Obama
dan Empati dalam Keberagaman
Anna Christi Suwardi ; Peneliti Pusat Paramadina Jakarta;
Alumnus S-2 Hubungan
Internasional UGM Jogjakarta;
Kini menempuh S-3 studi ASEAN di
Naresuan University Thailand
|
JAWA POS, 13 Januari
2017
”Our youth and drive, our
diversity and openness, our boundless capacity for risk and reinvention mean
that the future should be ours.”
”You believe in a fair,
just, inclusive America….”
(Presiden AS Barack Obama, 10 Januari 2017)
.
Mendengarkan
pidato terakhir Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat (AS)
mengingatkan saya pada salah satu petuah Gur Dur yang mengatakan, ”Bukankah
dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat dan
asal muasal bukanlah tanda kelemahan, tapi menunjukkan kekuatan.”
Tidak
diragukan lagi, pemimpin yang besar adalah sosok yang mampu merangkul seluruh
warga negaranya dari berbagi spektrum identitas. Dengan prinsip dasar
kesetaraan, keadilan, dan inklusivitas, negara selayaknya menyadari pentingnya
people power yang menjadi sumber daya paling realistis untuk kekuatan dan
keberlangsungan suatu bangsa.
Pidato
perpisahan Obama di Chicago sarat makna yang sangat menyentuh dan menyita
perhatian. Dia merangkum kaleidoskop delapan tahun kepemimpinannya secara
apik dengan menanamkan optimisme tidak hanya kepada warga AS, tapi juga
seluruh manusia.
Satu
hal yang menonjol dari isi pidato Obama adalah perihal keberagaman. Isu-isu
seputar pengungsi, imigran, ras, dan diskriminasi sempat menguat di AS, terutama
sepanjang musim Pemilu 2016. Dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden
menggantikan Obama, banyak pihak mengkhawatirkan problematika dan sentimen
sosial akan memburuk di AS dan dapat berdampak hingga ke luar AS.
Obama
mengingatkan bahwa manfaat demokrasi dapat mengantarkan kejayaan suatu negara
manakala warga negaranya tidak sekadar menyepelekannya. Terlebih, demokrasi
tidak pernah menuntut keseragaman (uniformity), tapi memerlukan
kompromi-kompromi di mana solidaritas menjadi basis utama untuk mengikat
perbedaan menjadi satu kesatuan kekuatan yang solid.
Menyinggung
soal isu imigran dan pengungsi, Obama menegaskan bahwa dengan berpegang pada
prinsip HAM, sudah semestinya AS bersikap terbuka menerima mereka dengan
berbagai latar belakang identitas. Sebab, alih-alih dianggap sebagai ancaman
kestabilan domestik, para pendatang tersebut jika dikelola dengan baik justru
akan menjadi potensi garda tenaga kerja yang mempercepat laju perekonomian
nasional AS.
Demikian
pula halnya soal isu ras dan agama. Dengan lantang Obama menyampaikan, ”…
oleh karena itu, saya menolak diskriminasi terhadap muslim Amerika….untuk
memperluas demokrasi, dan HAM, hak perempuan, dan hak LGBT….” Pernyataan
Obama itu selaras dengan konsep Responsibility to Protect (R2P) yang sejak
2005 digalakkan PBB. Pidato Obama menjadi refleksi atas pentingnya menentang
segala bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan.
Menanam Empati
Sebagai
presiden pertama AS berketurunan Afro-Amerika, Obama memang memiliki magnet
berbeda dibanding presiden-presiden AS sebelumnya. Latar belakang perpaduan
ras yang diwarisi Obama menjadikannya sosok yang lebih ramah terhadap
pluralisme. Saat terpilih pada 2008, banyak harapan ditumpukan ke pundak
Obama untuk wajah Amerika yang lebih demokratis, terbuka, dan mengayomi
minoritas.
Sempat
mencicipi kehidupan Jakarta pada masa kecilnya, Obama menjalankan
administrasi kepemimpinan tidak melulu berkiblat pada kekuatan militer dan
perekonomian (ala mayoritas pemimpin AS). Dia juga lebih banyak mengusung
gagasan kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat dari sederet manuver
kerjanya, misalnya Obama Care untuk urusan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Juga merombak sistem imigrasi AS dengan melegalkan 44 persen imigran,
mempromosikan hak kebebasan beragama dan beribadah, mendorong kesetaraan
gender, memperkuat kapasitas pemuda, serta menekan tindakan kekerasan dan
rasisme.
Dari
Obama kita belajar bahwa tautan (attachment) dan pelibatan (engagement) nilai dan norma sosial
menjadi fondasi untuk kepemimpinan yang santun dan berwibawa. Obama
menerapkan empati dalam gaya kepemimpinannya. Rasa kepedulian dan
keberpihakannya kepada rakyat bawah dan kalangan minoritas membuatnya lekat
di hati rakyat AS dan memesona di berbagai penjuru dunia.
Obama
mengatakan ”hati harus berubah”, lalu mengutip fiksi Atticus Finch: ”You never really understand a person
until you consider things from his point of view…until you climb into his
skin and walk around in it.” Hanya dengan berusaha masuk lewat pikiran,
mata, telinga, dan perasaan orang lainlah, kita akan mampu menjadi pribadi
yang memahami satu sama lain. Di sinilah terletak esensi kepemimpinan empatik
yang dibawakan Obama. Dengan saling berkepemahaman yang baik, kerja sama dan
berbagai kinerja positif dapat dilakukan sejalan dengan hasanah kehidupan
demokratis yang diagungkan Amerika.
Obama
juga menekankan, dalam rangka menjalankan prinsip-prinsip; penegakan hukum,
HAM, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kemerdekaan pers;
dibutuhkan generasi-generasi yang bermental kemanusiaan dan terbuka dengan
perbedaan. Sebab, jika tidak, Obama menambahkan, ”Itu mewakili ketakutan atas perubahan, ketakutan terhadap orang yang
berpenampilan, berbicara, dan beribadah berbeda, …intoleransi atas perbedaan
pendapat dan pemikiran.”
Meski
masih dibumbui dengan beberapa protes dan hal-hal problematis yang belum
terselesaikan, rasanya layak menyematkan pujian pada kepemimpinan Obama. Maka
tidak mengherankan jika Obama menutup episode serial pengabdiannya kepada AS
dengan tangis haru dan pelukan hangat dari rakyatnya. Bukan hanya itu, saya
yakin para pembela hak perempuan, aktivis LGBT, serta minoritas ras dan agama
di seluruh dunia juga angkat topi sebagai simbol apresiasi atas kepemimpinan
Obama yang karismatis dan memanusiakan manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar