Televisi
Media Pendidikan Publik
Yuliandre Darwis ; Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat;
Dosen Komunikasi FISIP Universitas
Andalas
|
KORAN SINDO, 10 Januari
2017
Pemahaman
akan fungsi media massa, khususnya televisi sebagai sarana pendidikan publik
masih membutuhkan pengawalan berbagai pihak agar implementatif secara optimal
melalui program siaran televisi di Indonesia.
Tanggung
jawab pendidikan kepada peserta didik tidak saja dilakukan melalui pendidikan
formal mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Konsepsi
pendidikan sebagai hal yang fundamental bagi bangsa ini sudah sangat jelas
dalam regulasi Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Pada konteks itu, keberadaan televisi yang
memiliki pengaruh besar di masyarakat harusnya dapat maksimal memainkan peran
strategis sebagai media pendidikan publik melalui jalur pendidikan informal.
Peran
pendidikan televisi sejalan dengan amanah Undang- Undang Nomor 32/2002
tentang Penyiaran Pasal 4 ayat 1 penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,
kontrol, dan perekat sosial. Dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa penyiaran
mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. UU Penyiaran menegaskan fungsi
penyiaran sangat luas.
Penyiaran
bukan sekadar memberi informasi atau menyampaikan hiburan belaka yang kadang
kala tidak jelas maksud ataupun nilai-nilai yang ingin disampaikan. Tayangan
joget-jogetan maupun hiburan yang tidak mendidik kerap ditampilkan televisi
pada jam-jam prime time pukul 18.00-21.00 WIB. Padahal jika saat-saat penting
itu siaran televisi diisi hiburan sehat dan cerdas yang memiliki value
keindonesiaan, kebinekaan, penanaman nilai-nilai Pancasila tentu akan jauh
lebih baik.
Selain
itu, penyiaran memiliki fungsi kontrol, perekat sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Membatasi ruang gerak penyiaran televisi sebatas media informasi
atau hiburan bukankah hal ini merupakan wujud ketidakkonsistenan pada
perintah konstitusi? Apalagi jika tidak mengutamakan fungsi televisi sebagai
media pendidikan merupakan konstruksi berpikir yang tidak tepat.
Penulis
dan publik memahami stasiun televisi swasta mengemas informasi atau siaran
hiburan untuk mengejar rating dan share dengan tujuan ekonomi. Realitas ini
merupakan fenomena televisi yang menjadi industri sehingga konten diproduksi
memiliki motif-motif ekonomi. Theodor Adorno dan Marx Horkheimer (2012) dalam
buku Dialectic of Enlightenment menggambarkan industri budaya seperti sebuah
pabrik dengan ideologi bisnis. Tapi apakah elok bila fungsi pendidikan,
ataukah fungsi kontrol, perekat sosial, kebudayaan—hanya diposisikan sebagai
pelengkap?
Media dan Pendidikan
Penulis
sekadar mengingatkan kembali tentang jalur pendidikan seperti disebutkan di
atas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya. UU ini ditafsirkan sederhana bahwa jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informasi harus saling melengkapi satu dengan yang lain.
Proses pendidikan tidak saja bertumpu pada pendidikan formal di sekolah atau
di rumah.
Proses
pendidikan tanpa dikuatkan melalui pendidikan informal seperti diperankan
media massa televisi, jalur pendidikan formal berjalan terseok-seok bahkan
dapat terjadi paradoks. Guru di sekolah atau orang tua di rumah mengajarkan
tentang pengetahuan, nilai-nilai, etika, adat istiadat, aturan, norma-norma
masyarakat yang harus inheren dalam diri peserta didik baik dalam pemahaman
maupun perilaku.
Dengan
penanaman nilai-nilai tersebut, harapannya anak-anak bisa tumbuh menjadi
generasi unggul, memiliki kemampuan yang kuat sehingga dapat menjadi
kebanggaan orang tua dan sekolah. Bersyukur jika generasi itu menjadi
generasi penerus yang mengharumkan nama negeri di pentas internasional dengan
prestasi dan karya gemilang dimiliki anak didik. Proses pendidikan formal
seolah kurang memiliki arti ketika anak didik menonton televisi yang isinya
hiburan tidak jelas dan asal joget.
Yang
penting bisa ketawa-ketawa. Belum lagi bila mereka menonton tayangan
menggambarkan realitas sekolah di televisi dipenuhi kisah-kisah ironis;
dominasi percintaan remaja, kisah cinta guru dengan murid, guru kurang
dihormati muridnya, perkelahian, malas belajar, gaya hidup hedon, budaya
instan, perempuan menggunakan rok mini di atas lutut, berpakaian ketat,
budaya alay di-boomingkan, dan lain-lain.
Realitas
paradoks itu sering kali ditemukan dalam siaran televisi. Bukankah fenomena
ini terjadi karena media yang mempunyai fungsi pendidikan dianggap pelengkap
dari fungsi media informasi maupun hiburan. Aspek-aspek fundamental dari
proses pendidikan yang menggairahkan pengetahuan (kognitif), menguatkan jiwa,
mental, perasaan (afektif), memunculkan perilaku yang baik
(psikomotorik)—kurang tumbuh dan berkembang akibat tidak saling melengkapi
antara jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Televisi
sebagai media pendidikan sejatinya tidak lagi sebatas wacana. Tidak saja
melalui proses pendidikan formal seperti pernah digagas Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi
Pendidikan yang mencanangkan siaran Televisi Edukasi pada 2003.
Sinergi
melalui jalur pendidikan informal termasuk dilakukan stasiun televisi
merupakan langkah sangat baik yang didorong bersama dalam rangka mewujudkan
generasi berkualitas. Jika ini terwujud, media massa telah memberi sumbangsih
besar sebagai pilar demokrasi ke empat yang membentuk mental kuat pada
peserta didik melalui kebijakan strategis Lembaga Penyiaran yang tidak
melalaikan fungsi pendidikan televisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar