Merombak
Model Seleksi Pejabat
Tasroh ; PNS
di Pemkab Banyumas;
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific
University, Jepang
|
MEDIA INDONESIA,
06 Januari 2017
KASUS
dagangan jabatan yang terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang justru dilakukan
oleh Bupati Klaten, hakikatnya merupakan fenomena gunung es. Ketua KPK Agus
Raharjo bahkan meyakini bahwa politik dagang jabatan, baik dalam seleksi
pejabat, mutasi, maupun promosi pejabat tak hanya terjadi di daerah, tetapi
juga menjadi bagian integral dari budaya korupsi birokrasi secara
keseluruhan.
Ketua
Aparatur Sipil Negara (ASN) Sofyan Effendi menyebutkan bahwa fakta politik
dagang jabatan selama periode 2016 tercatat mencapai Rp35 triliun. Atas dasar
fakta tersebut, pemerintah melalui berbagai kementerian/lembaga/pemda sudah
saatnya berbenah untuk berani merombak model seleksi pejabat, khususnya
pejabat-pejabat dalam kategori menengah dan bawah (eselon II-IV) yang kini
jumlahnya mencapai 29 ribu lebih.
Para
pejabat itu selama ini dipilih lebih didasarkan pada kedekatan dan hubungan
'politik' dengan para pembina kepegawaian di tiap instansi masing-masing
sehingga amat mudah dibanjiri sakwasangka berbagai pihak. Harus diakui pola
dan modal seleksi pejabat di Indonesia memang tergolong 'paling sederhana dan
mudah' bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara-negara lain di
dunia.
Di
kawasan ASEAN, misalnya, Malaysia dan Singapura sudah lama menerapkan model
seleksi pejabat publik melalui wadah nasional seleksi berstandar global.
Lembaga negara seleksi nasional pejabat dibangunkembangkan untuk mengader,
memilih, dan membuat regulasi seleksi pejabat secara keseluruhan. Demikian
pula di Jepang dan Korea Selatan, kedua negara itu dikenal amat serius
membangun sistem seleksi pejabat publik.
Di
Jepang, misalnya, pejabat publik diseleksi secara berjenjang yang terbuka
bagi siapa pun yang memenuhi kualifikasi regulasi negara. Faktor paling
menentukan ialah kadar kejujuran (integritas), jenjang pendidikan, dan
kinerja kompetensi individu sang calon, yang dapat diukur dari uji kompetensi
yang digelar rutin setiap enam bulan sekali. Calon bisa datang dari dalam
instansi pemerintah hingga kalangan swasta/masyarakat di luar jalur
birokrasi.
Model
'lelang jabatan' yang belakangan mulai diadopsi oleh pemerintah Joko Widodo,
sebenarnya merupakan kombinasi model seleksi pejabat ala Jepang. Hanya saja,
model 'lelang jabatan' yang selama ini mulai diterapkan di Indonesia jauh
panggang dari api. Lelang jabatan yang awalnya untuk memberikan akses lebih
luas, transparan, dan akuntabilitas calon pejabat, justru akhirnya kembali ke
format lama. Hal itu lantaran prasyarat untuk menduduki jabatan tertentu
masih juga menggunakan perangkat seleksi kuno, yakni pembina kepegawaian di
instansi asal calon yang tetap menentukan.
Akibatnya,
biaya yang besar untuk membayar konsultan dalam agenda lelang jabatan pun
sering berakhir sia-sia karena yang muncul dan terpilih tetaplah 4L (lu lagi,
lu lagi). Kondisi demikian tentu saja memprihatinkan. Karena pejabat yang
terpilih, meskipun konon dari proses lelang jabatan yang memakan biaya, waktu
dan proses yang bertele-tele, tetaplah tak banyak menghasilkan pasokan
pejabat yang memadai. Ketua ASN Sofyan Effendi bahkan menyebutkan bahwa
selama hampir 3 tahun model seleksi lelang jabatan yang diterapkan di RI
terbukti belum mampu memutus mata rantai KKN dan 'politik dagang jabatan'.
Itu
karena model seleksi pejabat yang masih beraroma nepotisme, kronisme, dan
kolutif. Bahkan model seleksi lelang jabatan yang dikembangkan terkini kian
nyinyir berbau 'politik', lantaran pejabat pembina kepegawaian dan jejaring
Badan Kepangkatan dan Pembinaan Jabatan di berbagai instansi terpilih, juga
lebih didasarkan pada kedekatan dan kuasa politik. Apalagi di daerah
(provinsi, kabupaten/kota), pembina kepegawaian ialah kepala daerah itu
sendiri. Maka secara otomatis yang akan didudukkan dan dipromosikan ke
jabatan-jabatan 'basah dan strategis' ialah kru politik dinastinya atau
jejaring gangters politiknya sendiri.
Ini
semua terjadi lantaran UU No 5/2014 tentang ASN belum memuat rinci, tegas,
dan jelas apa model seleksi pejabat, khususnya di daerah yang semestinya
dikembangterapkan dengan standar nasional.
Model baru ala Jepang
Harus
diakui stagnasi dan mandeknya agenda revolusi mental dan reformasi birokrasi
lebih karena pemerintah belum mau dan mampu menerapkan model baru seleksi
pejabat di negara-negara maju, seperti Jepang. Padahal, masalah ini mulai
dikampanyekan sejak era Presiden SBY yang kemudian dikembangkanlanjutkan
Presiden Jokowi dengan lelang jabatan sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara
(ASN). Akibatnya fatal! Tak hanya berdasarkan laporan KPK dan BPK (2015)
korupsi birokrasi dan jabatan publik yang kian menggunung seiring dengan
gencarnya upaya pemerintah melakukan pemberantasan KKN, tetapi juga lambannya
agenda-agenda pemerintah/negara untuk meningkatkan kualitas pemerintahan,
pembangunan, dan layanan publik.
Lantaran
peran, tugas dan pengaruh kewenangan pejabat di berbagai lini birokrasi
(pusat-daerah), secara langsung berpengaruh pada sukses gagalnya agenda, visi
dan misi pemerintah itu sendiri. Artinya, gagal memilih pejabat yang tepat,
kredibel dan kompeten tak hanya akan berpengaruh pada kualitas kerja
menyelesaikan agenda, visi dan misi pemerintah itu sendiri. Secara otomatis
juga akan berpengaruh pada kepercayaan dan kredibilitas pemerintah dan negara
di mata publik/rakyat. Karena itu, kemampuan memilih dan memilah pejabat
untuk duduk dalam sebuah jabatan (di berbagai level jabatan), mutlak
diperlukan agar berbagai agenda pemerintah dapat berjalan sesuai target dan
visi-misinya.
Atas
dasar hal itu, hemat penulis, model seleksi pejabat ala pemerintahan sekarang
sudah harus berani dirombak. Guna menghasilkan model yang ideal yakni model
seleksi pejabat yang mampu melahirkan calon-calon pejabat jujur, cerdas,
inovatif, berwibawa dan kompeten. Model grand design-nya tetaplah lelang
jabatan, tetapi lebih diarahkan kepada proses pencalonan dan proses
seleksinya perlu dirombak. Tidak lagi menitikberatkan pada pengalaman menjadi
pejabat eselon atau menghapus jejaring akses politik sempit.
Sehingga
terlahir pejabat yang benar-benar dibutuhkan untuk menyelesaikan dan
mensukseskan agenda negara/pemerintah itu sendiri. Model Jepang, yang calon
pejabat diseleksi secara terbuka lintas satuan kerja di berbagai level
birokrasi dengan mengedepankan integritas, prestasi, dedikasi, inovasi, dan
kompetensi, dapat diterapkembangkan di Indonesia. Pertama, calon dipilih dari
dua arah, yakni pengajuan diri calon dan atau calon dipilih oleh tim khusus
kepegawaian di unit kerja tertentu.
Kedua,
calon mengikuti seleksi sesuai dengan minat dan visi jabatannya. Lembaga
negara tersebut tidak hanya bertugas mendesain model soal dan sistem seleksi
calon pejabat, tetapi juga berwenang mendistribusikan para pejabat terseleksi
sesuai permintaan dan daftar kebutuhan tiap satuan kerja birokrasi
(pusat-daerah).
Ketiga,
uji publik secara berkelanjutan. Di Jepang, secara periodik, biro seleksi
nasional calon pejabat (eksekutif) terus melakukan uji publik melalui kerja
kolaboratif dengan berbagai pihak, termasuk dengan kalangan non-government organizations (NGOs)
atau media massa.
Uji
publik terus dilakukan sepanjang masa kepada semua pejabat terpilih dan calon
pejabat yang akan ditempatkan di berbagai lini instansi pemerintah
(pusat-daerah) di bawah pengawasan berkelanjutan biro seleksi pejabat
tersebut. Model seleksi demikian terbukti tak hanya memutus mata rantai
politik dagang jabatan, tapi juga mampu melahirkan pejabat jujur berkompeten.
Belajar dari kasus Klaten, pemerintah sudah saatnya segera merombak model
seleksi pejabat yang lebih progresif dan bersih, guna mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar