Bangsa
Lupa Diri
B Herry Priyono ; Dosen pada Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS, 12 Januari
2017
Bangsa
ini sedang lupa diri. Lupa diri dari apa? Perkaranya perlu ditunjuk selugas
mungkin. Tata negara bernama Indonesia didirikan dengan ciri kodrati majemuk,
beragam, dan bineka, baik dalam agama, suku, maupun ras. Artinya, tanpa
kemajemukan, keragaman, dan kebinekaan, tak ada Indonesia.
Segala
tualang yang merusak kemajemukan, keberagaman, dan kebinekaan sama dengan
menghancurkan Indonesia. Segala upaya melenyapkan kemajemukan, keragaman, dan
kebinekaan sama dengan membunuh Indonesia.
Dari
mana kita tahu ciri kodrati Indonesia majemuk, beragam, dan bineka? Jawaban
standar merujuk ke konstitusi dan Pancasila dan itu diringkas indah dalam
Bhinneka Tunggal Ika. Namun, jawaban juga bisa lebih faktual. Silakan tengok
ke kiri dan kanan atau depan dan belakang. Anda kenali keragaman natural dan
kultural itu: teman berbadan pendek, sedang, tinggi; warga berwarna kulit
sawo matang, kuning, hitam; yang satu lahir dari suku Batak, lainnya Bugis,
lain lagi Dayak, Flores, Maluku, Minahasa, Papua; masing- masing menghidupi
keragaman tradisi religiositas; dan seterusnya. Itulah fakta ciri kodrati
Indonesia.
Ciri
kodrati Indonesia inilah yang sedang mau dihancurkan oleh gelombang
tribalisme agama. Bunyi gelombang tribalisme ini berderak parau, makin kalap
dan mau menggulung apa saja yang waras. Makin kalapnya tribalisme agama tentu
terjalin erat dengan para "peternak politik" (political
entrepreneurs).
Inilah
orang-orang dari dunia politik dan agama yang menggelegak ingin berkuasa, tak
segan melakukan berbagai upaya untuk mengipas keganasan perbedaan agama demi
menghancurkan rival politik. Dengan itu, tribalisme agama yang merusak ciri
kodrati kebinekaan Indonesia juga semakin pekak. Jantung
radikalisme-fundamentalis agama bukanlah soal teologis, melainkan sosiologis.
Takut akan kebinekaan
Hanya
dunia ide yang bisa tampak monolit, sedangkan realitas dari sananya selalu plural.
Tak ada hidup bersama yang tidak plural, tak ada sejarah yang tidak ditandai
kemajemukan. Pluralitas adalah ciri kodrati tata realitas, entah itu realitas
natural ataupun kultural. Karena itu, penolakan terhadap pluralitas
sesungguhnya juga penyangkalan terhadap realitas.
Konsep,
teori, ajaran, dan teologi yang menyingkirkan ciri kodrati kebinekaan
realitas adalah proyek yang gagal sejak awal. Sudah banyak rekan dari aneka
tradisi teologi mengingatkan bahwa agama dan ajaran agama yang membawa maslahat
pastilah bukan jenis yang mendorong pemeluknya merusak prasyarat hidup
bersama.
Masuk
ke dalam sejarah, komunitas-komunitas agama senantiasa mendapati diri berada
dalam derap sejarah yang selalu berubah. Tidak setiap gerakan fundamentalisme
agama bermuara pada ekstremisme kekerasan. Dalam sejarah, amat biasa gerakan
"kembali ke fundamen" menjadi jalan reformasi teologis agar suatu
komunitas beragama dibarui dan sanggup menghidupi zaman yang berubah.
Inilah
jalan mereguk kembali "awal-mula" agar memahami panggilannya pada
"zaman ini". Dan zaman terus bergerak memeluk pluralitas. Maka, di
negeri ini, kita temukan juga banyak agamawan yang percaya diri dalam beriman
sekaligus percaya diri dalam kehidupan bersama yang plural. Mereka bergulat
secara teologis dan berhasil, maka mampu menyumbang besar bagi ciri kodrati
majemuk bangsa dan tata negara. Tak ada kontradiksi antara menjadi agamawan
bermutu dan menjadi warga negara berkaliber.
Namun,
gerakan "kembali ke fundamen" juga mudah bermuara ke penolakan ekstrem
terhadap pluralitas. Biasanya jenis ini terjalin erat dengan proyek-proyek
"peternakan politik", yaitu perkawinan nafsu telanjang untuk
berkuasa dan pathos absolutisasi ajaran agama. Cirinya anti keragaman dan
kebinekaan, menolak demokrasi sebab demokrasi persis mensyaratkan pilihan
bebas dan kemajemukan, literalis/harfiah dalam memahami kitab suci, tak
peduli dengan keramatnya nilai kehidupan, menolak kebebasan suara hati, dan
semacamnya. Buya Syafii Maarif (2009) punya ungkapan tepat untuk fundamentalis
ini: "otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas".
Fundamentalis
jenis ini menetapkan corak hidup sekian abad silam sebagai kemurnian seragam
untuk semua orang; bukan karena alasan teologis, melainkan karena kekerdilan
memahami arti fundamen. Maka terjadi kebuntuan historis: gambaran kemurnian
(puritas) yang diproyeksikan ke masa silam menabrak realitas campur aduk atau
hibrid dunia kontemporer (hibriditas). Apa saja yang plural dan hibrid
menjadi musuh puritas. Fakta bahwa di bawah langit ini, dahulu ataupun
sekarang, tidak pernah ada yang murni tidaklah penting bagi "otak-otak
sederhana". Saya tidak yakin sebagai warga bersuku Jawa tak punya sekian
persen darah India atau Mongolia. Atau, sangat mungkin juga tetangga saya
dari Aceh punya sekian persen darah Portugis.
Rupanya
itulah mengapa fundamentalisme jenis ini bergulung kencang dalam periode yang
ditandai globalitas, yang dalam coraknya dewasa ini memperanakkan bukan hanya
kekebasan pilihan konsumen, melainkan juga keluasan interaksi yang membiakkan
hibriditas. Dengan memaksa kita kembali ke sekian abad silam dan menyangkal
ciri kodrati pluralitas, kaum fundamentalis jenis ini sesungguhnya
orang-orang yang minder dan ketakutan terhadap ciri plural dunia modern.
Ketika
ketakutan ini dibuat massal-dan di sini terlibat "peternak
politik"-yang kita dapati bukan warga negara yang digerakkan kebaikan
bersama, melainkan massa beringas yang kehilangan kewarasan. Hidup beradab
merosot menjadi keganasan rimba.
Merosot ke rimba
Simaklah
betapa warga negara dapat melorot menjadi seperti hewan di hutan. Ungkapan
"merosot menjadi hewan" tentu bukan deskripsi, melainkan dapatlah
dipakai figuratif untuk memahami urgensi masalah. Dalam tradisi panjang
pemikiran politik, kemungkinan seperti itu menjadi bagian seni tata negara.
Karena negara adalah proyek bentukan manusia, tata negara juga kelanjutan
dari tata manusia.
Tata
negara modern bersandar pada kekhasan tata manusia, yaitu kapasitas bernalar,
hidup dengan hukum, kerja sama bagi kebaikan bersama, dan semacamnya.
Ringkasnya, negara modern mengandaikan manusia-warganya punya kemungkinan
luhur naik menjadi "beradab". Teknologi keberadaban itu adalah
konstitusi, hukum, ciri obyektif pengetahuan, data, persuasi.
Namun,
manusia-warga yang sama juga dapat merosot menjadi "biadab" seperti
di hutan. Teknologi hidup di hutan adalah kekerasan, teror, asal pukul,
manipulasi, dan sebagainya. Justru karena manusia (bahan mentah tata negara)
dapat merosot menjadi seperti hewan, bangunan tata negara juga dilengkapi
aparatus untuk menghadapi situasi ini. Itulah mengapa negara modern
dilengkapi dengan mandat konstitusional monopoli alat kekerasan pada militer
dan polisi-kita tahu mandat ini telah banyak disalahgunakan.
Pokok
ini sama sekali bukan untuk membenarkan kekerasan, melainkan untuk
mengingatkan bagaimana jantung tata negara dilengkapi dengan perangkat (of
the last resort) jika warganya melorot menjadi biadab seperti hewan di hutan.
Saya
sepenuhnya sadar soal kontroversial yang mudah terpeleset ini, cuma tempatnya
bukan di sini. Namun, silakan simak apa yang terjadi di negeri ini. Keluhan
kita bahwa "pemerintah tidak tegas menindak para perusak
kebinekaan" juga menunjuk tidak bekerjanya aparatus yang tugasnya persis
menghadapi situasi genting seperti itu. Yang ganjil, aparatus ini justru
sering sibuk urusan yang bukan masalah. Contohnya, dari mana militer dan
polisi punya paranoia kebangkitan komunisme? Paranoia itu semacam melihat
anak kucing sebagai harimau raksasa. Yang berderap kencang bukan komunisme, melainkan
tribalisme agama, bung!
Sudah
bukan rahasia lagi, dan ini juga bukan khas Indonesia, banyak kelompok
perusak ciri kodrati keragaman dan kebinekaan pernah menjadi semacam proksi
dalam operasi militer atau kepolisian. Itu juga terjadi di Afganistan, Irak,
ataupun beberapa negara Amerika Latin. Apa yang ganjil bukan asal-usul
kelompok itu; banyak orang sudah tahu. Yang ganjil adalah bagaimana dalam
situasi kerusakan ciri kodrati Indonesia hari-hari ini, aparatus khusus itu
tidak menunjukkan kelugasannya terhadap para perusak fondasi bangsa.
Maka,
ketimbang sibuk dengan paranoia komunisme, atau membantu penggusuran tidak
adil, atau malah bermain mata dengan para tribalis agama, bangsa ini
memanggil-manggil Anda untuk menanggapi perusakan dan para perusak ciri
kodrati Indonesia yang majemuk dan bineka. Namun, untuk itu butuh sedikit
kecermatan. Bagi kebanyakan orang, apa saja yang menyangkut agama dan atas
nama Tuhan seolah pasti luhur dan diperbolehkan. Itu kesalahan fatal. Kalau
presiden sangat repot dan tidak sempat mengajari, mungkin patokan kecil
berikut ini berguna. Patokan ini juga masyhur dalam sejarah pemikiran.
Pertama,
pada lapis paling sederhana, "yang jahat" punya wajah yang tampak
menakutkan. Itulah mengapa dalam banyak figurasi, setan digambarkan berwajah
mengerikan dengan tanduk di kepala. Anak-anak kecil diajari gambaran seperti
ini. Kedua, di lapis lain lagi, "yang jahat" berdandan sebagai
tampak baik, indah, dan luhur. Itulah mengapa banyak tragedi bermula dari apa
yang kedengaran luhur. Nazisme Hitler mulai dari yang tampak luhur. Begitu
pula penembakan misterius pada zaman Orde Baru mulai dengan maksud yang
terdengar baik.
Ketiga,
pada lapis lebih subtil, "yang jahat" mudah masuk melalui apa yang
terlihat saleh. Ciri subtil lapis inilah yang mengecoh begitu banyak orang:
apa saja yang terdengar sebagai seruan kepada Tuhan atau atas nama Tuhan
dianggap sebagai baik dan boleh mengorbankan siapa saja. Kalau memang
"baik", tentulah tidak menghancurkan kehidupan bersama, tidak
membuat macet jalanan, dan tidak juga merusak ketenangan hidup rukun
bertetangga.
Pokok
lapis kedua dan ketiga itu telah mengecoh banyak agama, agamawan, dan
membuatnya menjadi perusak. Agama yang tidak dikawal dengan pemahaman tentang
pokok itu mudah menjadi destruktif dan kehilangan daya rahmat bagi hidup
bersama dan alam semesta. Bukanlah anomali apa yang sering terdengar luhur
dan saleh justru membawa hidup kita ke kehancuran.
Apakah
tribalisme agama lebih penting dari urusan civic, seperti reformasi birokrasi,
hak asasi, pemberantasan korupsi, kerusakan lingkungan, pertumbuhan ekonomi?
Tentu tidak! Perkara civic selalu bersifat inklusif, artinya menyangkut kita
semua tanpa diskriminasi. Persis ciri inklusif inilah yang sedang remuk
dengan dirusaknya kemajemukan Indonesia oleh para tribalis agama.
Itulah
mengapa jerih payah perjuangan civic tak mungkin dipisahkan dari urgensi
tanggapan terhadap tribalisme agama yang kian meremuk bangsa ini. Sekali
lagi, Indonesia dari sananya berciri kodrati majemuk dan bineka. Penghancuran
ciri kodrati majemuk dan bineka ini sama dengan penghancuran Indonesia.
Lupa
diri itu hal biasa, tetapi tidak perlu berlama-lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar