Pertarungan
Syarat Menjadi Presiden
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting Professor pada Melbourne Law School
dan Faculty of Arts, University of Melbourne
|
KOMPAS.COM, 12 Januari
2017
Aturan
kepemiluan kita memang tidak pernah ajeg, selalu mengalami perubahan. Benar
belaka bahwa suatu aturan hukum tidak boleh baku, dia harus punya ruang
elastisitas.
Betul
pula bahwa suatu aturan hukum janganlah statis, dia harus mampu dinamis.
Tidak keliru bahwa aturan hukum bukan dokumen sakral yang tidak boleh diubah.
Justru, aturan perubahan adalah salah satu bagian yang harus ada dalam setiap
konstitusi, hukum dasar suatu negara.
Namun,
aturan kepemiluan kita nyaris selalu berubah setiap menjelang pemilu. Sesuatu
yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Ketika
saya bicara pemilu, maka yang saya maksud adalah paket undang-undang yang
terkait: penyelenggara pemilu, pemilihan presiden, pemilihan anggota parlemen
pusat dan daerah, dan Pemilihan Kepala Daerah.
Di
luar itu terkait sengketa hasil pemilu, kita juga bolak-balik mengubah bahwa
yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.
Pada
saatnya, kita harus menghentikan ritual perubahan UU kepemiluan setiap lima
tahunan tersebut, apalagi jika lebih singkat dari itu. Jangan lagi terjadi
sebagaimana UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diubah pada
tahun 2014, lalu diubah lagi dengan perppu beberapa saat kemudian untuk
mengembalikan sistem Pemilihan Kepala Daerah langsung, yang menjadi UU Nomor
1 Tahun 2015, yang lalu diubah lagi dua kali dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 dan
Nomor 10 Tahun 2016.
Itu
artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun, UU Pilkada kita berubah minimal
tiga kali. Perubahan yang terlalu sering itu menunjukkan tingginya tekanan
politik jangka pendek dalam setiap aturan kepemiluan.
Namun,
tidak semua perubahan UU terkait pemilu hanya berdasarkan pertimbangan
politik jangka pendek. Beberapa harus dilakukan karena alasan dan kewajiban
hukum.
Salah
satunya adalah karena putusan Mahkamah Konstitusi yang harus dijalankan dalam
bentuk perubahan UU. Misalnya, putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 menegaskan
konstitusionalitas pelaksanaan pilpres dan pileg hanya jika dilaksanakan
bersamaan, yang harus dilaksanakan sejak Pemilu 2019.
Putusan
MK demikian tentu membutuhkan perubahan UU Pilpres dan Pileg. Salah satu yang
pasti akan menjadi perdebatan hangat adalah terkait syarat ambang batas
menjadi presiden (presidential threshold). Sebagaimana kita paham, isu ambang
batas ini adalah salah satu masalah yang selalu menjadi bahan pertarungan
setiap UU terkait pilpres dirumuskan.
Partai-partai
besar cenderung mempertahankan ambang batas syarat presiden yang tinggi,
tentu dengan maksud mengurangi kandidat presiden.
Sebaliknya,
partai-partai kecil, ataupun partai yang baru terbentuk, selalu akan berjuang
bagi hilangnya atau minimal turunnya ambang batas tersebut agar mereka punya
kesempatan mengajukan calon presiden.
Satu
catatan tengah terkait pencalonan presiden ini, UUD 1945 secara eksplisit
memberikan kewenangan pencapresan hanya kepada partai politik atau gabungan
partai politik. Konstitusi kita tidak mengenal capres independen, sebagaimana
dimungkinkan untuk kepala daerah.
Untuk
mengubah itu, tidak ada cara lain kecuali dengan melakukan perubahan UUD
1945. Ada beberapa ahli hukum tata negara yang berpandangan, capres
independen dimungkinkan melalui putusan MK. Saya tidak sependapat.
Tidak
menjadi ahli hukum positivisme—yang hanya tergantung pada teks—adalah pilihan
dan kecenderungan saya. Namun, interpretasi progresif tetap harus tunduk pada
teks hukum yang sangat jelas dan memang seharusnya tidak dimaknai lain, salah
satunya soal pencapresan oleh parpol tersebut.
Kembali
pada ambang batas presiden, aturan ini mau tidak mau harus berubah dengan
serentaknya pelaksanaan pilpres dan pileg. Sebelumnya, dengan pelaksanaan
pileg yang mendahului pilpres, maka presidential threshold disyaratkan
berdasarkan hasil pileg, yaitu perolehan minimal 25 persen suara secara
nasional atau perolehan kursi minimal 20 persen di DPR.
Namun,
dengan pilpres dan pileg yang bersamaan, model persyaratan demikian tidak
dapat lagi dilaksanakan.
Lalu
bagaimana alternatif pilihannya? Saya membayangkan paling tidak ada lima opsi
yang akan muncul.
Pertama,
syarat ambang batas capres dihitung berdasarkan hasil pileg lima tahun
sebelumnya. Jadi, untuk Pilpres 2019, presidential threshold dihitung
berdasarkan hasil Pileg 2014.
Dugaan
saya, besaran angkanya tidak berubah, atau kalaupun berubah tidak banyak,
yaitu perolehan suara nasional minimal 25 persen atau perolehan kursi DPR
minimal 20 persen. Pendukung usulan ini adalah partai-partai besar pemenang
Pileg 2019, seperti PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, dan Demokrat.
Karena
dukungan partai-partai besar itu, opsi pertama ini punya kans besar untuk
memenangi pertarungan. Namun, opsi ini sebenarnya mempunyai satu kelemahan
konseptual mendasar.
Ambang
batas presiden yang dikaitkan dengan perolehan suara atau kursi DPR
dimaksudkan untuk menjaga efektivitas pemerintahan. Hal demikian hanya
relevan jika hasil pileg yang digunakan tidak jauh berjarak dengan
pelaksanaan pilpres.
Hasil
pileg lima tahun yang lalu belum tentu menggambarkan realitas politik lima
tahun kemudian. Dukungan politik sangat mungkin berubah, dan menyebabkan
presiden terjebak pada pemerintahan yang tidak efektif karena ambang batas
yang digunakan sudah kedaluwarsa.
Belum
lagi, koalisi politik bisa jadi berubah. Lawan politik bisa jadi kawan
politik, atau sebaliknya. Maka dari itu, mendasarkan presidential threshold
pada pileg lima tahun sebelumnya sangat mungkin bertentangan dengan dinamika
politik terkini, dan karenanya berpotensi menimbulkan komplikasi politik.
Kedua,
ambang batas presiden tetap didasarkan pada pileg lima tahun sebelumnya,
tetapi dengan syarat yang jauh lebih mudah, yaitu setiap partai peserta pileg
lima tahun sebelumnya dapat mencalonkan presiden.
Misalnya,
untuk Pilpres 2019, semua parpol peserta Pileg 2014 dapat mengajukan calon
presiden, yaitu dua belas parpol.
Ketiga,
tetap menggantungkan pada pileg sebelumnya, tetapi lebih ketat. Dalam hal
ini, setiap partai peserta pileg lima tahun sebelumnya yang berhasil
memperoleh kursi di DPR dapat mencalonkan presiden.
Maka
dari itu, untuk Pilpres 2019, ada sepuluh parpol yang dapat mencalonkan
presiden, yaitu peserta Pileg 2014 minus PBB dan PKPI karena keduanya tidak
lolos ambang batas perolehan kursi parlemen (parliamentary threshold).
Keempat,
setiap parpol peserta pileg pada saat yang sama dapat mencalonkan presiden.
Artinya, yang dapat mencalonkan pada Pilpres 2019 adalah parpol peserta Pileg
2019.
Untuk
itu, proses verifikasi badan hukum oleh Kemenkumham dan verifikasi parpol
peserta pemilu oleh KPU akan menjadi kunci, dan tentunya perdebatan hangat
lainnya di parlemen.
Kelima,
syarat ambang batas presiden dihapuskan. Pilihan ini akan didukung oleh
partai-partai kecil di DPR bersama-sama dengan partai-partai baru peserta
pemilu.
Untuk
opsi terakhir ini, salah satu keuntungannya adalah memungkinkan banyak capres
dan munculnya tokoh alternatif yang mungkin tidak didukung oleh partai-partai
utama.
Namun,
kelemahannya adalah, tokoh populer yang tidak mendapatkan dukungan parpol
itu, jika terpilih, akan menghadapi tentangan dan tantangan yang tentunya
tidak mudah dari parlemen, dan karenanya berpotensi kesulitan menjaga
efektivitas pemerintahannya.
Di
antara lima opsi itu, saya berpendapat, yang lebih baik dan moderat adalah
menerapkan syarat ambang batas berdasarkan parpol peserta pemilu lima tahun
sebelumnya yang berhasil memperoleh kursi di DPR, atau opsi ketiga.
Memang,
opsi ini akan menutup kemungkinan partai kecil yang tidak lolos parliamentary
threshold ataupun partai baru untuk mengajukan capres. Namun, saya
berpandangan, hal demikian adalah wajar.
Bagaimanapun,
parpol yang akan mencalonkan presiden tetap harus menunjukkan level dukungan
yang tidak rendah dari rakyat.
Parpol
yang tidak lolos ambang batas kursi parlemen artinya tidak didukung oleh
rakyat, dan pasti akan kesulitan untuk membela presiden yang mereka usulkan.
Demikian pula partai yang baru ikut pemilu, sangat wajar untuk membuktikan
bahwa mereka didukung rakyat sebelum berhak mengajukan pemimpin nasional.
Biasanya,
usulan menghilangkan ambang batas akan dikampanyekan dengan cara yang menarik
dan populer. Usulan ini akan menarik di tengah minimnya kepercayaan publik
pada parpol. Namun, secara hukum, dalam sejarahnya, putusan MK tidak pernah
membatalkan syarat ambang batas.
Mahkamah
selalu memutuskan bahwa ambang batas presiden (presidential threshold),
ambang batas kursi parlemen (parliamentary threshold), ambang batas peserta
pileg (electoral threshold), dan ambang batas Pilkada (local leaders
threshold) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Saya
setuju dengan itu. Bagaimanapun dalam setiap kompetisi harus ada aturan main.
Tanpa
ambang batas kursi parlemen, kita akan terus kesulitan untuk menyederhanakan
sistem kepartaian dan akan terus terjebak dengan sistem multipartai.
Demikian
pula, tanpa ambang batas presiden yang tepat, kita akan terjebak dengan
sistem presiden yang tidak efektif karena tidak mendapatkan dukungan
mayoritas politik di DPR (political support), meskipun mungkin saja
mendapatkan dukungan pemilih yang mayoritas (electoral support).
Akhirnya,
mari kita kawal proses legislasi UU kepemiluan di DPR, termasuk mengenai
ambang batas syarat presiden agar proses dan hasilnya makin menguatkan dan
mematangkan demokrasi kita yang antikorupsi.
Keep on fighting for the
better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar