Menyikapi
Trumponomics
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 11 Januari
2017
Menjelang
akhir minggu ini, Amerika Serikat (AS) akan melantik presiden barunya, Donald
Trump. Terlepas dari gaduhnya suasana di dalam negeri terkait gaya komunikasi
Presiden Trump, termasuk yang baru-baru ini disampaikan oleh bintang film
Hollywood Meryl Streep, kenyataan haruslah dihadapi publik bahwa AS sudah memilih
prioritas tertentu dengan memilih Presiden Trump sebagai nakhodanya. ”Making
America Great Again”, Membuat Amerika Besar Lagi. Demikian target Presiden
Donald Trump.
Dari
gaya komunikasinya, Trump ingin melaju dengan agenda-agendanya dan
mengesampingkan kritik segala pihak tentang caranya memimpin. Meskipun
teorinya sekarang adalah masih masa-masa bulan madu, kedalaman perbedaan
pendapat antara kubu pendukung Trump dan kubu yang anti-Trump membutuhkan
jembatan waktu yang lebih panjang. Tidak ada ”bisnis seperti biasa” dalam
politik luar negeri AS, khususnya terkait kebijakan ekonomi.
Masih
sedikit hasil riset atau pendapat yang dapat secara pasti menjelaskan
kebijakan ekonomi Donald Trump atau Trumponomics secara detail. Hal ini
disebabkan dalam masa kampanye lalu, Donald Trump menyampaikan proposal
kebijakan yang saling tidak konsisten demi merebut suara rakyat Amerika.
Tiadanya konsistensi itu menyebabkan luasnya ruang untuk melalukan
multiinterpretasi dan spekulasi tentang langkah nyata apa yang akhirnya akan
diambil oleh Trump.
Meski
demikian, hal-hal yang diucapkannya berulang kali secara konsisten adalah
reformasi pajak, yaitu dengan mengurangi pajak perusahaan dan perorangan dan
meningkatkan belanja fiskal di sektor infrastruktur. Trump juga akan
mengurangi belanja sosial baik dengan mengurangi anggaran atau menyerahkannya
kepada pihak swasta.
Hal
yang juga menjadi kontroversi dalam minggu terakhir kampanye dan mendapat
perlawanan dari Partai Demokrat adalah rencana untuk menghapuskan Obamacare
yang selama ini telah memberikan kepastian jaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin di AS. Apabila sesuai dengan janjinya di masa kampanye, kemungkinan
jaminan kesehatan akan kembali dikelola oleh pihak swasta.
Kebijakan
reformasi pajak Trump bila dilakukan sesuai janji kampanyenya sudah pasti
akan menimbulkan defisit dalam anggaran belanja negara. Logika sederhananya,
pendapatan negara dikurangi tetapi pembelanjaan, khususnya untuk
infrastruktur, akan digenjot habis. Pertanyaannya, dari mana uang untuk
menutupi defisit belanja akan jadi menentukan kebijakan ekonomi AS baik di
dalam dan luar negeri.
Kebijakan
ini juga akan merembet kepada kebijakan politik luar negeri terutama terkait
dengan kerja sama antar negara dan hal-hal lain yang tidak terkait dengan
ekonomi secara langsung, seperti krisis di Timur Tengah, penguatan pengaruh
AS di Asia-Pasifik atau juga Eropa. Secara ekonomis, danauntuk menambal
lubang defisit dapat diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara atau
obligasi. Surat utang tidak menarik kalau suku bunganya tidak kompetitif
terutama dibandingkan dengan negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Momen
kenaikan ini yang akan ditunggu-tunggu oleh para pengambil keputusan di
negara-negara lain terutama negara emerging market di mana uang dari negara
maju berkumpul. Apabila Bank Sentral AS menaikkan suku bunga yang dapat
menarik uang dari negara emerging market, tentu ini akan menjadi masalah.
Walaupun akan kebanjiran investasi, nilai tukar dolar juga akan menguat
secara perlahan-lahan.
Keadaan
itu juga akan menyulitkan Amerika Sendiri karena akan membuat ekspornya
menjadi tidak kompetitif. Dalam konteks dan dinamika ini, rencana detail
Trumponomics sebagai langkah antisipasi menjadi penting untuk kita amati.
Meski demikian, dalam beberapa minggu setelah pengumuman kemenangannya ada
beberapa komentar yang dapat menjadi bahan dalam menilai Trumponmics ke
depan.
Pertama,
terkait perdagangan.
AS
prinsipnya merasa harus mengakhiri defisit dalam neraca perdagangannya,
terutama terhadap China. Sampai hari ini wacana yang berkembang di AS adalah
agar AS membalikkan defisitnya. Yakni dengan mengadukan segala kecurangan
yang dilakukan oleh pelaku-pelaku pasar lain, khususnya model-model yang
ditudingkan kepada China seperti overproduksi, mengendalikan nilai tukar mata
uang, menerapkan hambatan non-tariff.
Tak
heran Robert Lighthizer yang berpengalaman sebagai penasihat hukum bidang
perdagangan dikabarkan akan ditunjuk sebagai Wakil AS untuk Perdagangan (US
Trade Representative). Karena nasib Trans Pacific Partnership belum jelas,
target Presiden Obama untuk menjadikan AS sebagai penentu aturan main
perdagangan di tingkat global belum jelas juga.
Hal
ini menarik untuk dicermati negara seperti kita karena dikotomi surplus dan
defisit yang dianut oleh AS sangat dikaitkan dengan nilai ekspor impor barang
dan jasa. Ada sisi yang kemungkinan akan diabaikan atau minimal tidak
mendapat perhatian besar, yakni terkait pola konsumsi masyarakat AS. Defisit
dapat pula timbul karena masyarakat lebih senang membeli dari luar negeri
atau membeli daripada memproduksi sendiri.
Jadi,
kita juga perlu jeli mengolah dan meningkatkan permintaan dari publik AS. Hal
ini dapat lebih menguntungkan daripada harus menghadapi tuntutan hukum urusan
perdagangan dari para pengacara AS. Aksi hukum terkait upaya menurunkan
defisit dapat teratasi jika konsumen mengutarakan pilihannya akan suatu
produk atau jasa. Hal lain yang juga menarik dicatat adalah dorongan untuk
membalas hambatan non-tariff dengan hambatan yang sejenis atau membawanya ke
meja pengadilan.
Dari
sisi ini, setidaknya ada dua hal utama yang sebenarnya penting untuk
dikembangkan, yakni inovasi yang mendukung peningkatan daya
saingprodukataujasadankeberpihakan negara pada riset yang akan menghasilkan
produk dan jasa berdaya saing tinggi. Aksi saling tuding terkait hambatan
non-tariff dapat teratasi jika suatu negara lebih kompetitif di bidang
inovasi dan riset. Sejumlah negara dari emerging market bergegas di bidang
ini, antara lain India dan China.
Kedua,
terkait daya tarik produksi.
AS
pada prinsipnya menginginkan lebih banyak perusahaan yang beroperasi dari AS.
Cara yang digunakan adalah pemberian insentif pemotongan pajak bagi
korporasi, dari 35% menjadi 15%. Potongan pajak tersebut diklaim akan
meningkatkan laba perusahaan hingga 20%; suatu skema yang seharusnya menarik
bagi perusahaan- perusahaan. Untuk pajak pribadi, kabarnya akan ada penurunan
tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan tinggi dan biasanya harus
menanggung pajak 35-40%.
Mereka
ini dikabarkan hanya perlu membayar pajak 33% saja dari penghasilan
bulanannya. Karena parlemen di AS punya hak untuk memengaruhi kebijakan
Presiden Trump terkait pemotongan pajak ini, program tersebut diprediksi
tidak akan diterapkan sampai setidaknya menjelang akhir tahun. Kabarnya
parlemen akan mengajukan pajak atas barangbarang impor, yang artinya konsumen
di Amerika bisa jadi punya lebih sedikit pilihan belanja.
Memang
tidak ada yang tahu persis apa saja komponen Trumponomics yang sesungguhnya
akan berlaku. Namun, di Indonesia yang penting adalah membuka opsi-opsi lain
agar apa pun pilihan Trump, perekonomian kita dapat terus tumbuh. Amerika
Serikat butuh waktu selama setahun ini untuk melakukan penyesuaian di
berbagai lini sampai program-program Trump bisa sungguh terlaksana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar