Propaganda
Lembaga Penyiaran Khusus
R Kristiawan ; Aktif di Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP);
Tinggal di Jakarta
|
KOMPAS, 14 Januari
2017
Proses
revisi UU No 2/2002 tentang Penyiaran sedang memasuki tahap pembahasan di
DPR. Sudah ada beberapa rancangan UU yang dihasilkan. Rancangan terakhir
dikeluarkan pada 7 Desember 2016. Berbeda dari versi-versi sebelumnya, RUU
tertanggal 7 Desember 2016 ini memasukkan jenis lembaga penyiaran baru, yaitu
Lembaga Penyiaran Khusus (LPK). LPK adalah lembaga penyiaran yang didirikan
dan dimiliki oleh lembaga negara, kementerian/lembaga, atau pemerintah daerah
(Pasal 1, Ayat 15). Lebih lanjut disampaikan bahwa partai politik juga bisa
mendirikan LPK (Pasal 103, Ayat 2c).
UU
Penyiaran saat ini mengatur empat jenis lembaga penyiaran, yaitu lembaga
penyiaran publik, komunitas, berlangganan, dan swasta. Pembagian jadi empat
jenis ini sesuai sistem demokrasi dan dipakai di banyak negara demokratis.
Masuknya LPK mengandung beberapa konsekuensi penting yang berdampak pada
kualitas penyiaran Indonesia ke depan.
Saya
menduga, masuknya kategori LPK dilatari oleh krisis strategi komunikasi yang
dialami pemerintah saat ini (Kompas, 7/1) dan kepentingan kompetisi politik
partai. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak berhasil disosialisasikan
secara efektif kepada rakyat sehingga mengurangi flagship politik
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. LPK didirikan dengan harapan memberikan
saluran komunikasi pemerintah.
Apa
pun alasannya, rencana pendirian LPK ini layak dikritisi karena mengandung
beberapa persoalan.
Pertama,
persoalan perizinan. Sistem perizinan penyiaran di Indonesia melibatkan dua
lembaga, yaitu pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia. Proses perizinan
pada dasarnya adalah proses pemberian wewenang dari lembaga-lembaga publik
kepada lembaga nonpublik. Dalam hal ini, pemberian izin kepada LPK yang
dimiliki pemerintah jadi ambigu karena pemerintah sebagai lembaga publik
memberikan izin sekaligus menerima izin. Juga akan jadi ambigu karena KPI
sebagai lembaga negara independen juga boleh memiliki lembaga penyiaran.
Bagaimana mungkin lembaga yang bertugas memantau isi siaran akan memantau isi
siaran milik sendiri? Dalam situasi ini, akan menjadi runyam siapa yang
diatur dan siapa yang mengatur.
Kedua,
persoalan akuntabilitas kelembagaan. Persoalan akuntabilitas berhubungan
dengan persoalan pertama. Jika pemberi izin adalah penerima izin sekaligus,
yang akan dikorbankan adalah proses check and balance. Tata kelola penyiaran
terancam jadi sentralistik karena pertimbangan politik akan lebih dominan
dibanding pertimbangan menciptakan penyiaran yang berkualitas dan demokratis.
Potensi pelanggaran fungsi penyiaran demokratis akan sangat mungkin terjadi
dengan bias politik yang tinggi. KPI akan semakin tidak independen karena
dipilih DPR yang berasal dari partai. Sementara partai memiliki lembaga
penyiaran yang diawasi KPI.
Ketiga,
persoalan isi siaran. Ujung dari dua persoalan di atas adalah persoalan isi
siaran. Setelah masyarakat sekarang dibombardir oleh isi siaran yang bias
politik, rencana pendirian LPK ini akan semakin menambah materi siaran
bercorak politik. Materi-materi siaran bercorak kepartaian, alih-alih
ditertibkan, justru akan dilegalkan dan ditambah oleh materi siaran
propaganda pemerintah. Secara ekonomi politik, dominasi penyiaran oleh
kekuatan modal sampai saat ini tidak berusaha dijinakkan oleh regulator.
Justru regulator sendiri mencontek perilaku industri penyiaran demi
kepentingan politik.
Refeodalisasi ruang publik
Di
negara demokratis mana pun di dunia, tidak ada peran propaganda pemerintah
dan partai politik yang difasilitasi melalui saluran frekuensi milik publik.
Propaganda semacam ini ada dalam konteks sistem pemerintahan otoritarian.
Rencana pendirian LPK akan mengubah secara dramatis lanskap penyiaran
demokratis yang baru dirintis kurang dari lima belas tahun lalu.
Jika
kita tengok sejarah kebijakan komunikasi sejak Reformasi 1998, logika di
balik pendirian LPK ini sebenarnya bukan merupakan hal yang luar biasa.
Sebelum ini, sudah muncul beberapa kebijakan yang cenderung memperkuat aktor
politik dan meminggirkan kekuatan masyarakat. Setidaknya ada dua regulasi
yang memperkuat posisi pemerintah, yaitu UU Perfilman (UU No 33/1999) yang
melanggengkan sistem sensor warisan Orde Baru serta UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU No 11/2008, direvisi tahun 2016) yang masih
menggunakan prinsip kriminalisasi menyatakan pendapat warisan kolonial.
Dalam
dunia penyiaran, proses yang terjadi sejak 2002 hingga saat ini adalah
penguatan imperatif ekonomi penyiaran dan meminggirkan imperatif pemerintah
dan imperatif publik. Jika diringkas, industri penyiaran saat ini telah
tumbuh sebagai entitas ekonomi yang mencederai demokrasi. Proses ini disebut
refeodalisasi ruang publik (Jurgen Habermas, 1962), yaitu masuknya
logika-logika ekonomi dalam kesadaran masyarakat yang memperlemah kekuatan
kritis masyarakat dalam ruang publik. Pemerintahan Jokowi-Kalla dalam
Nawacita nomor 9 dengan bagus mengkritisi proses ini dengan melawan kekuatan
oligopoli penyiaran dan pemakaian lembaga penyiaran sebagai instrumen
politik. Situasi seperti ini yang seharusnya diperbaiki dalam proses revisi
UU Penyiaran saat ini.
Akan
tetapi, proses revisi hingga saat ini belum menuju ke arah perbaikan itu.
Revisi ini justru menciptakan pusaran isu baru yang semakin mengorbankan
kepentingan publik lewat rencana pembentukan LPK.
Seharusnya,
perbaikan yang sesuai semangat Nawacita adalah penertiban kepemilikan lembaga
penyiaran swasta yang beririsan dengan afiliasi politik dan instrumentalisasi
frekuensi sebagai alat politik. Namun, rencana pendirian LPK ini justru
melegalkan praktik yang selama ini salah dan memperkeruhnya dengan masuknya
pemerintah sebagai penyelenggara siaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar