Subkultur
Kekerasan di Sekolah Kedinasan
Bagong Suyanto ; Dosen Departemen Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 13 Januari
2017
TINDAK
kekerasan yang memakan korban hingga tewas kembali mencoreng institusi
pendidikan. Kali ini kekerasan yang berujung kematian siswa taruna terjadi di
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Amirullah Adityas Putra, 18,
dilaporkan tewas setelah dianiaya sejumlah senior dengan pukulan di bagian
perut, dada, dan ulu hati (Jawa Pos, 12 Januari 2017). Itu adalah kasus
ketiga di institusi pendidikan milik Kementerian Perhubungan tersebut.
Kasus
bullying dan penganiayaan siswa senior kepada siswa junior yang berujung
kematian seperti terjadi di STIP itu adalah kasus kesekian yang menambah daftar
panjang kasus-kasus serupa. Sebelum kasus di STIP, kasus serupa terjadi di
sejumlah sekolah kedinasan lain. Di IPDN/STPDN, misalnya, beberapa tahun lalu
bahkan pernah terjadi kasus yang lebih menghebohkan. Yakni kasus tewasnya
praja Wahyu Hidayat pada 2003 dan praja Cliff Muntu pada 2007.
Dalam
kasus Cliff Muntu, penganiayaan yang dilakukan para siswa senior bahkan
sempat dicoba ditutup-tutupi pihak manajemen sekolah dengan cara
memerintahkan jenazah Cliff disuntik formalin untuk menutupi bekas penyiksaan.
Cliff kemudian dinyatakan meninggal karena sakit liver. Tetapi, berkat
keberanian Inu Kencana Syafiie, salah seorang staf pengajar IPDN, berbagai
kasus kekerasan yang terjadi di IPDN akhirnya berhasil dibongkar.
Inu
Kencana sempat menulis sebuah buku yang mengungkap sekitar 17 kematian tak
wajar yang dialami sejumlah praja IPDN dalam kurun waktu 1990–2007. Sanksi
berat hingga pemecatan terhadap sejumlah pelaku baru diberlakukan pada 2007,
ketika kasus kematian Cliff memperoleh perhatian luas publik. Sejak itu sudah
45 praja yang diberhentikan. Yang memprihatinkan, walaupun kasus kekerasan
yang berujung kematian telah terjadi berkali-kali, para pelaku telah pula
memperoleh hukuman setimpal, mengapa kasus tersebut tetap terulang dari waktu
ke waktu?
Sejumlah Faktor
Di
luar kasus yang terjadi di STIP dan IPDN, ditengarai masih banyak kasus
serupa di berbagai sekolah kedinasan. Tindak kekerasan dan kasus penganiayaan
yang terjadi di sekolah kedinasan boleh dikata sudah merupakan tradisi yang
telah mengakar dan sulit dihilangkan begitu saja.
Di
balik sejumlah kasus kematian siswa di berbagai sekolah kedinasan, meski
tidak sempat mencuat menjadi kasus kriminal, bukan tidak mungkin sebetulnya
kental dugaan terjadi hal-hal yang disembunyikan.
Di
berbagai sekolah kedinasan, kasus penganiayaan yang dilakukan siswa senior
terhadap junior biasanya memang baru menjadi perhatian publik ketika ada
korban yang kebablasan dianiaya hingga tewas. Padahal, kalau mau jujur, pada
saat tidak ada laporan kasus penganiayaan yang menewaskan korban, bukan
berarti di sana tidak terjadi tindak kekerasan. Sudah bukan rahasia, di
berbagai sekolah kedinasan, kasus bullying dan tindak kekerasan kepada siswa
junior adalah hal yang selalu terjadi dari waktu ke waktu. Korban penganiayaan
yang tidak sampai meninggal biasanya memilih menutup mulut rapat-rapat dan
tidak melaporkan kejadian yang dialami. Sebab, mereka takut bakal memperoleh
perlakuan yang lebih buruk dari para seniornya.
Berikut
sejumlah faktor penyebab tindak kekerasan di sekolah kedinasan bertahan
menjadi tradisi dan sulit dibongkar. Pertama, di sekolah kedinasan, relasi
antara senior dan junior –meminjam istilah Michel Foucault– adalah relasi
kuasa. Ada satu pihak yang sangat dominan dan ada pihak lain yang tersubordinasi
dan tidak berdaya karena ada di bawah tekanan struktur sosial yang sudah
terinternalisasi. Seorang siswa junior tidaklah mungkin berani melawan siswa
seniornya. Sebab, ancaman sanksi yang mereka hadapi tidak hanya datang dari
siswa senior yang bisa dipastikan bakal memperlakukan mereka dengan lebih
keras. Ada juga tekanan struktural yang menjejas mereka.
Kedua,
tindak kekerasan telah terinternalisasi sebagai bagian dari proses inisiasi
yang selalu terulang dari waktu ke waktu. Mata rantai tindak kekerasan tidak
mudah diputuskan. Pasalnya, siswa junior pada tahun pertama masuk sekolah
menjadi korban bullying dan korban kekerasan. Pada tahun kedua mereka bukan
tidak mungkin berubah posisi menjadi pelaku bullying dan tindak kekerasan
terhadap adik kelasnya dalam rangka balas dendam dan menjadi bagian dari rule
of the game yang diwariskan dari angkatan ke angkatan berikutnya.
Ketiga,
secara kelembagaan, sekolah kedinasan tampaknya belum secara serius berupaya
menghapus proses pewarisan kultur kekerasan. Bahkan, pihak pimpinan sekolah
sendiri tampaknya menjadi bagian yang berusaha ikut menutup-nutupi peristiwa
kekerasan yang terjadi agar tidak menjadi aib yang mencoreng nama baik
sekolahnya.
Subkultur Kekerasan
Memutus
mata rantai tindak kekerasan yang berkembang di sekolah kedinasan harus
diakui bukan hal yang mudah. Selama ini berbagai usaha sebetulnya telah
dilakukan untuk mencegah terjadinya penganiayaan kepada siswa junior. Bisa
melalui sosialisasi dan kontrol ke kamar-kamar siswa, termasuk memasang CCTV
di sejumlah lokasi. Namun, karena yang dihadapi adalah sebuah tradisi dan
subkultur kekerasan yang memiliki akar yang panjang dari jenjang pendidikan
sebelumnya, upaya memberantas tindak kekerasan di sekolah kedinasan tidak
bisa tidak harus dimulai sedini mungkin.
Studi
yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research
on Women (ICRW) (2015), misalnya, menunjukkan fakta mencengangkan terkait
perkembangan subkultur kekerasan siswa di jenjang SMP dan SMA. Di Indonesia,
dilaporkan sekitar 84 persen anak ternyata telah mengalami tindak kekerasan
di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni 70
persen. Memberantas subkultur kekerasan di sekolah kedinasan niscaya tidak
akan banyak memberikan hasil jika tidak dilakukan sejak awal dari hulunya.
Yaitu dengan cara memutus mata rantai subkultur kekerasan sedini mungkin.
Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar