok, atau
individu-individu, tersebut tidak harus ditandai dengan ada hubungan tertentu
seperti keterlibatan jihadis atau aliran dana dan sumber daya lain.
Jaringan
yang terbangun, dengan demikian, bersifat lebih longgar jika dibandingkan
dengan jaringan yang dimiliki oleh al-Qaeda. Catatan GTI 2016 misalnya
menunjukkan bahwa lebih dari setengah pelaku teror pada 2015 yang terkait
ISIS pada dasarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan ISIS.
Kedua,
ISIS ada pada kemampuannya untuk meraup penghasilan secara mandiri dan tidak
menggantungkan pendanaan kegiatannya dari sumber-sumber eksternal.
ISIS
terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi, termasuk berjualan minyak di pasar
gelap, untuk mendanai kegiatannya. Selain itu, ISIS juga tidak sepenuhnya
bergantung pada keberadaan para jihadis dari luar Irak dan Suriah. Kajian
RAND (2016) menunjukkan bahwa dari 900.000-an kombatan yang mereka miliki,
jumlah kombatan asing yang dimiliki ISIS hanya berkisar 20.000 hingga 50.000
orang.
Dengan
karakter tersebut, ISIS lebih merupakan brand teror yang sifatnya terbuka dan
bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa merasa perlu membangun ikatan
materialistik dengan kantor pusatnya. Sebagai sebuah brand, ISIS memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki oleh al-Qaeda. Kelompok ini telah mampu
mewujudkan keberadaan ”negara Islam” di Irak dan Suriah. Dengan penguasaan
wilayah di dua negara tersebut, ISIS, dengan demikian, pada dasarnya
merupakan kombinasi antara kelompok teror dan kelompok insurgensi.
Ketiga,
bukan hanya jaringannya yang unik, pola kerja ISIS pun berbeda dari kelompok-kelompok
yang ada sebelumnya.
Sistem
sel menjadi fondasi utama al-Qaeda dalam melakukan aktivitasnya. Masing-masing
sel bekerja secara mandiri dan memiliki personel dengan fungsi dan tugas yang
berbeda. Peran ideolog berbeda dengan perencana dan pelaku serangan. Pola
kerja ISIS lebih beragam jika dibandingkan dengan al-Qaeda. Kantor pusat ISIS
lebih mirip seperti kelompok insurgen.
Beberapa
kelompok yang lebih mapan yang berafiliasi dengan ISIS menggunakan model sel,
dan beberapa yang lain beroperasi dengan jauh lebih sederhana. Seorang senior
di Kajian Keamanan Indonesia menyebut pola terakhir ini sebagai sistem atom
dan bukan lagi sel. ISIS memperkenalkan ”atomisasi teror” di mana pelaku
teror tidak lagi membutuhkan pembagian peran dalam melakukan serangan.
Pelaku
bisa menjadi suporter, ideolog, perencana, dan martir secara sekaligus. Model
semacam ini semakin mempersulit upaya untuk memerangi ISIS. Atomisasi teror
ini dekat dengan konsep lone-wolf dalam Kajian Keamanan Internasional. GTI
2015 mencatat ada peningkatan jumlah serangan oleh para lone-wolf, namun para
pelaku teror individual ini melakukan aksinya dengan basis politik, dan bukan
teroris berbasis ideologis-religius.
Meski
demikian, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam teroris lone-wolf
dalam kategori kedua, dengan teroris yang menyatakan afiliasi dengan ISIS
menjadi bagian terbesarnya. Permasalahan yang paling mendasar dalam mengatasi
lone-wolf adalah kesulitan untuk melakukan langkah preventif. Satu lagi
catatan yang juga patut menjadi perhatian dalam GTI 2016 dan GTI 2015 adalah
ada pergeseran target serangan teror dalam beberapa tahun terakhir.
Pada
2013 kombinasi antara aparat keamanan (polisi dan militer) serta aparat
pemerintahan tetap menjadi target utama serangan teror. Namun, setahun
kemudian, sasaran sipil jauh lebih dominan jika dibandingkan aparat keamanan
dan pemerintahan. Sejak 2013 hingga 2014 tercatat 172% peningkatan serangan
teror terhadap sasaran sipil. Sementara pada 2015 satu dari tiga serangan
teror dilakukan terhadap target sipil.
ISIS
juga mengikuti tren yang sama sejak 2013 hingga 2014 terjadi peningkatan 225%
serangan terhadap sasaran sipil. Kombinasi antara atomisasi teror dan
pergeseran target tersebut memunculkan kekhawatiran akan semakin merebaknya
aksi serangan, apalagi manakala upaya untuk melemahkan jantung ISIS masih
belum bisa dilakukan.
Dengan
semakin merebaknya teror gaya baru ala ISIS ke luar wilayah Timur Tengah,
tidak ada jaminan bahwa aksiaksi kelompok/individu yang berafiliasi dengan
ISIS tidak akan absen di Indonesia. Salah satu strategi yang dipilih
masyarakat internasional untuk melemahkan ISIS adalah menghancurkan kantor pusatnya
di Irak dan Suriah. Hanya, upaya untuk meniadakan keberadaan ”negara Islam”
tersebut berkelindan dengan karut-marut kepentingan berbagai pihak di dua
negara tersebut.
Apalagi,
ISIS bukanlah satu-satunya kelompok radikal yang perlu mendapat perhatian di
dua negara tersebut. Teror ala ISIS tersebut perlu mendapat perhatian khusus
di Indonesia. Ketidaksepahaman mengenai langkah kontrateror seperti apa yang
perlu dikembangkan di Indonesia harus segera diakhiri. Sama halnya dengan
kebutuhan untuk segera menyelesaikan perdebatan mengenai UU Terorisme seperti
apa yang harus dibangun, mengingat inspirasi ISIS sudah di depan pintu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar