Relaksasi
Mineral dan Dilema Pemerintah
Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Alpha Research Database
Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
12 Januari 2017
PEMERINTAHAN
Jokowi-JK kembali merelaksasi mineral, sejenis tembaga, untuk mengamankan
penerimaan negara. Sementara itu, mineral jenis lain, seperti nikel, bauksit,
dan mangan, wajib dimurnikan melalui pembangunan smelter. Langkah relaksasi
mineral tembaga dilakukan dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No
23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Minerba. Melalui PP hasil revisi
itu, untuk mendapatkan relaksasi ekspor, kontrak karya wajib berubah menjadi
izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Revisi
dilakukan mengingat tenggat pelarangan ekspor mineral bukan hasil pengolahan
dan pemurnian jatuh pada 12 Januari 2017. Dengan begitu, semua perusahaan
tambang wajib menghentikan ekspor mineral mentah. Sejak 12 Januari 2014,
pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor. Larangan
ekspor mineral mentah itu merupakan amanat UU No 4/2009 tentang Mineral dan
Pertambangan (Minerba). UU Minerba mewajibkan semua perusahaan tambang
membangun smelter agar memiliki multiplier-effect bagi pembangunan.
Pembangunan smelter dapat meningkatkan nilai tambah bahan tambang bagi
pembangunan.
Namun,
sampai sekarang baru 30% perusahaan yang sudah membangun smelter. Jumlah
fasilitas smelter yang sedang dibangun baru sebanyak 71 smelter; 35 pabrik
nikel, 6 pabrik bauksit, 8 pabrik besi, 3 pabrik mangan, 11 pabrik zircon, 4
pabrik seng, dan 4 pabrik zeolit. Krisis global dan kejatuhan harga komoditas
tambang ikut andil dalam perlambatan pembangunan proyek smelter. Kebijakan
relaksasi mineral, sejenis tembaga, memberi angin segar bagi dua produsen
tembaga besar, Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara, untuk kembali
mengekspor konsentrat tembaga mereka.
Dilematis
Alasannya
jelas. Dari ukuran dan dampak tentu Freeport Indonesia tak boleh dianggap
sepele. Freeport itu bukan hanya perusahaan biasa-biasa saja. Di sektor
mineral dan tembaga, Freeport ialah raksasa Trans National Corporation
(TNCs). TNCs itu mengoperasikan tambang melalui unit usaha mereka di berbagai
negara, termasuk di Indonesia. Freeport mengoperasikan tambang tembaga
open-pit, seperti Morenci, Bagdad, Sierrita, Safford, dan Miami (Amerika
Utara), tambang tembaga Cerro Verde (Peru), dan El Abra (Cili), tambang emas
dan tembaga di Grasberg (Indonesia) dan Afrika dengan kontribusi yang berbeda
di setiap negara.
Total
aset mereka sangatlah besar. Per 2015, total aset FCX mencapai US$58.795 miliar
dan total aset dari tambang Grasberg di Indonesia mencapai US$8.626 miliar.
Tak salah jika FCX sejajar dengan raksasa tambang besar, seperti BHP
Balliton, dengan total aset US$124.580 miliar pada 2015 dan Rio Tinto sebesar
US$91.568 miliar. Pada akhir 2015, Freeport Indonesia, misalnya, menjual 744
juta pound tembaga dan menghasilkan pendapatan sebesar US$1,73 miliar.
Freeport
juga menjual 1,22 juta ons emas dan menghasilkan pendapatan sebesar US$1,38
miliar. Jika penjualan emas dan tembaga digabung, Freeport Indonesia
menghasilkan pendapatan senilai US$3,11 miliar pada akhir 2015. Sebagai TNCs,
Freeport mampu membuat negara menggantungkan penerimaan negara dari mereka.
Simak saja penerimaan negara dari Freeport Indonesia setiap tahun. Freeport
Indonesia membayar pajak pada 2014 sebesar US$421 juta dan royalti sebesar
US$118 juta.
Sementara
itu, pada 2015, Freeport membayar US$109 juta kewajiban ekspor dan US$114
juta royalti. Itu sudah menunjukkan risiko fiskal jika Freeport berhenti
mengirim konsentrat sangat besar. Negara harus mencari dana alternatif untuk
menutup defisit fiskal jika Freeport berhenti mengirim konsentrat. Freeport
Indonesia berkontribusi 0,8% terhadap PDB Indonesia, 37,5% terhadap PDRB
Provinsi Papua, dan 91% terhadap PDRB Kabupaten Timika. Tak mengherankan jika
hasil penelitian ekonomi Universitas Indonesia (UI) pada 2004 menyebutkan
korporasi tambang tembaga dan emas yang mengoperasikan tambang Grasberg di
Papua itu mampu memompa roda pembangunan ekonomi nasional dan daerah.
Bukan
itu saja. Freeport juga mempekerjakan 30.004 tenaga kerja, dengan rincian,
21.462 (72%) non-Papua, 7.772 (26%) asli Papua, dan 770 (2%) pekerja asing.
Selain itu, Freeport mempekerjakan 19.800 kontraktor per akhir 2015. Data itu
menunjukkan betapa pentingnya Freeport bagi pemerintah Indonesia. Risiko
sosial-politik jika Freeport menghentikan ekspor mineral tembaga cukup besar.
Produksi dan penjualan perusahaan tentu turun dan diikuti tergerusnya semua
indikator keuangan. Terakhir perusahaan harus merumahkan ribuan karwayawan
yang jelas berkontribusi pada pengangguran.
Belum
lagi jika meletakkan tambang tembaga dan emas itu dari rantai industri. Jika
demikian, banyak perusahaan pengapalan bahan tambang dan perusahaan penyedia
jasa pelabuhan yang jatuh bangkrut dan merumahkan karyawan. Fakta-fakta di
atas menunjukkan Freeport sebagai TNCs memang kerap menciptakan
ketergantungan kepada negara-negara tempat perusahaan beroperasi. Pemerintah
kemudian dilematis; antara ingin menegakkan konstitusi atau malah membuat
beban fiskal dan risiko sosial politik besar.
Risikonya,
amanat konstitusi UUD'45 tentang kedaulatan ekonomi direnggut. Indonesia
berlayar tanpa kendali pemerintah, tetapi dikendalikan pihak asing.
Mati-hidup jutaan rakyat Indonesia bergantung pada budi baik pihak asing.
Maju mundurnya hilirisasi pertambangan bergantung pada kesediaan Freeport,
Newmont, memasok bahan baku. Freeport dan Newmont juga belum menunjukkan
keseriusan membangun smelter dengan tameng menunggu keputusan perpanjangan
kontrak sampai 2041. Pemerintah dan DPR harus duduk bersama untuk mencari
win-win-solution atas masalah ini.
Tak
adil jika politisi hanya menyalahkan pemerintah jika ada kebijakan
pelonggaran ekspor bagi Freeport Indonesia. DPR dan pemerintah harus duduk
bersama mencari dana alternatif untuk bisa menutup defisit fiskal jika
Freeport berhenti mengirim konsentrat tembaga. Maka, politik anggaran di DPR
harus berjalan. Selama ini DPR tak memiliki solusi alternatif selain hanya
menyalahkan pemerintah.
Langkah
untuk menegakkan konstitusi dan penerapan hilirisasi mineral untuk Freeport
harus dilakukan secara bertahap. Yang penting Freeport wajib melaporkan
komitmen untuk membangun smelter dan pembangunan pabrik tembaga dalam negeri.
Indonesia harus menuju industrialisasi, berhenti sebagai bangsa parasit yang
menggantungkan industri mereka pada pasokan bahan baku dari luar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar