PBB
dan Sekjen Baru
Dian Wirengjurit ; Diplomat
Utama
|
KOMPAS, 05 Januari
2017
Mulai
1 Januari 2017, PBB dipimpin sekretaris jenderal baru, Antonio Guterres asal
Portugal. Terpilihnya Guterres, mantan Perdana Menteri Portugal (1995- 2005) dan
Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi/UNHCR
(2005-2015) pada pemilihan terakhir di Dewan Keamanan (DK) PBB 5 Oktober
2016, memang di luar perkiraan. Hingga saat-saatterakhir, tadinya Irina
Bokova (Bulgaria), Direktur Jenderal UNESCO,sangat diunggulkan karena faktor
geografis ”giliran Eropa Timur” dan bakal menjadi perempuan pertama.
Namun,
itulah PBB, yang kini mulai transparan karena hasil pemungutan suara di DK
PBB dapat diketahui secara terbuka. Pada masa lalu masyarakat internasional
hanya ”terima jadi” karena semua ditentukan di belakang layar. Guterres
secara mengejutkan dipilih 13 negara (dari 15 negara anggota DK PBB) tanpa
suara menentang (veto), sementara Irina Bokova dan delapan kandidat lain
ternyata mendapatkan discouragement dan veto dari negara anggota tetap DK, di
sampingtiga kandidat lain yang sudah mundur sebelumnya.
Apa
yang terjadi sebenarnya akan tetap jadi ”misteri” mengingat kelompok Eropa
Timur, dengan didukung Rusia, selama ini paling gigih menggadang-gadang
calonnya. Berbagai spekulasi muncul mengingat Guterres sebagai wakil kelompok
Eropa Barat dan negara lain sebenarnya baru muncul kemudian. Yang jadi tanda
tanya: apa yang akan menjadi prioritas Guterres sebagai bos dari organisasi
internasional terbesar di dunia dengan anggaran 5,4 miliar dollar AS atau
sekitar Rp 72,9 triliun ini.
Dari
satu sisi, kompetensi Guterres tak diragukan lagi dengan pengalaman birokrasi
luas di dalam dan di luar pemerintahan, termasuk UNHCR dan presidensi Uni
Eropa (2000).
Dengan
bekal itu, tak diragukan Guterres—yang menguasai tiga bahasa PBB: Inggris,
Perancis, dan Spanyol, di samping Portugis—akan mampu mengatasi
masalah-masalah kemanusiaan yang kini dihadapi masyarakat internasional,
seperti HAM, imigran ilegal, dan pengungsi.
Tantangan Guterres
Di
lain pihak, masih banyak masalah lain, khususnya di bidang keamanan dan
perdamaian, yang sudah sejak lama on the table, seperti dikutipkantor berita
AP. Pertama, PBB kini sudah kedodoran dengan adanya 15 badan otonom, 11
semiotonom, dan berbagai badan lain. Selama ini Sekjen PBB hanya
mengoordinasikan kerja badan-badan itu tanpa otoritas untuk mengawasi
semuanya.
Membengkaknya
struktur ini antara lain menyebabkan lambatnya penanganan ebola di Afrika,
misalnya karena direktur lapangan hanya melapor kepada direktur regional dan
bukan kepada Markas Besar WHO di Geneva, yang juga tidak melaporkan hal ini
kepada Sekjen PBB.
Kedua,
PBB senantiasa meminta anggotanya menyumbangkan Pasukan Penjaga Perdamaian
untuk 16 misinya di dunia. Jumlah ini kini mencapai 130.000 tentara,
meningkat pesat dari 11.000 tentara pada akhir Perang Dingin. Jumlah ini
dipertanyakan karena menimbulkan berbagai masalah lain, di antaranya lebih
dari 100 tentara tewas dan sejumlah lain disandera.
Ketiga,
krisis kemanusiaan yang terjadi dewasa ini telah meningkatkan secara
signifikan jumlah pengungsi hingga mencapai 51 juta orang. Angka ini
tertinggi sejak badan dunia ini mulai menangani masalah ini sejak 1950-an.
Mereka bukan hanya terpaksa meninggalkan negaranya, melainkan juga berpindah
dari satu tempatke tempat lain di dalam negaranya sendiri (displaced), baik
karena perang, bencana alam, maupun sebab lain.
Keempat,
dengan banyaknya krisis yang terjadi, PBB butuh dana yang kian meningkat dari
tahun ke tahun. Hampir semua badan PBB dibiayai sumbangan sukarela, yang
umumnya tak memadai. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), misalnya,
terpaksa menghentikan program bantuan makanan bagi 1,7 juta pengungsi Suriah
karena kurang dana. Sementara masih banyak anggota PBB yang menunggak iuran
tahunan, akhir 2016 sekitar 3,5 miliar dollar AS.
Namun,
masalah terberat dan kronik yang terjadi sejak awal berdirinya badan dunia
ini adalah mengenai hak veto. Sejak terbentuknya PBB, hanya lima
negara(pemenang Perang Dunia II/P-5) yang secara de facto berkuasa, sebagai
anggota tetap DK PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan
Tiongkok.
Sementara
10 negara anggota tidak tetap lebih sebagai ”penggembira”.DK-PBB dinilai
gagal mengatasi berbagai konflik utama, seperti Suriah, Ukraina, Yaman, dan
Sudan; juga masalah permanen seperti konflik Palestina-Israel. Padahal, tanpa
adanya veto, masalah itu mungkin sudah dapat diselesaikan.
Sebagai
organisasi yang kini beranggotakan 193 negara, berkembang dari 53 negara saat
pembentukannya, DK PBB sudah tak merepresentasikan kenyataan dunia saat ini.
Semua negara anggota memang terwakili dalam Majelis Umum, tetapi lembaga itu
hanya menghasilkan resolusi- resolusi yang tak mengikat (non- binding).
Hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa negara P-5 ingin berbagi kekuasaannya
dengan lebih banyak negara.
Guterres
pasti sadar bahwa sebagai manajer, seperti kata Edward J Perkins, tugasnya
”...to make things happen by persuasion, not by command”. Sebagian tantangan
yang dihadapi Guterres mungkin dapat diatasi mengingat pengalamannya selama
ini. Namun, mengenai hak veto, mungkin memang sudah ditakdirkan bahwa
keberadaan P-5 adalah tak tergantikan.
Bagi
Indonesia, tampilnya Guterres sebagai Sekjen PBB tak akan membawa dampak yang
signifikan. Hampir sama seperti ketika Ban Ki-moon terpilih, Indonesia yang
gigih mendukung calon Asia sebenarnya berharap banyak sekjen asal Korea
Selatan ini akan memberi perhatian lebih pada Asia dan negara kita. Bagi kaum
perempuan, gagalnya Irina Bokova menjadi pemimpin badan dunia ini pasti
mengecewakan karena paling tidak harus menunggu lima tahun lagi; dengan
catatan ketika itu akan muncul bukan hanya calon yang berbobot, melainkan
didukung kelima anggota tetap DK PBB.
Paling
tidak, Guterres mengaku banyak belajar diplomasi dari perempuan.
Mudah-mudahan ia dapat menyatukan persepsi negara-negara anggota PBB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar