Hukum
dan Politik
Janedjri M Gaffar ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN SINDO, 09 Januari
2017
Perkara
penistaan agama yang didakwakan kepada salah satu calon gubernur Jakarta
telah menyedot perhatian sangat besar dari masyarakat Indonesia. Bahkan
dikhawatirkan mulai mengganggu kohesi sosial masyarakat Indonesia. Namun dari
sisi kajian hubungan antara hukum dan politik, peristiwa itu menjadi fenomena
nyata hubungan antara hukum dan politik yang sejatinya sudah ada, namun
sering kali tidak diharapkan dan cenderung dihindari untuk dibicarakan dan
dikaji.
Hubungan
hukum dan politik yang paling banyak diajarkan dan dikaji adalah dari dua
aspek, yaitu dari aspek peran dan substansi. Ajaran hukum klasik menyatakan
bahwa hukum membutuhkan peran politik, demikian pula sebaliknya. Hukum tanpa
politik akan lumpuh karena tidak memiliki kekuasaan politik untuk menegakkannya.
Sebaliknya, politik tanpa hukum akan buta, karena tidak punya acuan-acuan
normatif ke mana kekuasaan harus diarahkan.
Dari
sisi substansi, terjadi tolak tarik antara hukum dan politik. Mana yang
merupakan variabel bebas (independent
variable) dan mana yang merupakan variabel terikat (dependent variable). Tolak tarik itu berujung pada kesimpulan
bahwa antara hukum dan politik saling memengaruhi.
Untuk
mencegah dominasi salah satu aspek maka baik prinsip negara hukum maupun
prinsip negara demokrasi perlu diterapkan bersama- sama. Hal ini menghasilkan
konsep negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokrasi berdasarkan
hukum. Hukum harus dibuat secara demokratis, demokrasi harus dijalankan
berdasarkan hukum.
Hukum sebagai alat kompetisi
politik
Aspek
ketiga adalah aspek praktikal, yaitu hukum digunakan sebagai alat atau
senjata dalam kompetisi politik. Politik demokrasi untuk merebut dan
mempengaruhi suara rakyat idealnya memang dilakukan dengan beradu visi, misi,
program kerja, serta rekam jejak kinerja maupun integritas.
Namun,
praktik politik dapat dan kadang kala tergelincir dengan menghalalkan segala
cara, salah satunya adalah menggunakan proses hukum untuk kepentingan
politik. Target proses hukum sebagai alat politik bisa bermacammacam, dari
sekadar menguras energi sampai membunuh karier politik. Jika hanya mengganggu
atau menguras energi politik, tentu cukup dengan perkara biasa atau bahkan
ringan seperti pemalsuan atau tindak pidana ringan lainnya.
Sasarannya
bukan vonis hukuman, melainkan proses hukum berkepanjangan yang tentu juga
akan menurunkan popularitas dan elektabilitas. Jika untuk membunuh lawan
politik, tentu kasusnya harus besar, misalnya korupsi atau narkoba.
Sasarannya adalah vonis hukuman berat disertai dengan hukuman tambahan
pencabutan hak politik. Ungkapan hukum sebagai alat politik memang tidak
pernah dideskripsikan secara terbuka karena memang tidak dapat dibuktikan
secara hukum.
Namun,
hukum sebagai alat politik selalu menyertai pembicaraan dan analisis terhadap
kasus-kasus besar atau yang melibatkan elite-elite politik. Setidaknya hal
ini dapat ditangkap dari beberapa narapidana yang hingga selesai menjalani
hukuman masih berkeyakinan bahwa dia adalah korban politik, walaupun dapat
saja hal itu dilihat sebagai perspektif subjektif. Fenomena lain adalah
munculnya istilah tebang pilih. Siapa yang dipilih untuk ditebang adalah
lawan politik yang akan berkompetisi.
Tidak Dapat Dihindarkan
Digunakannya
hukum sebagai alat politik tampaknya tidak dapat dihindarkan, setidaknya pada
tataran perspektif subjektif. Hukum berlaku sama terhadap setiap orang tanpa
memandang siapa dan kasus apa. Pada saat elite politik dilaporkan dan memang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan, tentu harus diproses
secara hukum tanpa melihat apa motivasi pelapor.
Bahkan,
seandainya pun pelapor atau proses hukum yang dijalankan sama sekali tidak
ada motif politik, tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik lawan.
Ada dua macam pola penggunaan hukum sebagai alat politik jika dilihat dari
sisi perkara hukumnya. Pertama, adalah memang sudah ada modal perkara hukum
seseorang.
Di
era ini kemungkinan elite politik memiliki perkara hukum di masa lalu sangat
besar, mengingat sistem dan kultur politik dan birokrasi masa lalu yang
memang membuat hanya mereka yang terlibat dalam suatu perkaralah yang dapat
bertahan. Sangat sedikit elite politik yang benar-benar bersih.
Dalam
kondisi ini, siapa yang menguasai data dan informasi paling banyak akan
memiliki senjata paling banyak untuk menundukkan lawan-lawan politiknya.
Namun karena secara umum semua hidup di era yang sama dan memiliki informasi
yang sama, maka yang terjadi adalah saling menyandera antara satu elite dan
elite lainnya.
Pola
kedua, dapat saja suatu kasus atau perkara diciptakan. Inilah yang disebut
sebagai kriminalisasi untuk tujuan politik. Pola ini memang masih sangat
jarang terjadi, walaupun beberapa pihak sudah merasa sebagai korban kriminalisasi.
Benteng Hukum
Jika
memang tidak dapat dihindarkan, apakah boleh begitu saja hukum dijadikan
sebagai alat politik? Tentu saja tidak, tetapi juga tidak dapat dihilangkan
sama sekali. Hukum berurusan dengan bersalah atau tidaknya seseorang, apakahsuatu
tindak pidana telah terjadi atau tidak, dan keharusan memberikan hukuman jika
seseorang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Tentang
hal itu dilakukan oleh pelapor atau dimanfaatkan untuk kepentingan politik
tertentu, hal itu dapat saja terjadi. Orang lain juga dapat melakukan hal
yang sama dan mengambil keuntungan dari perkara hukum yang menjerat lawan
politiknya. Kalaupun dipersoalkan, hal itu lebih merupakan masalah etika
politik individual.
Yang
penting dalam hubungan ini adalah jangan sampai terjadi menyatakan bersalah
dan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Jangan sampai terjadi
proses hukum menyatakan bersalah dan menghukum seseorang karena melakukan
perbuatan yang sama sekali tidak pernah dilakukan.
Dalam
ajaran hukum klasik hal ini diungkapkan dalam adagium “lebih baik membebaskan
seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
Agar hukum tidak disalahgunakan oleh politik untuk menghukum orang yang tidak
bersalah, benteng yang harus selalu dijaga adalah independensi aparat penegak
hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, serta kemerdekaan peradilan.
Boleh
saja seseorang dilaporkan atas suatu tindak pidana, namun jika polisi dan
jaksa yang independen menilai tidak ada tindak pidana dan kesalahan yang
dilakukan, tentu tidak akan ada yang dapat dijadikan sebagai alat politik.
Kalaupun proses hukum telah berjalan, masih ada hakim yang merdeka dan akan
memutus kasus secara objektif tanpa mempertimbangkan pertarungan politik
dibalik kasus itu.
Benteng
kedua yang tidak boleh runtuh bersamaan dengan independensi aparat penegak
hukum dan kemerdekaan peradilan adalah asas praduga tak bersalah. Dengan asas
ini, setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah
oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atas dasar asas ini,
setiap orang masih memiliki hak politik dan jika memang tidak bersalah tidak
perlu merasa khawatir berlebihan atas kasus hukum yang sedang dijalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar