Perempuan
dan Terorisme
Said Aqil Siroj ; Ketua
Umum PBNU
|
KOMPAS, 05 Januari
2017
Dalam
waktu belum lama berselang, lagi-lagi kita dikejutkan oleh dua kasus
penangkapan perempuan oleh aparat kepolisian.
Kasus
pertama, penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Penangkapan Dian ini
sekaligus membuktikan, jejaring terorisme bukan lagi domain kaum lelaki
semata, melainkan sudah melibatkan jejaring kaum perempuan secara aktif.
Bermula dari seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang bersimpati
dengan perjuangan Islam di Suriah, Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi
jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs
radikal lain, termasuk situs jihad online yang dikelola jejaring Aman
Abdurrahman.
Setahun
mempelajari doktrin dan ajaran takfiri Ustaz Aman dan perkenalan dengan
jejaring teror Bahrun Naim via telegram, Dian merasa sudah sangat yakin dan
siap menjadi ”pengantin” yang hendak meledakkan diri dengan target Istana
Negara.
Kasus
kedua, penangkapan Ika Puspitasari alias Salsabila di Purworejo. Perempuan
lain yang juga diduga kuat terlibat tindak pidana terorisme. Kasus ketiga,
penangkapan Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri
Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang tewas tertembak dalam
operasi Tinombala. Atun ditangkap di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir
Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Ketiga
perempuan ini tentu telah berbaiat ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)
di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi yang bermarkas di Irak.
Tiga
kasus terakhir menambah daftar panjang perempuan yang sudah menjalani hukuman
atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia, antara lain
Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih, Munfiatun, Rasidah binti Subari
alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen Luceno, Deni Carmelita, Nurul
Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.
Dalam
proses persidangan di pengadilan, nama-nama itu secara sah terbukti terlibat
dalam tindak pidana terorisme dan saat ini sebagian dari mereka ada yang
masih menjalani hukuman. Sebagian lain telah bebas dan bahkan telah menikah
kembali dengan napi teroris lain yang masih menjalani hukuman di penjara.
Mengapa perempuan?
Ada
beberapa argumen yang bisa menjawab mengapa sel jejaring teroris NIIS di
Indonesia kian gencar merekrut perempuan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri
dan tak sekadar aktif terlibat dalam kegiatan dakwah serta bantuan logistik
semata.
Pertama,
sel NIIS di Indonesia sedang meniru strategi dan taktik NIIS internasional
yang melibatkan perempuan dalam peran-peran kombatan yang selama ini
didominasi lelaki, termasuk pasukan artileri dan pasukan bom bunuh diri.
Strategi ini diambil mengingat jumlah kombatan laki-laki NIIS di Irak dan
Suriah terus berkurang akibat luka parah atau tewas dalam peperangan. NIIS di
Suriah dan Irak saat ini mengalami banyak kekalahan. Menjadikan perempuan
pelaku bom bunuh diri atau pasukan artileri dianggap efektif untuk mengelabui
pasukan lawan.
Begitu
juga saat ini di Indonesia sedang terjadi fenomena sama. Berbagai penangkapan
anggota NIIS di Indonesia telah membuat sel ini kekurangan kader dan kombatan
sehingga konsolidasi kian susah dan menuntut taktik dan strategi baru. Maka,
pilihan untuk menjadikan perempuan sebagai martir adalah pilihan sebab
keterdesakan.
Kedua,
secara sosiologis, kaum perempuan, termasuk anak- anak, adalah kelompok
rentan (the vulnerable groups). Dalam
kasus Dian, pengalaman menjadi TKW di Singapura dan Taiwan selama hampir 4,5
tahun menunjukkan Dian berasal dari keluarga kurang mampu. Persisnya sekitar
satu tahun, Dian mengaku sering membuka status-status Facebook para jihadis
di Suriah dan sering mengonsumsi berita dan artikel keagamaan di situs
millahibrahim.net yang berisi ajaran-ajaran Aman Abdurrahman tanpa nalar
kritis.
Hal
ini kian menguatkan hipotesis, latar belakang pendidikan keagamaan, dan
sempitnya akses informasi yang diserap Dian memudahkan Bahrun Naim via
telegram dan Solihin sebagai ”pseudo” suami dalam ikatan perkawinan siri
untuk merekrut Dian sebagai pelaku bom bunuh diri. Meski dalam jumlah masih
terbilang sedikit, potensi bahaya dan dampak perkembangan baru ini cukup
mengkhawatirkan. Tidak menutup kemungkinan, di Indonesia ke depan, para
perempuan yang menjadi martir.
Ketiga,
banyak studi menunjukkan, perempuan yang menjadi TKW mengalami banyak
kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan ini lalu melahirkan patologi psikis
berupa marah (anger), gelisah (anxiety), dan putus asa (despair). Patologi psikis ini
menjadikan mereka kian rentan terhadap pengaruh apa pun. Semakin intens
pengaruh luar yang masuk, akan makin kuat diserap mentah-mentah. Dian
tampaknya mengalami hal sama. Ketika dalam masa ketertekanan psikis ini,
setiap manusia selalu butuh mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) untuk bertahan atas tekanan yang dialami.
Sayangnya,
dalam kasus Dian, mekanisme pertahanan justru diperoleh dari jalan yang tak
benar, yakni penolakan total atas apa yang selama ini dimiliki, serta beralih
secara total ke pengaruh dan doktrin NIIS, lalu merelakan diri jadi calon
pelaku bom bunuh diri. Ini membuktikan, TKW Indonesia di luar negeri saat ini
termasuk target baru perekrutan dan target penggalangan dana untuk
kepentingan NIIS.
NIIS dan motif perkawinan
Solihin,
suami Dian yang sekaligus anak buah Bahrun Naim, mengaku dalam satu
wawancara, salah satu motif menikahi Dian adalah menjadikannya
pelakuistisyhadiyah (pelaku syahid) dengan cara apa pun. Dalam kasus Dian, ia
mengaku diminta Solihin melakukan amaliah istisyhadiyah atas petunjuk Bahrun
Naim.
Motif
pernikahan seperti ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Al Quran
dan hadis, tak pernah ada ajaran yang membolehkan motif atau tujuan
perkawinan seperti yang dilakukan Solihin. Dalam Islam, tujuan perkawinan
adalah suci, yakni ibadah dalam rangka menjaga atau melanjutkan keturunan
(hifdzun nasl) demi kesinambungan kehidupan manusia. Jika ada motif
perkawinan dengan tujuan merusak kehidupan itu sendiri, tentu itu sudah jauh
menyimpang dari ajaran Islam.
Bahkan,
dalam fikih jihad, jika kita merujuk kitab-kitab karya ulama, dalam konteks
perang sekalipun, perempuan dan anak- anak adalah kelompok yang harus
dilindungi dan tak boleh dilukai, apalagi dibunuh. Aturan ini sudah baku
diatur dalam kitab- kitab fikih yang menjadi aturan hukum Islam yang
sebenarnya. Hal ini semata untuk menjaga kesinambungan generasi biar tetap
bisa hidup dan melanjutkan kehidupan ini secara turun temurun. Karena itu,
jika simpatisan NIIS menggunakan dalil untuk mengabsahkan motif menikahi
perempuan dengan tujuan agar istri mau melakukan amaliah istisyhadiyah, ini
sudah jauh menyimpang dan melanggar ajaran atau doktrin Islam.
Tak
ayal, melihat perkembangan baru yang mengkhawatirkan ini, pemerintah harus
segera mengambil langkah-langkah jitu. Pemerintah perlu memfasilitasi
perwakilan ormas Islam di luar negeri untuk melakukan dakwah ke kantong
TKI/TKW tentang bahaya paham NIIS yang aktif menyebarkan paham takfiri agar
terhindar dari hasutan kelompok NIIS.Pemerintah juga perlu melakukan rapid assessment terhadap para TKW/TKI
yang pulang dari daerah konflik untuk memastikan paham keagamaan mereka tak
membahayakan dan berpotensi merusak sendi-sendi kebinekaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar