Rapuhnya
Komunikasi Kebijakan
Gun Gun Heryanto ; Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)
|
KORAN SINDO, 09 Januari
2017
Rapuhnya
komunikasi publik terkait kebijakan pemerintah terasa lagi di awal 2017 ini.
Pernyataan beragam elite pemerintah terkait dengan implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 60/2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan
Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara RI menunjukkan ada masalah krusial
dalam koordinasi komunikasi publik lintas sektoral di pemerintah saat ini.
Bukan
hanya soal tarif STNK yang ramai jadi perbincangan warga, tetapi juga
sejumlah isu kebijakan lainnya. Polemik terakhir yang juga menyita perhatian
banyak kalangan adalah komunikasi publik berkenaan dengan pemutusan kerja
sama militer antara TNI dan Angkatan Bersenjata Australia (Australian Defence
Force).
Komunikasi Publik
Dalam
kasus jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang diberlakukan Januari
2017, membuat banyak warga terkaget-kaget. Paradoks ini juga diperkuat oleh
perbedaan pesan publik yang disampaikan elite yang menjadi representasi
pemerintah. Misalnya saja pada 5 Januari 2017, Presiden Jokowi mempertanyakan
tingginya kenaikan tarif STNK dan BPKB.
Sementara
itu, kepolisian dan Kemenkeu juga penjelasannya mengambang, tidak kokoh dan
kurang memberi argumentasi yang sifatnya menunjukkan pola dua arah dan
berorientasi pada keuntungan dua pihak (mutual benefit) antara pemerintah dan
rakyat yang terdampak oleh kebijakan. Mundur ke beberapa waktu lalu, bukan
kali pertama saja persoalan komunikasi menjadi isu krusial yang harus diatasi
secara serius pemerintah saat ini.
Polemik
terbuka terjadi antara Rizal Ramli yang saat itu Menteri Kemaritiman dengan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) saat itu, Sudirman Said, perihal
pembangunan listrik 35.000 megawatt. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla juga sempat dikritik karena perbedaan pesan publiknya saat keluarnya
Perpres Nomor 39/ 2015 tentang pemberian fasilitas kenaikan tunjangan uang
muka kendaraan bagi pejabat.
Presiden
Jokowi menyatakan hanya menandatangani dokumen yang sudah diparaf bawahannya.
Presiden tidak tahu persis isinya. Sementara Wakil Presiden menyatakan tidak
mengetahui ada kenaikan tunjangan tersebut. Pun demikian soal pemutusan kerja
sama militer antara TNI dan ADF (Australian Defence Force).
Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada 29 Desember 2016 memberi pesan publik
tentang instruksi untuk menghentikan sementara segala kerja sama militer
termasuk latihan dengan ADF; sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
menyatakan hubungan Indonesia-Australia baik-baik saja. Dia menyarankan untuk
tidak gegabah dan bersikap sepihak (4 Januari 2017).
Tentu,
tak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada kelemahan,
namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari halhal yang sesungguhnya
bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah
koordinasi komunikasi. Kebijakan publik tertentu boleh diambil pemerintah
karena punya otoritas untuk itu. Clarke E Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999), menyebutkan
kebijakan publik adalah hasil (outcome) dari pertarungan di dalam
pemerintahan sehingga seseorang mendapatkan sesuatu (who gets what). Lahirnya sebuah kebijakan tentu tidak di ruang
hampa, ada pergulatan, ada dialektika bahkan mungkin pertarungan nilai,
gagasan dan kepentingan.
Tetapi
saat kebijakan diambil dan sudah menjadi “barang jadi” maka pemerintah
harusnya memiliki pandangan dan sikap yang sama, tidak membingungkan rakyat
yang terdampak kebijakan. Hal ini dikuatkan Thomas R Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, (1992) bahwa
kebijakan publik itu soal whatever governments choose to do or not to do! Di
sinilah letak pilihan harus ajek.
Jangan
plinplan dan jangan mengambang, saat kebijakan sudah diambil maka harus ada
komunikasi strategis untuk menyosialisasikannya dan mengimplementasikannya
dengan optimal. Setiap kebijakan mulai saat menjadi agenda, perumusan,
penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi sebagai
faktor penting dan berperan signifikan.
Informasi,
koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak
boleh diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan
pemerintah. Kebijakan publik yang diambil pemerintah banyak yang berantakan
dan tidak menimbulkan kepercayaan publik karena salah urus komunikasi.
Narasi Pemerintah
Dalam
budaya organisasi termasuk mengelola birokrasi pemerintahan penting untuk
menjaga performa komunikatif. Pacanowsky dan ODonnell dalam bukunya
Communication and Organizational Culture (1982), performa menggambarkan
proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi.
Ada
lima indikator dalam mengevaluasi performa komunikatif, yakni performa
ritual, hasrat, sosial, politis dan enkulturasi. Jika tidak mampu
menyinergikan kelimanya maka performa komunikatifnya akan buruk. Saat ini
penting bagi Jokowi untuk mengoptimalkan peran komunikasi dalam setiap
kebijakan yang dikeluarkannya.
Narasi
pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat diimplementasikannya sebuah
kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat baik dan niat
politiknya untuk membangun pemahaman bersama (mutual understanding).
Sesungguhnya, Presiden Jokowi sudah pernah mengeluarkan Inpres Nomor 9/2015
tentang Pengelolaan Komunikasi Publik.
Salah
satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya narasi tunggal dan
dalam konteks ini Kominfo diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut.
Dalam skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementrian, lembaga dan
pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan,
yakni penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan
analisis data, koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi
informasi publik dan monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana
untuk membuat tata kelola komunikasi publik sesungguhnya sudah ada di era
Jokowi.
Masalahnya
ada pada konsistensi dan kesiapan seluruh pihak di pemerintahan untuk
menjadikan kerja komunikasi sebagai hal penting dan koordinasi menjadi
keniscayaan. Tak akan ada kebijakan yang sukses tanpa pengelolaan komunikasi
publik yang optimal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar