Ironi
Demokrasi Pasangan Calon Tunggal
Gun Gun Heryanto ; Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
|
MEDIA INDONESIA,
09 Januari 2017
PERHELATAN
Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 segera tiba. Agenda itu sangat
menentukan secara signifikan konsolidasi demokrasi Indonesia. Sukses tidaknya
pengelolaan demokrasi di tingkatan lokal akan memengaruhi konstelasi politik
nasional kita.
Terlebih
di 2017 hingga 2019 kita memiliki agenda politik yang sangat padat mulai
pilkada serentak hingga mekanisme penggabungan pemilu legislatif dan pemilu
presiden di 2019.
Satu
catatan penting untuk penyelenggaraan pilkada serentak kali ini ialah masih
adanya ironi demokrasi dalam kandidasi di beberapa daerah yang menghelat
pilkada. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan ada enam daerah yang akan
menggelar Pilkada Serentak 2017 dengan satu pasangan calon (paslon) atau
paslon tunggal.
KPU
sebelumnya telah melakukan perpanjangan pendaftaran bakal paslon di tujuh
daerah yang diikuti satu bakal paslon. Namun, dari tujuh daerah tersebut,
hanya satu daerah yang terdapat penambahan bakal paslon, yakni di Kabupaten
Kulonprogo.
Keenam
daerah dengan bakal paslon tunggal tersebut ialah Kabupaten Buton (Samsul
Umar Abdul Samiun dan La Bakry/petahana), Kota Tebing Tinggi Umar (Zunaidi
Hasibuan dan Oki Doni Siregar), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Umar Ahmad dan
Fauzi Hasan/petahana), Kabupaten Pati (Haryanto dan Saiful Arifin/petahana),
Kabupaten Landak (Karolin Margaret Natasa dan Herculanus Heriadi), dan
Kabupaten Tambrauw (Gabriel Asem dan Mesak Metusala Yekwam).
Sementara
itu, di Kabupaten Kulonprogo yang pada masa pendaftaran awal hanya diikuti
satu bakal paslon, yakni Hasto Wardoyo-Sutedjo, bertambah satu bakal paslon
lainnya, yakni pasangan Zuhadmono Azhari-Iriani.
Artinya,
keenam pasangan calon tersebut akan melawan kotak kosong nanti pada 15
Februari 2017.
Merujuk
ke Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan dengan satu
pasang calon dapat dilaksanakan dengan beberapa syarat. Salah satunya apabila
setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan
pendaftaran, hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar.
Berdasarkan
hasil penelitian, pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat sehingga
berhak untuk terus maju. Meski
pasangan tunggal, mereka tetap harus mengikuti seluruh prosedur pilkada
sebagaimana telah diatur dalam UU.
Di
pilkada serentak kali ini, KPU berhak menetapkan pasangan calon terpilih pada
pemilihan dengan satu paslon, bila mendapatkan suara lebih dari 50% suara
sah.
Hal
ini sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi
Undang-undang.
Kalau
paslon tunggal tidak bisa meraih suara sah lebih dari 50%, akan dilakukan
pemilihan ulang.
Fenomena
paslon tunggal juga sesungguhnya pernah terjadi di Pilkada Serentak 2015. Ada
tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tidak lebih dari satu pasangan.
Daerah itu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor
Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota. MK membolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pilkada
serentak periode pertama pada Desember 2015.
Dalam
pertimbangannya, MK menyebut perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang
mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi.
Hal
ini dapat menyebabkan kekosongan hukum. Dapat berakibat pada tidak bisa
diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon
dianggap berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
Permohonan
ke MK saat itu diajukan Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru. Mereka
mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan
ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota.
Peran partai politik
Di
luar sisi hukum dan aturan lainnya yang kini membolehkan pasangan calon
tunggal, ada ironi demokrasi yang mengemuka dari fenomena ini.
Ironi
itu ialah masih abainya peran partai politik dalam menyediakan kanal yang
kompetitif dalam pemilihan kepala daerah.
Coba
perhatikan, di enam daerah yang kini hanya diisi paslon tunggal di daerah,
rata-rata karena fenomena pasangan calon memborong dukungan dari hampir
mayoritas partai, dan tidak menyisakan dukungan untuk yang lainnya.
Di
Kabupaten Pati, misalnya, pasangan Haryanto-Saiful Arifin sudah diusung delapan
dari sembilan partai politik (parpol) di DPRD setempat.
Hal
itu berarti sudah mayoritas kursi partai di DPRD memberikan rekomendasi
terhadap pasangan ini.
Sebagaimana
diketahui, partai dan atau gabungan partai yang akan mengusung pasangan calon
ada persyaratan kursi. Dari 50 kursi parpol di DPRD Pati, syarat minimal
mengajukan 20% atau 10 kursi.
Sementara
itu, parpol yang mendukung pasangan Haryanto-Saiful Arifin sudah 46 kursi,
maka praktis sisa 4 kursi tidak bisa mengajukan pasangan lainnya.
Hal
itu juga yang terjadi di Kabupaten Buton misalnya, pasangan Umar Samiun-La
Bakri yang keduanya merupakan petahana di daerah tersebut, meraih dukungan
dari tujuh parpol, yakni PKB, PKS, NasDem, PAN, Demokrat, Golkar, dan PBB.
Begitu
pula dengan yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Pasangan
Umar Ahmad-Fauzi Hasan yang juga petahana berhasil memborong dukungan 10
parpol.
Ironisnya,
meskipun secara hukum dan prosedural paslon tunggal bisa tetap dipilih meski
lawan kotak kosong, secara substansial ada ruang penyelenggaraan pemilihan
yang sangat tidak kompetitif.
Dalam
jangka panjang, fenomena ini harusnya dievaluasi seluruh partai yang ada di
Indonesia.
Pilkada
tidak semata-mata urusan prosedural dan instrumental, tetapi juga harus
menguatkan aspek substansialnya.
Pasangan
lebih dari satu membuat adu konsep, adu gagasan, ruang dialektika, dan juga
akan menghadirkan banyak sekali panggung yang menguji kapasitas dan
kapabilitas calon pemimpin daerah.
Logika dangkal
Saat
membangun koalisi dalam memajukan kandidat, partai politik kerap kali terlalu
nyaman dengan perspektif elite, bukan dalam kesadaran penguatan dan
konsolidasi demokrasi.
Beberapa
elite parpol dengan ringan berargumentasi tak ingin mengambil risiko
memajukan kandidat yang berpeluang kalah. Logika ini tentu saja dangkal dan
menggelikan.
Bukankah
sedari awal harusnya parpol mencari dan menyeleksi sejumlah orang di dalam
maupun di luar parpol yang memiliki basis dukungan nyata di masyarakat.
Tak
mudah memang, tetapi sejatinya parpol punya waktu sangat panjang dan leluasa
untuk mengidentifikasi sejumlah anak bangsa yang memiliki kapasitas, rekam
jejak dan memenuhi prasyarat perhelatan demokrasi elektoral seperti disukai,
diterima, populer, dan memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi.
Partai
susah mendapatkan orang terbaik yang bisa bertarung karena mereka kerap kali
abai dengan proses panjang. Maunya proses pencalonan berjalan instan,
menghasilkan uang dan berpeluang menang.
Wajar,
jika semua bertumpuk di injury time.
Proses
belum berjalan alamiah bergerak dari bawah. Logika elite masih dominan
sehingga penunjukan atau rekomendasi berjalan linear, dari pusat ke daerah
tanpa sebuah proses komunikasi timbal balik yang memadai.
Dampaknya,
di beberapa daerah ditemukan sejumlah masalah, antara lain susahnya mencari
kandidat kuat yang siap menjadi petarung sejati bukan petarung bayangan.
Dalam
proses kandidasi, banyak partai yang abai dengan pelembagaan politik di
institusinya.
Tantangannya
ialah modernisasi partai, antara lain mekanisme yang jelas dan terstruktur
dalam proses regenerasi serta distribusi dan alokasi kader dalam mengisi
sejumlah jabatan publik baik di eksekutif, legislatif, maupun struktur
organisasi internal mereka.
Sistem
dan aturan main harus menjadi 'kompas' pemandu ruang gerak dan wacana publik
seluruh kader dan elite partai. Inilah yang disebut sebagai mekanisme
penstrukturan adaptif.
Dalam
terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam
Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif ialah
bagaimana institusi sosial seperti organisasi partai politik diproduksi,
direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang
akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.
Dengan
demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah
dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru.
Artinya,
partai politik harusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga
partai, bukan sebaliknya menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang
menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja.
Jika
mekanisme penstrukturan adaptif ini berjalan, mestinya partai tak akan
mengalami kesulitan dalam proses kandidasi termasuk di pilkada serentak.
Ekses negatif
Kehadiran
paslon tunggal di Pilkada Serentak 2017 juga harus diberi catatan kritis
untuk penyelenggaraan pemerintahan yang akan dipimpin mereka ke depan.
Pertama,
borongan dukungan dari mayoritas partai politik punya potensi menghadirkan
kekuasaan yang dikendalikan segelintir orang jika paslon tunggal ini menang
lawan kotak kosong. Utang budi pada mayoritas partai yang mendukung dan
ketiadaan kekuatan di luar dirinya bisa meneguhkan politik kartel di daerah
tersebut. Politik dikuasai segelintir elite sehingga melahirkan monopoli
untuk mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elite-elite
yang berada di puncak hierarki koalisi itu.
Menurut
Dan Slater dalam tulisannya Indonesia's
Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition
(2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi
demokrasi yang kolusif (collusive democracy).
Bisa
jadi tulisan Dan Slater tersebut menggambarkan politik kartel dalam
menjelaskan konstelasi politik di level nasional dengan kecenderungan praktik
kolusif dalam kekuasaan.
Namun,
politik kartel juga bisa digunakan untuk memotret fenomena monopoli kekuasaan
di daerah. Seperti politik dinasti yang protektif di Kabupaten Sleman dan
juga dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten. Praktik kartel itu juga terbukti
juga terjadi di banyak daerah.
Kedua,
penguasaan jangkar kekuasaan di infrastruktur politik mulai tokoh, media
massa, partai politik, LSM, organisasi massa, dan keagamaan hingga kekuasaan
di suprastruktur politik seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Fenomena
kumulasi dukungan dan ketiadaan kekuatan penantang sering kali membuat
pasangan calon tergoda pada habitus korupsi, yakni menjadikan birokrasi
sebagai inkubator yang nyaman bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam
situasi seperti ini, birokrasi sering kali mengubah praktik demokrasi menjadi
kleptokrasi.
Istilah
kleptokrasi dipopulerkan Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption
as a System of Government (1968) yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat
tinggi yang tujuan utamanya ialah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan
untuk memperoleh kekayaan pribadi itu sambil memegang jabatan publik.
Tentu
tak semua paslon tunggal yang melawan kotak kosong itu buruk, tetapi ke depan
proses demokrasi elektoral kita harus lebih diperkuat.
Pilkada
serentak harus kompetitif seiring dengan peran dan fungsi partai yang lebih
baik.
Ada
niat baik dan niat politik partai untuk menjadikan momentum pemilihan
pemimpin di daerah itu sebagai upaya untuk menguatkan kapasitas dan
kapabilitas kelembagaan. Jika tidak mau berubah partai tersebut harus
ditinggalkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar