Renminbi
sebagai Acuan
J Soedradjad Djiwandono ; Guru
Besar Ekonomi Emeritus,
Universitas Indonesia;
Professor Ekonomi Internasional,
RSIS, Nanyang Technological University Singapura
|
KOMPAS, 05 Januari
2017
Dalam
Sarasehan Ekonomi Nasional di sebuah hotel di Jakarta awal Desember lalu,
Presiden Jokowi, sebagaimana dikutip media, mengatakan, ”Menurut saya, kurs
rupiah dan dollar AS bukan lagi tolok ukur
yang tepat. Kan harusnya kurs yang relevan kurs rupiah melawan mitra dagang terbesar kita.”
Mitra
dagang dimaksud adalah Tiongkok. Nilai hubungan dagang Indonesia dengan
Tiongkok lebih besar daripada hubungan dagang dengan Amerika Serikat ataupun
Uni Eropa. Atas dasar ini, Presiden berpendapat bahwa sebaiknya kita
meninggalkan penggunaan dollar AS dan menggantinya dengan yuan atau renminbi
sebagai tolok ukur. Sehari setelah itu, Menteri Koordinator Perekonomian
Darmin Nasution membuat pernyataan bahwa itu bukan yang dimaksud Presiden,
tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksudkan.
Menurut
saya, pernyataan tersebut bukan hanya reaksi sesaat yang boleh diabaikan. Mengapa?
Karena ini bukan satu-satunya ataupun yang pertama disampaikan pemerintah.
Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan dari kabinet sebelum dilakukan
perombakan (reshuffle) pernah
mengusulkan digunakannya renminbi dalam perdagangan antarnegara- negara ASEAN
dalam fora resmi. Demikian pula Presiden Jokowi dalam Pertemuan Puncak ASEAN
dengan mitra dialognya.
Sebagaimana
diketahui, hubungan perdagangan dan investasi Indonesia dan banyak negara
lain di Asia dan kawasan lain dengan Tiongkok memang terus meningkat, apalagi
semenjak dunia dilanda resesi berkepanjangan (the great recession) setelah krisis keuangan 2008/2009. Kemudian
IMF memasukkan renminbi sebagai dasar nilai dana reserves ciptaan IMF yang
dikenal sebagai SDRs (special drawing
rights). Pengumumannya dilakukan lebih dari setahun lalu, sedangkan
peresmiannya awal Oktober 2016. Dengan keputusan ini, renminbi masuk dalam
mata uang kelas elite bersama dollar AS, poundsterling, euro, dan yen.
Atas
dasar hal itu, apa yang dinyatakan Presiden yang didampingi sejumlah menteri
ekonomi di depan seratus ekonom itu tentu bukan keseleo lidah (slip of the tounge) dan memang
beralasan. Akan tetapi, saya punya pendapat yang agak berbeda dalam
permasalahan ini.
Peran ekonomi Tiongkok
Perkembangan
ekonomi Tiongkok memang luar biasa sejak dilancarkannya kebijakan ekonomi PM
Deng Xiaoping, dikenal sebagai ekonomi sosialis dengan karakteristik
Tiongkok, akhir 1970-an. Ekonomi Tiongkok tumbuh dua digit setiap tahun
selama tiga dasawarsa dua tahun yang lalu.
Melampaui
posisi Jepang, menjadi nomor dua terbesar di dunia tahun 2010. Kalau
digunakan ukuran paritas daya beli (purchasing power parity), ekonomi Tiongkok
sudah terbesar di dunia tahun lalu. Dengan menggunakan nilai nominal PDB,
ekonomi Tiongkok akan menjadi nomor satu sekitar 10 tahun lagi.
Sejak
menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001, dua tahun
kemudian nilai perdagangan Tiongkok 4 triliun dollar AS, terbesar di dunia,
melampaui AS. Pada waktu perekonomian negara-negara maju mengalami kelesuan
dalam resesi yang berkepanjangan sebagai akibat dari krisis keuangan dunia
2008-2009, ekonomi Tiongkok menjadi penyelamat banyak perekonomian, terutama
negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam, termasuk Indonesia. Sejak
itu, banyak negara, termasuk Jepang dan Korea Selatan, yang mengalami
perubahan dalam posisi hubungan perdagangan, di mana Tiongkok menjadi mitra
dagang terbesarnya.
Bersamaan
dengan hal itu, Tiongkok menjadi pengumpul cadangan devisa terbesar dan
pemegang terbesar utang AS. Devisa yang terkumpul melampaui 4 triliun dollar
AS dan kebanyakan dalam aset dollar AS. Ini salah satu unsur yang mendorong
IMF mengakui bahwa renminbi selayaknya menjadi bagian dari SDR.
Tiongkok
sendiri, mulai dengan masuknya menjadi anggota WTO, terus berupaya
meningkatkan hubungan perdagangan, investasi, dan ekonomi-keuangan di dunia,
baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Pendirian Asian
Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang menyaingi Bank Dunia beberapa
waktu lalu, dan meningkatnya peran dalam pembangunan di negara-negara Amerika
Latin, Afrika, dan Asia, semua melambungkan peran Tiongkok dalam hubungan
perdagangan, ekonomi-keuangan Tiongkok dengan negara-negara lain di seluruh
dunia.
Dalam
hubungan perdagangan dan investasi yang dikembangkan ini, peran renminbi
sebagai alat pembayaran juga terus meningkat. Tiongkok juga membiarkan
digunakannya renminbi sebagai alat pembayaran secara internasional.
Pemerintah Tiongkok juga mendorong dijadikannya renminbi mata uang yang
diperdagangkan di pusat-pusat keuangan internasional London dan Singapura.
Semua yang disebut itu merupakan unsur yang mendorong kian besarnya peran renminbi
dalam sistem pembayaran dunia dan posisi renminbi sebagai bagian cadangan
devisa.
Di
Indonesia, antara lain karena kurangnya pemahaman tentang arti sesungguhnya
dari status renminbi menjadi bagian dari SDR telah menumbuhkan persepsi di
pasar yang berlebihan. Hampir dua tahun lalu ada pengamat finansial yang
memprediksikan dalam waktu singkat renminbi akan menggantikan kedudukan
dollar AS menjadi mata uang dunia.
Renmimbi sebagai tolok
ukur?
Seandainya
pernyataan Presiden Jokowi dikemukakan waktu cadangan devisa Tiongkok
mencapai 4 triliun lebih seperti setahun lalu dan negara ini masih pemegang
obligasi AS paling besar (kini sudah tidak lagi) serta renminbi resmi jadi
bagian dari SDR dan tak ada kekhawatiran perubahan sikap AS, mungkin lebih
mudah untuk diterima. Namun, saya mengamati perkembangan yang kurang
mendukung pendapat itu dewasa ini.
Salah
satu alasannya adalah meningkatnya ketidakpastian dengan Donald Trump menjadi
presiden AS, 20 Januari nanti. Tidak seperti dipersepsikan banyak orang, implikasi
dari kebijakan yang berubah dari Pemerintah AS dan The Fed terhadap
perekonomian Tiongkok tampaknya tidak banyak berbeda dengan negara-negara
berkembang lain.
Perekonomian
Tiongkok juga mengalami tekanan seperti Indonesia dan negara-negara berkembang
lain yang menghadapi terjadinya arus balik modal dan dana yang selama ini
tertanam di negara- negara tersebut karena kondisi ekonomi AS yang lebih
lemah. Keputusan The Fed menaikkan Fed funds rate medio Desember lalu dan
akan dilanjutkan dengan kenaikan tiga kali lagi pada 2017 mengubah ekspektasi
pasar terhadap perekonomian AS.
Hal
itu diperkuat oleh lebih besarnya kemungkinan terjadi peningkatan pengeluaran
investasi infrastruktur dan pengeluaran pada umumnya karena pemotongan pajak
korporasi dan pendapatan ataupun liberalisasi yang probisnis.
Semua
perkembangan itu mendorong menguatnya dollar AS terhadap semua mata uang di
dunia yang sedang berlangsung dan besar kemungkinan akan berlanjut. Dollar AS
yang menguat atau mata uang negara-negara berkembang yang melemah mendorong
arus balik modal. Dalam pada itu, kebijakan Trump yang merkantilis,
proteksionistis akan menimbulkan implikasi bahwa melemahnya mata uang
negara-negara lain terhadap dollar AS kemungkinan tak akan berdampak pada
meningkatnya ekspor negara-negara tersebut.
Yang
disebut itu bukan analisis teoretis. Kecenderungan itu sudah tampak dari
sejumlah laporan dan analisis yang dibahas Financial Times. Cadangan devisa
Tiongkok 4 triliun dollar AS lebih pada 2015. Dewasa hanya sedikit lebih besar
dari 3 triliun dollar AS. Artinya, dalam setahun terjadi pengurangan luar
biasa yang tentu mengkhawatirkan. November lalu, dalam sebulan terjadi
penurunan cadangan sekitar 70 miliar dollar AS, sangat besar bahkan buat
Tiongkok.
Analisis
sejumlah kalangan menunjukkan, keluarnya aliran dana ini sebagian karena
intervensi yang sengaja dilakukan Bank Sentral Tiongkok (PBOC) untuk
mengurangi laju depresiasi renminbi yang cepat. Sebagian lain karena
pembayaran kembali pinjaman korporasi yang membengkak dan pelarian modal. Hal
ini tampak, misalnya dari kegiatan merger dan akuisisi (MA) dan transaksi
yang agak di luar kebiasaan seperti adanya over pricing, pembayaran jasa-jasa
asuransi yang sangat besar, pembelian properti dan perusahaan di luar negeri
di berbagai sektor oleh pemodal Tiongkok merupakan tanda-tanda terjadinya
kegiatan yang sebenarnya pelarian modal secara terselubung.
Pemerintah
Tiongkok juga kembali melaksanakan berbagai langkah pengendalian modal
(capital control) dengan membatasi besarnya dana untuk pembayaran dividen
buat pemilik saham asing, pembatasan izin dan besarnya penanaman modal di
luar negeri bagi pemodal Tiongkok. Semua ini mengisyaratkan ada perasaan
waswas dari dunia usaha Tiongkok yang kemudian melakukan tindakan
penyelamatan modal (flight to safety) dan kemudian dihadapi otoritas dengan
upaya pencegahannya.
Masyarakat
kita kurang paham kondisi yang berkembang dalam perekonomian Tiongkok.
Misalnya tentang besarnya pinjaman resmi pemerintah yang masih dalam kondisi
yang aman (sekitar 40 persen terhadap produk domestik bruto). Tak jelas
apakah di dalamnya sudah termasuk pinjaman pemerintah provinsi yang juga
tinggi dan meningkat waktu semua berlomba membangun infrastruktur dan
properti beberapa tahun terakhir dengan pembiayaan mengandalkan pinjaman
shadow banks yang kurang jelas pengaturannya.
Selain
itu, terjadi peningkatan pesat pinjaman korporasi dua tahun terakhir sehingga
IMF mengeluarkan peringatan karena pinjaman korporasi 145 persen dari PDB.
Ini menyebabkan pinjaman Tiongkok secara keseluruhan mencapai 225 persen dari
PDB. Bukan seperti digambarkan beberapa pihak di Indonesia, rasio pinjaman
terhadap PDB Tiongkok juga tinggi seperti kebanyakan negara Barat.
Karena
itu, untuk mengubah tolok ukur sebagai panduan berusaha buat Indonesia dari
dollar AS ke renminbi, kalaupun akan dilakukan seyogianya bukan sekarang
ataupun dalam waktu singkat. Keputusan penting ini harus didahului kajian
yang mendalam, menyangkut semua informasi yang relevan apa untung-ruginya
bagi perekonomian nasional, bukan perhitungan sesaat ataupun untuk
kepentingan mikro atau kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar