Merajut
Kebhinnekaan dan Menangkal Radikalisme
Otjih Sewandarijatun ; Mantan
Direktur Komunikasi Massa LSISI Jakarta; Alumnus Universitas Udayana, Bali
|
DETIKNEWS, 06 Januari
2017
Globalisasi
menyebabkan kaburnya batasan antar negara. Pasca perang dingin yang
dimenangkan blok barat, AS menjadi negara super power yang mampu
mengintervensi negara lain pada awalnya dengan menggunakan empat isu yakni
demokratisasi, lingkungan hidup, HAM dan terorisme.
Dan
dalam perkembangannya ditekankan pada tiga isu strategis dan 'lebih seksi'
yaitu pangan, air bersih dan energi. Dalam menanamkan pengaruhnya di negara
berkembang, negara adidaya menggunakan proxy war dan asimetris dengan
memanfaatkan pihak ketiga.
Kondisi
Indonesia saat ini sedang diuji. Pada masa Orba, penegakan hukum dapat
dilakukan dengan cara represif menggunakan UU Subversi, namun saat ini
setelah UU Subversi dicabut, maka penegakan hukum harus didasarkan pada
proses hukum dan perundangan yang masih berlaku. Dengan terkendalanya
penegakan hukum, maka paham-paham yang masuk melalui globalisasi sangat mudah
berkembang, termasuk terorisme.
Terorisme
dan radikalisme semakin mudah masuk ke semua negara termasuk Indonesia,
akibat kemajuan media sosial (medsos) yang tidak terbendung, namun di sisi
yang lain kedewasaan dalam menggunakan medsos secara bijaksana belum
tersublimasi dalam masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang menjadi
sasaran 'proxy-war' di era "an information edge" sekarang ini.
Anak Muda, Terorisme dan
Radikalisme
Pada
bulan September-November 2016, International NGO Forum on Indonesian
Development (INFID) bekerja sama dengan Jaringan Gus Durian Indonesia
melakukan dua kegiatan. Pertama, merekam persepsi anak muda terhadap
radikalisasi agama dan ekstremisme dengan kekerasan melalui survei. Kedua,
mengetahui narasi besar ekstremisme, memahami pesan-pesan kunci ekstremisme,
dan mengetahui pola penyebaran pesan ekstremisme melalui pemetaan internet
dan media sosial.
Survei
dilakukan dengan wawancara/tatap muka langsung dengan 1.200 responden
terpilih di 6 kota besar Indonesia yaitu Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya,
Pontianak dan Makassar. Responden adalah orang muda usia berumur 15-30 tahun
dengan perbandingan jenis kelamin berimbang 50% laki-laki dan 50% perempuan
dan menggunakan metode Proportionate Stratified Random Sampling (sampling
error 2.98% dengan tingkat kepercayaan 95%).
Dari
survei ditemukan mayoritas generasi muda (88,2%) sangat tidak setuju dengan
kelompok agama yang menggunakan kekerasan, sementara generasi muda yang
setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan hanya sebesar 3,8%,
sisanya 8 % tidak tahu dan tidak menjawab. Alasan tidak setuju karena tidak
sejalan dengan nilai-nilai agama (44,3%), tidak berperikemanusiaan (18,1%),
membuat agama ternodai (16,7%) serta melanggar hukum (9,7%).
Dari
sisi persepsi dan sikap toleransi generasi muda, 55% responden tidak setuju
pembenaran pembakaran Masjid Tolikara, Gereja di Aceh, Vihara di Tanjung
Balai karena dianggap tidak menghormati pemeluk agama mayoritas. Temuan
lainnya, dari 1.200 responden, 10,9% sangat tidak setuju dan 57% tidak setuju
pandangan "lebih baik mempunyai pemimpin yang dianggap koruptor
ketimbang dipimpin oleh non-muslim". Dari aspek pemberian ucapan selamat
saat hari raya besar agama, 40,7 % responden muslim setuju bahwa ucapan
selamat kepada pemeluk agama lainnya tidak melanggar syariat Islam, sementara
39,1% berpendapat sebaliknya.
Dalam
aspek nasionalisme, 94,5% responden merasa bangga sebagai Warga Negara
Indonesia. 29,7% mereka bangga karena keragaman suku dan agama yang saling
menghormati, 26,8% bangga karena masyarakatnya yang saling membantu, 15,3%
bangga karena alamnya yang indah dan bervariasi gunung laut, 8,4% karena
negara yang damai dan melindungi warganya, sementara sisanya menjawab
lain-lain dan tidak tahu/tidak menjawab.
Pemetaan Internet dan
Medsos
Masih
mengacu ke hasil survei INFID dan Jaringan Gus Durian Indonesia, dari hasil
pemetaan internet dan media sosial, secara khusus dilakukan untuk mengetahui
narasi utama ekstremisme, memahami pesan-pesan kunci ekstremisme, dan
mengetahui pola penyebaran pesan ekstremisme. Penelitian dilakukan pada
periode 26 Oktober-26 November 2016. Pemetaan dilakukan dengan mengamati
situs media online, media sosial (twitter, Instagram, dan facebook), aplikasi
pesan pribadi (whatsapp dan telegram), serta Youtube.
Mengikuti
platform media sosial yang beragam, cara pengambilan data disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing platform. Pada platform media sosial seperti
Instagram, facebook, dan twitter proses pengambilan data dilakukan dengan
bantuan alat pencari (peranti lunak) yang didesain khusus untuk pemetaan ini.
Dengan menggunakan kerangka dari ICCT (The International Centre for
Counter-Terrorism), ditetapkan beberapa kata kunci dari assesment manual di
tahap awal. Beberapa kata kunci yang paling sering muncul adalah kafir,
sesat.
Framing Analysis Narasi
Utama dan Pesan Kunci
Secara
umum dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan kunci yang beredar di berbagai
platform media sosial dan website membawa narasi utama yang sama, yaitu bahwa
umat Islam selama ini diperlakukan tidak adil serta mendapatkan ancaman dan
serangan dari pihak luar (liyan). Sebagai respons terhadap situasi tersebut,
seruan jalan keluarnya adalah kembali menegakkan atau menjalani hukum Islam
secara utuh dari level individu hingga negara dan melakukan perlawanan
terhadap kelompok yang dianggap mengancam tersebut.
Pijakan
motivasionalnya adalah bahwa hal-hal yang harus dilakukan tersebut merupakan
perintah atau kewajiban agama yang tidak boleh dibantah. Narasi utama ini
diturunkan dalam beberapa pesan kunci, seperti tolak demokrasi, penyesatan
dan pengkafiran, dan lain-lain.
Kecenderungan
lain yang tertangkap dari sebaran pesan-pesan kunci adalah menguatnya
pendekatan tafsir tunggal atas Islam. Semisal mengenai penampilan yang
dilabel Islami, atau tafsir atas ayat-ayat Kitab Suci. Ini bertolak belakang
dengan kearifan para pemimpin umat Islam di Indonesia yang pada umumnya
menghormati perbedaan mazhab dan pendapat.
Meskipun
semakin menguat di media sosial dan platform social networking, pesan-pesan
ekstremisme ini belum menguasai pandangan arus utama publik Indonesia. Hal
ini selaras dengan temuan survei persepsi orang muda tentang tindakan
radikal. Dengan mengetahui narasi utama dan pesan-pesan kunci ekstremisme,
serta menyelaraskannya dengan modal sosial kita yaitu kepercayaan anak muda
terhadap Pancasila dan semangat kebangsaan, kita dapat menentukan
langkah-langkah menahan lajunya gelombang radikalisme dan ekstremisme di
Indonesia.
Menurut
Beka Ulung Hapsara, Manajer Advokasi INFID, Indonesia masih bisa optimis
dengan sikap generasi muda yang ada karena mayoritas anak muda tidak menyukai
tindakan radikal dan ekstrem berbasis agama meski ada kecenderungan penurunan
toleransi di kalangan anak muda. Di sisi yang lain, nilai-nilai kebhinnekaan
masih menjadi faktor utama yang membuat anak muda bangga akan Indonesia dan
pemersatu generasi muda. Di samping itu, bagaimana para ulama mentransferkan
ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas secara benar, bijaksana dan
menekankan kepada ajaran agama Islam yang substansialis kepada generasi muda
kita.
Hal
ini penting sebab dalam perspektif agama, terdapat dua pola Islam memandang
agama yakni, pertama dengan cara strukturalis artinya mengedepankan
simbol-simbol formal seperti syariat Islam dan negara Islam, sehingga
dinyatakan bahwa perlu pendirian negara Islam terlebih dahulu. Cara pandang
kedua yakni substansialis artinya memandang substansi dengan memahami bahwa
menjalankan syariat Islam tidak harus dengan adanya negara Islam.
Ulama
di Indonesia umumnya memandang Islam dengan substansialis, namun dengan
adanya arus globalisasi, muncul paham-paham dari kelompok puritan yang
menyebabkan agama terdistorsi, sehingga timbul kelompok yang sering
mengkafirkan kelompok lainnya, sikap intoleran hingga munculnya kelompok
teror. Sekali lagi, para pemangku kepentingan dan para pembuat kebijakan di
Indonesia harus segera membuat "grand scenario and story strategy"
menghadapi serbuan ajakan bergabung kelompok teror yang tersebar di berbagai
media sosial.
Salah
satu cara membuat grand scenario and story strategy di medsos yang bagus dan
efektif adalah mempelajari berbagai hasil survei, mengajak diskusi berbagai
komunitas netizen dan pakar di bidang komunikasi sosial dan komunikasi massa.
Hanya dengan pelibatan mereka yang profesional dan memiliki jejaring kerja
yang luas, maka langkah kita mencegah anak muda bangsa bertindak radikal akan
tereliminasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar