Gerakan
Melawan Berita Hoax
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Informasi
dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA INDONESIA,
12 Januari 2017
GENDERANG
perang melawan berita hoax kini telah ditabuh di berbagai kota. Sejumlah
komunitas yang resah dengan meluasnya peredaran berita hoax yang makin
menjamur sepakat menggelar deklarasi secara serentak di enam kota, yakni
Jakarta, Bandung, Wonosobo, Surakarta, Semarang, dan Surabaya (Media
Indonesia, 8 Januari 2017). Gerakan melawan berita hoax merupakan aksi
simpatik untuk mengajak seluruh masyarakat agar peduli dan memerangi
penyebaran hoax di media sosial yang makin meluas.
Penyebarluasan
berita hoax, jika tidak segera ditangani, disadari akan dapat menjadi bom waktu
yang berbahaya bagi kelangsungan dan ketenteraman masyarakat. Dalam satu
tahun terakhir, berbagai isu atau berita bohong diduga sengaja diciptakan dan
makin intens disirkulasikan melalui media sosial, baik untuk kepentingan
politis maupun motif ekonomi. Berita-berita bohong yang sulit dilacak
kebenarannya dengan cepat menjadi viral di media sosial hingga memicu
kegaduhan, keresahan, dan bahkan konflik manifes yang kontraproduktif. Dalam
beberapa kasus, berita hoax yang menjadi viral juga ditengarai telah
mengancam stabilitas sosial-politik dan merongrong wibawa pemerintah.
Literasi media kritis
Untuk
mencegah penyebaran berita hoax agar tidak makin meluas, pemerintah melalui
Kemenkominfo belum lama ini telah memblokir ribuan situs yang dinilai kerap
menyebarkan berita hoax atau situs yang ditengarai sering menyebarluaskan
konten pornografi, ujaran kebencian, isu SARA, dan lain sebagainya. Langkah
pemblokiran situs-situs yang meresahkan masyarakat, meskipun merupakan cara
paling praktis dan cepat untuk membatasi ruang gerak penyebaran berita hoax,
disadari pemerintah sebetulnya bukan pilihan yang ideal.
Pendekatan
legal-punitif untuk memberangus situs-situs penyebar berita hoax sering kali dengan mudah
disiasati dan dalam tempo cepat bisa dipastikan akan muncul kembali
situs-situs serupa yang makin canggih. Untuk memastikan penyebaran berita
hoax agar tidak semakin meluas, kunci untuk mengatasinya sebenarnya ada di
tangan masyarakat. Inisiator untuk melawan berita hoax disadari tidak akan
berjalan efektif jika hanya mengandalkan pada inisiatif dari atas (top down).
Gerakan
melawan berita-berita palsu niscaya akan lebih berkesinambungan jika
inisiatornya berasal dari masyarakat sendiri, dan masyarakat dengan kesadaran
kritis bersama-sama untuk memerangi penyebaran berita hoax. Melalui gerakan
melawan berita hoax, selain dimaksudkan untuk mendidik masyarakat agar tidak
termakan berita-berita hoax, yang tak kalah penting ialah agar masyarakat
mampu menyaring berbagai informasi yang nyaris tidak terbatas yang beredar di
dunia maya.
Di
Indonesia, berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) 2016, kita ketahui jumlah pengguna ponsel pintar yang
memanfaatkan gadgetnya untuk browsing melalui internet dilaporkan mencapai
89,9 juta orang. Sementara itu, konten media sosial Facebook dilaporkan
dipergunakan sebanyak 71,6 juta orang (54%), Instagram 19,9 juta orang (15%),
dan Youtube 14,5 juta orang (11%). Artinya, sekitar 40% penduduk Indonesia
ialah pengguna media sosial yang setiap hari niscaya potensial sebagai
pengakses berbagai berita hoax.
Sepanjang
masyarakat memiliki tingkat literasi media kritis yang memadai, seberapa pun
banyak berita hoax ditawarkan, niscaya tidak akan ada masyarakat yang
terpengaruh. Akan tetapi, lain soal ketika meluasnya kepemilikan gadget dan
pengakses media sosial ternyata tidak sebanding dengan meningkatnya kesadaran
mereka terhadap intervensi politis dan ekonomi yang kerap mengontaminasi
dunia maya dan media sosial. Banyak bukti telah memperlihatkan kepada kita
bahwa dalam menyikapi berita yang benar justru tidak banyak masyarakat yang
tertarik untuk menyebarluaskan melalui media sosial.
Sebaliknya,
ketika berita yang mereka terima dan akses adalah berita palsu, ujaran
kebencian, SARA, berisi konten pornografi, dan lain sebagainya justru hal-hal
seperti itu malah disirkulasi dan kemudian diresirkulasikan ribuan kali lebih
banyak jika dibandingkan dengan berita yang benar.
Generasi milenial
Saat
ini, ancaman yang ditimbulkan akibat penyebarluasan berita hoax tidaklah
berlebihan jika tarafnya sudah disamakan dengan ancaman peredaran narkotika
dan terorisme. Penyebaran berbagai berita hoax yang memanipulasi, mendegrasi
kebenaran, dan bahkan memutarbalikkan fakta yang sebenarnya kini sudah tidak
lagi bisa dicegah dengan mudah. Generasi milenial yang menurut Tapscott
(2009) merupakan bagian dari generasi internet yang memiliki ciri kritis,
inovatif, dan berintegritas sering kali tanpa sadar justru termakan oleh
kemudahan yang ditawarkan gadget, internet, dan media sosial.
Berbeda
dengan generasi sebelumnya, yang terbiasa terhegemoni dan tidak memiliki
pandangan alternatif, generasi milenial memiliki akses yang terbuka pada
berbagai sumber informasi, tetapi ironisnya justru mereka kemudian terjerumus
dalam bias yang ditawarkan berita hoax. Karena tidak memiliki kemampuan untuk
membedakan fakta dengan fiksi, yang nyata dengan yang sekadar bersifat semu.
Untuk memastikan generasi milenial agar tidak menjadi korban peredaran berita
hoax yang makin lama makin meluas, yang dibutuhkan sesungguhnya ialah
bagaimana mendekonstruksi dan merekonstruksi kembali ciri-ciri generasi
internet yang kritis, inovatif, dan berintegritas.
Generasi
milenial yang sehari-hari senantiasa bersentuhan dengan teknologi informasi
dan menjadi pengguna terbesar media sosial ada baiknya jika sejak dini
dilatih agar tidak mudah termakan oleh berita bohong dan tidak mudah ikut
menyebarluaskan informasi yang tidak diketahui kebenarannya dan tidak pula
bisa diverifikasi sumbernya.
Melawan
penyebarluasan berita hoax niscaya tidak akan cukup hanya dengan melakukan
pemblokiran berbagai situs yang terbukti menjadi media yang mengancam
ketenteraman masyarakat. Membangun generasi milenial yang lebih tangguh,
kritis, dan terbiasa menghadapi godaan berita hoax adalah langkah taktis yang
lebih signifikan daripada mengembangkan pendekatan yang overprotektif, yang
justru membuat mereka mudah teperdaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar