Babak
Akhir Amnesti Pajak
Candra Fajri Ananda ; Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN SINDO, 09 Januari
2017
Lonceng
pergantian tahun baru 2017 menandakan dimulainya babak baru program amnesti
pajak (tax amnesty). Kini momen yang sangat-sangat langka ini telah memasuki
periode terakhir.
Dalam
tiga bulan ke depan, pemerintah akan melontarkan peluru-peluru terakhirnya
untuk mengejar target penerimaan. Secara implisit hasil sementara yang telah
terkumpul belum tampak meyakinkan karena tren realisasi penerimaan tidak
bekerja secara impresif. Sebagai bahan kontemplasinya, jika kita bandingkan
jumlah dana tebusan yang dihasilkan antara periode pertama dengan yang kedua,
perbedaan keduanya tampak jelas.
Di
periode pertama, nama Indonesia sudah melambung sebagai pemegang rekor baru
dunia berkat penerimaan dana tebusan yang mencapai Rp97,2 triliun. Tiga bulan
berselang atau setelah periode kedua berjalan, tambahan dana tebusan hanya
tercapai Rp9,87 triliun. Jika diakumulasikan sejak periode pertama, total
penerimaan baru mencapai Rp107,02 triliun atau berkisar 64,86% dari total
target penerimaan.
Kabar
bahagianya, dana tebusan tax amnesty berhasil menyelamatkan wajah pemerintah
dari ancaman defisit fiskal yang lebih besar. Dari laporan sementara
realisasi APBN-P 2016, total defisit fiskal berhasil ditahan ”hanya” 2,46%
produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Angka
ini lebih rendah dari proyeksi penghematan anggaran yang disusun Menteri
Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebesar 2,50%. Penerimaan pajak yang
terkumpul sebesar Rp1.283,6 triliun tetap menjadi elemen yang paling vital
karena menyumbang 82,72% pendapatan negara.
Jika
kemarin hanya mengandalkan penerimaan pajak rutin, total penerimaan dari
perpajakan hanya berjumlah Rp1.176,58 triliun dan defisit fiskal akan
membengkak menjadi 3,32%.Meskipun turut menghasilkan cerita-cerita
membanggakan, terselip pula beberapa evaluasi yang seharusnya segera diatasi
pemerintah.
Sebab
dari tiga indikator utama yang terdiri atas target penerimaan dana tebusan,
dana repatriasi, dan deklarasi harta, hanya realisasi deklarasi harta yang
hingga detik ini mampu melebihi target yang ditetapkan. Adapun kedua
indikator lain masih di ambang kekhawatiran untuk sulit memenuhi target.
Padahal
jika kita simak ulang penyataan Presiden Joko Widodo dan Menkeu Sri Mulyani
pada saattahapawalpeluncuranprogram tax amnesty, justru realisasi dana
tebusan dan repatriasilah yang menjadi target paling diprioritaskan.
Realisasi dana tebusan sedianya akan digunakan menutupikebutuhanpembiayaan
pembangunan melalui belanja APBN.
Adapun
dana repatriasi jika disesuaikan dengan substansi UU Pengampunan Pajak akan
mengisi pos-pos investasi potensial, terutama untuk menggairahkan sektor
kredit dan sektor riil. Kalau sudut pandangnya kita perlebar lagi, banyak
tujuan jangka panjang yang akan disulut melalui program tax amnesty, misalnya
untuk kuantitas wajib pajak dan perluasan basis pajak.
Perluasan
ini sekaligus bertujuan untuk memperbaiki tingkat kepatuhan pajak serta
meningkatkan tax ratio Indonesia secara simultan. Nah momentum tax amnesty
kemarin sudah berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak meskipun sifatnya
masih ”merangkak”.Pada tahap pertama, Ditjen Pajak mengklaim telah menambah
sekitar 15.856 wajib pajak baru setelah bergulirnya tax amnesty.
Bahkan
di salah satu episode perjalanan, sempat ditemukan 8 nama orang-orang terkaya
di Indonesia versi Forbes yang ternyata belum memiliki nomor pokok wajib
pajak (NPWP). Ini menunjukkan kesadaran masyarakat masih prematur terhadap
tanggung jawab pajak.
Selain
itu pemerintah dapat dikatakan lengah untuk meng-up grade basis data
perpajakan hingga nama-nama wajib pajak prominen (besar) ada yang luput dari
kewajiban pajak. Karena itu sekarang tampak logis jika Menkeu mengaku heran
dengan raihan tax ratio pada 2016 yang masih di bawah 11%.
Kembali
ke topik persiapan babak akhir bergulirnya tax amnesty, penulis memandang
optimalisasi penerimaan dana tebusan dan repatriasi merupakan sasaran yang
sulit untuk ditawar- tawar lagi. Keduanya sangat diharapkan dapat membantu
mengatasi persoalan pembangunan untuk kepentingan jangka pendek.
Berhubung
keduanya masih jauh dari jangkauan target, tulisan ini akan difokuskan untuk
menggelar evaluasi ringkas hasil realisasinya. Untuk mengawali pembahasan,
mari kita flashback sejenak atas beberapa strategi utama yang telah
dijalankan selama perjalanan dua periode ini. Pertama, kejelian pemerintah
akan sangat diuji di dalam strategi mengejar penerimaan dari wajib-wajib
pajak potensial.
Ceruk
yang dapat digali ibaratnya sudah semakin kecil karena sudah dikeruk
habis-habisan pada periode pertama dan kedua. Dalam beberapa dekade
terakhirpara pelakudisektorindustri minyak bumi dan gas (migas) maupun yang
nonmigas sudah sangat dieksploitasi hingga ada yang menganggap pemerintah sedikit
abai dengan eksistensi perpajakan dari profesi lain.
Hasilnya
sudah dapat kita cetak berdasarkan fenomena didua tahun terakhir, yaitu hasil
perpajakan kita sangat terpengaruh dengan kinerja di sektor industri migas
maupun nonmigas. Langkah pemerintah di periode kedua untuk fokus pada
sosialisasi terhadap sembilan profesi dengan kategori penghasilan mewah (di
antaranya terdapat profesi dokter, notaris, pengacara, dan komisaris BUMN)
serta para pelaku UMKM sudah sangat relevan untuk kepentingan ekstensifikasi
dan intensifikasi pajak.
Menkeu
bahkan mengatakan 70% peserta yang terlibat di tahap kedua berasal dari para
pelaku UMKM. Yang perlu kita amati sekarang, bagaimana dengan kinerja
realisasinya? Kalau dari ukuran penerimaan per wajib pajak, jelas akan sangat
njomplang karena dari sembilan profesi yang dituju dan khususnya pelaku UMKM
yang berada di level prominen masih sangat langka.
Karena
itu ada yang mengatakan bahwa wajar kalau pendapatan tahap kedua tidak
sebesar realisasi pada tahap pertama. Namun yang perlu kita ingat lagi,
kontribusi UMKM khususnya telah menyentuh 60% terhadap pembentukan PDB. Angka
tersebut bukanlah potensi yang dapat kita abaikan. Sementara ini Menkeu
mengaku belum cukup puas dengan kinerja perpajakan terhadap UMKM.
Medan
kesulitannya bisa saja terjadi pada tahap penghimpunan nilai pajaknya,
apalagi jumlah UMKM konon mencapai puluhan juta unit dan sebagian besar
berkutat di sektor informal. Oleh karena itu, beberapa kelonggaran yang sudah
disediakan seperti diperbolehkannya UMKM untuk melakukan manual dengan tulis
tangan serta pendampingan dari instansi pajak dan bank persepsi yang
berwenang perlu dipertahankan.
Bahkan
kalau perlu keterlibatan kelompok-kelompok yang menaungi berbagai profesi dan
UMKM perlu lebih diakomodasi untuk memperkuat modal sosial dengan objek-objek
pajak di dalamnya. Kedua, janji mengenai ide reformasi perpajakan sudah
seharusnya dikabarkan sejauh mana progresivitasnya, sebab ide ini sangat
melekat dengan kepercayaan dan tingkat kepatuhan publik terhadap kinerja
perpajakan.
Urusan
reformasi tidak terbatas hanya dengan segala tetek-bengek yang berurusan
langsung dengan sektor perpajakan seperti perbaikan data base, sarana dan
prasarana layanan, serta kebijakan-kebijakan lainnya. Jangan sampai dilupakan
berikutnya ialah faktor modal sosial antara negara dan rakyat.
Apalagi
banyak ”luka” yang menganga cukup lebar karena kapasitas pemerintah yang
sangat terbatas untuk merawat kepercayaan publik. Hambatannya sering muncul
dari adanya perilaku koruptif, perencanaan dan pengelolaan keuangan negara
yang kurang kredibel, kebijakan yang ”mengancam” daya beli, serta politik
utang luar negeri yang penuh polemik, dan poin-poin tersebut mayoritas berada
di pundak kekuasaan pemerintah.
Ide
pengetatan punishment akan berjalan sia-sia jika modal sosial yang ada belum
cukup menggambarkan hubungan kolaborasi yang cukup ideal. Gejala rendahnya
tingkat modal sosial sebenarnya sudah tampak akut dan gamblang. Asumsi
terbaru bisa kita lihat dari rendahnya persentase dana repatriasi dan jumlah
wajib pajak yang terlibat selama program tax amnesty.
Baik
Presiden maupun Menkeu sama-sama mengatakan partisipasi wajib pajak masih
cukup minim karena berada di rentang 2-3% dari total wajib pajak. Dan ketiga,
realisasi dana repatriasi harus segera diputar untuk membiayai berbagai
pospos investasi. Langkah ini akan mendorong eskalasi tingkat kepercayaan
publik dan ide-ide yang bermuara pada penguatan daya beli dalam satu jalan
sekaligus.
Rendahnya
penerimaan dana repatriasi bisa jadi karena para wajib pajak belum merasa
aman dengan proyeksi investasi yang diberikan pemerintah. Terlebih lagi
hingga saat ini dana repatriasi yang sudah di atas Rp100 triliun masih
mengambang di brankas lembaga keuangan Indonesia alias belum mengalir ke
sektor permodalan.
Dengan
likuiditas perbankan yang sedianya semakin longgar, perlu segera dialirkan ke
sektor-sektor yang membutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan
konsumsinya yang sedang terbelenggu. Pertandanya dapat kita lihat dari
perolehan pajak pertambahan nilai (PPN) yang realisasinya pada 2016 terhitung
mengalami kontraksi. Hasil ini menunjukkan ada kegiatan produksi/konsumsi
yang tengah tertahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar