Revisi
Cara Mengelola Papua
Frans Maniagasi ; Anggota
Peneliti Papua Resources Center (PRC)
|
MEDIA INDONESIA,
06 Januari 2017
REVISI
UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua merupakan keharusan. Betapa tidak.
Setelah 15 tahun UU ini dilaksanakan, telah banyak terjadi perubahan di tanah
Papua. Perubahan itu ialah UU 21/2001 sendiri pun telah diubah dengan UU
35/2008 yang bertujuan memberikan kedudukan yang setara antara Provinsi Papua
dan Papua Barat, khususnya dalam penerimaan dana otsus. Selain itu, sudah ada
2 provinsi di tanah Papua (Papua dan Papua Barat) serta 42 kabupaten/kota.
Demikian
juga 2 MRP di Jayapura dan Manokwari. Yang lebih penting lagi bahwa selama 15
tahun implementasi otsus belum menyentuh penyelesaian masalah mendasar yang
diamanatkan oleh UU tersebut. Inilah yang penting untuk direvisi cara kita
mengelola Papua. Menurut pendapat saya, dua masalah mendasar. Pertama,
persoalan politik seperti klarifikasi sejarah penyatuan wilayah ini dengan
negara RI yang kini berkembang kian tak terkendali dan semakin
terkristalisasi serta memperoleh dukungan internasional, terutama dari negara
negara kepulauan di kawasan Pasifik Selatan sebut saja Vanuatu, Fiji,
Salomon, dalam forum MSG lewat satu wadah perjuangan bersama oleh organisasi
organisasi sayap perjuangan Papua merdeka yang disebut dengan United
Liberation Movement West Papua (ULMWP).
Artinya,
gerakan politik ini tak bisa dipandang sebelah mata karena gerakan Papua
merdeka telah mengalami pergeseran dukungan dari tadinya didukung oleh
LSM-LSM kini telah memperoleh support dari negara-negara secara resmi dan
terbuka. Bahkan pada Sidang Umum PBB September 2016 lalu pemerintah
negara-negara ini mendesak agar PBB memberikan perhatian khusus terhadap
masalah Papua. Kedua, persoalan perlindungan dan pemenuhan terhadap HAM di
Papua. Hal ini terjadi karena belum adanya mekanisme penyelesaian pelanggaran
HAM yang terjadi di masa lalu dan masa kini.
Bahkan
kualitas kekerasan yang berimplikasi pada pelanggaran HAM justru tinggi di era
otsus. Hal ini bertentangan dengan amanat otsus di satu pihak UU 21/2001
memerintahkan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM di masa lalu, tetapi di
lain pihak peristiwa pelanggaran HAM terus terjadi. Permasalahan lain yang
mengemuka lagi ialah selama otsus berlangsung dana otsus 2% setara DAU
nasional pun tidak luput dari kontroversial. Dana otsus itu direduksi
kemudian diidentikkan dengan otsus.
Eksesnya
muncul masalah karena akibat konsentrasi hanya pada dana otsus tersebut
mengakibatkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota hanya berkutat pada
pembagian dan pemanfaatan dana itu sehingga lupa akan tanggung jawabnya untuk
menjabarkan 'kewenangan khusus' dari otsus. Padahal, kewenangan khusus inilah
yang membedakan dengan otonomi daerah umumnya. Dana otsus pun menjadi ajang
keributan pemerintah provinsi versus kabupaten/kota atau antara pemerintah
dengan masyarakat, terutama orang asli Papua (OAP) yang merasa bahwa dana
otsus belum pernah sampai kepada mereka.
Muncullah
distrust dari masyarakat terhadap pemerintah. Belum dilaksanakannya
pasal-pasal tersebut karena dua alasan. Pertama, faktor internal di Papua
yang belum bisa memberikan pijakan yang kuat terhadap pasal-pasal tersebut
karena belum rinci dan jelas, dan belum adanya aturan turunan seperti PP, Perdasi,
dan Perdasus. Kedua, karena ada keengganan dari pemerintah untuk melaksanakan
secara konsekuen.
Revisi
Dari
penjelasan di atas, mengapa perlu revisi cara kita mengelola Papua? Ada 3
argumentasi, pertama, untuk menyinkronkan pasal-pasal dari UU 21/2001 dengan
UU baru lainnya termasuk UU sektoral. Sinkronisasi pasal-pasal tersebut
dibutuhkan sehingga tidak terjadi kerancuan dan tumpang tindih norma dalam
mengelola Papua ke depan. Dengan sinkronisasi, UU Otsus diberikan bobot lex
spesialis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Papua. Kedua, untuk
menegaskan dan memperkuat pasal-pasal dalam UU Otsus agar mampu menjawab
persoalan dan tantangan baru yang berkembang di Papua.
Selain
itu, untuk mempertegas kewenangan khusus yang melekat di Papua sehingga tidak
terjadi kerancuan secara normatif dan kebingungan dari aparatur pemerintahan
di Papua dalam melaksanakan UU ini. Ketiga, penyelenggaraan pemerintahan
ditujukan untuk menjamin terlindunginya secara baik dan benar identitas dan
hak-hak masyarakat adat serta hak asasi manusia (HAM) OAP, termasuk
eksploitasi SDA Papua pertama.
Rekomendasi
Dari
uraian di atas, menurut pendapat saya, ada beberapa hal yang dapat saya
rekomendasikan. Pertama,otsus ialah jawaban terbaik bagi penyelesaian masalah
Papua di dalam NKRI. Oleh karena itu, peningkatan efektifitas penyelenggaraan
otsus haruslah menjadi prioritas pemerintah baik pusat maupun daerah di Tanah
Papua. Kedua, revisi mesti memperjelas wujud kekhususan bagi Pemerintah
Provinsi Papua dan PB yang dilakukan lewat penyerahan dan pelimpahan
kewenangan secara tegas dari K/L kepada Pemerintah Papua dan PB dengan masing
masing sektor pembangunan, yaitu kewenangan diluar urusan absolut pemerintah
pusat.
Ketiga,
Kemendagri dalam melaksanakan pendampingan, supervisi, dan advokasi terhadap
otsus di tanah Papua perlu ditingkatkan dan ditambah alokasi dananya. Selama
ini telah dilakukan terkendala dengan masalah dana apalagi ditengah kebijakan
pemotongan anggaran oleh Menteri Keuangan. Keempat, selain tiga usulan itu
untuk meningkatkan rasa saling percaya antara unsur-unsur masyarakat Papua
dengan pemerintah perlu dioptimalkan pendekatan humanis dalam menangani soal
Papua.
Kelima
Kementerian Keuangan dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat perlu
mengantisipasi berkurangnya atau berakhirnya dana otsus yang nilainya 2%
setara DAU nasional pada tahun 2021. Keenam, selain revisi menyeluruh dan
komperhensif terhadap UU Otsus Papua, maka revisi perlakuan dalam cara
menangani Papua pun mesti dikoreksi karena selama 15 tahun pelaksanaan Otsus
masyarakat Papua. Terutama OAP di lapisan bawah belum merasakan dan menikmati
manfaat dari Otsus. Justru yang menikmati dan merasakan 'manfaat' Otsus ada
ditingkat elite birokrasi dan kekuasaan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Yang
terakhir, saya mengingatkan bahwa apa pun yang kita lakukan sebagai negara
dan pemerintah di tanah Papua mesti berupaya membangun karakter nasional
bangsa Indonesia (national character
building) di tanah Papua sehingga masyarakat di wilayah ini selain bisa
percaya tapi juga 'yakin' bahwa ada jaminan terhadap masa depan kehidupan
mereka dalam NKRI. Tanpa kepercayaan dan keyakinan itu maka sia-sia apa yang
kita lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar