Akhir
Pax Americana
Emmanuel Subangun ; Sosiolog dan Peneliti
|
KOMPAS, 14 Januari
2017
Pada
Kamis tengah malam saya menyaksikan dengar pendapat di Senat Amerika selama
dua jam lebih. Lalu, Sabtu pagi saya menemukan berita di koran tentang ”Trump
Sangsikan CIA” (Kompas, 7/1).
Peristiwa
”melihat” dan ”membaca” di dua kesempatan itu sendiri sungguh suatu kejadian
yang tak terbayangkan waktu saya masih duduk di bangku sekolah dan mahasiswa
dulu. ”Membaca” sebagai konsumsi informasi dan ”melihat” sebagai produksi
pengetahuan. Apa maksudnya?
Jika
dilihat dari strukturnya, kedua hal (melihat/membaca) itu tak berbeda.
Keduanya memiliki pusat tunggal dan menyebar ke aneka pelosok. Bahan juga
sama: gambar dan huruf. Hanya efeknya yang berbeda. Dalam informasi di koran
soal narasi ulang adalah perlu agar berita dapat dimengerti, sedangkan dalam
kegiatan ”melihat” tak ada kebutuhan narasi orang itu. Atau, dengan kata
lain, dalam koran tercipta hubungan interpasif, di mana penulis aktif dan
pembaca konsumtif, sementara dalam ”melihat”, baik peserta dengar pendapat
maupun pendengar/pemirsa, berada dalam hubungan interaktif.
Dalam
hubungan interpasif, kita melakukan sejenis outsourcing dalam mencari berita
dan dalam hal ini wartawan yang menjadi tenaga itu. Bergantung pada kemampuan
tenaga itu untuk menjadi sumber yang bermanfaat atau tidak.
Namun,
ada hal yang bersifat tak terhindarkan. Dalam narasi, berita anjing menggigit
ayam bukan soal, tetapi ayam mematuk anjing sampai pingsan adalah berita.
Dengan kata lain, industri informasi amat sangat bergantung pada persepsi dan
bukan pada pengertian. Karena itu, dalam pasar informasi, hoax bersifat
melekat tak terhindarkan.
Kalau
berita bohong hanyalah pekerjaan orang yang kurang terampil, ada hal yang
lebih runyam pada industri informasi, yakni soal propaganda. Propaganda
adalah keniscayaan Anda berpihak pada kepentingan tertentu tanpa Anda sadar
bahwa segala rupa obyektivitas hanyalah semu.
Pengetahuan
Kembali
ke dengar pendapat Senat, saya melihat pengetahuan yang lenyap dari berita
James Clapper, Direktur Intelijen Nasional (DNI), yang dengan amat bagus
menyampaikan dilema intelijen yang terbuka/tertutup dan sikap Donald Trump
yang skeptik/meremehkan. Amat jelas disampaikan bahwa dalam hal kemampuan dunia
siber, misalnya, Amerika tetap dalam posisi kuat lawan Rusia. Namun, dalam
hal ”tekad”, mungkin ada masalah di Amerika karena beda tipis antara spionase
dan cyber war.
Sementara
Michael Rogers sebagai Kepala Badan Keamanan Nasional (NSA) menggunakan bahasa
yang lebih tegas dengan mengatakan, dalam hal cyber weaponry, lengkap dengan
kekuatan penggentar, Amerika tidak akan kekurangan akal dan kemampuan. Namun,
ada masalah yang tak terhindarkan bahwa cara kita berpikir tetap dalam dunia
lama dan tak mampu bergerak dalam ketinggian dunia baru.
Dia
katakan bahwa persenjataan nuklir dengan segala kerumitan teknologinya adalah
barang yang tampak, sedangkan dalam hal cyber war, yang merusak demokrasi
Amerika, kita harus masuk dalam dunia yang lain yang tak teratasi dengan cara
lama.
Pax Americana
Hal
yang tak mungkin ditulis dalam berita adalah proses awal keruntuhan Pax
Americana yang dibangun sejak Perang Dunia I. Ketika raison d’etat (Clapper)
dan batas paradigmatik teknokrasi (Rogers) menemui jalan buntu, oleh Trump
struktur geopolitik sekarang tak lain dari lembaran handuk putih dan
mempersilakan Tiongkok/Rusia untuk naik pentas.
Sekali
lagi, informasi sukar menjadi pengetahuan. Dari ”Trump Sangsikan CIA” untuk
sampai pada pengertian awal keruntuhan Pax Americana diperlukan langkah lain
yang tak mudah.Inilah yang paradoksal: dengan segala kekonyolan yang
ditampilkan oleh Trump, dunia kita akan semakin cair dan terbuka, justru
karena Amerika mulai kehilangan raison d’etat-nya.
Untuk
kita di Indonesia artinya apa?Jika selama ini kita hanya mengenal model
masyarakat yang dibangun atas dasar ”cermin terbalik” versi Amerika, yang
disebut sebagai pembangunan atau reformasi, sudah saatnya kita menoleh ke
diri dan sejarah sendiri. Dalam bahasa Barat dikatakan, dari masyarakat
madani ke tipe masyarakat warga. Artinya, segenap peristiwa selama ini semata
dianggap sebagai kewajaran.
Namun,
kalau melihat sejarah dan struktur pendidikan tinggi di Indonesia, seruan
semacam ini tentulah hanya seruan di padang pasir belaka. Tetapi justru
karena di padang pasir, maka dituliskan di media massa agar bisa dilihat,
dibaca, dan tak disetujui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar