Pembangunan
Smelter Freeport
Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Alpha Research Database
Indonesia
|
KOMPAS, 11 Januari
2017
Dalam
rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Presiden Direktur Freeport
Indonesia Chappy Hakim mengatakan, Freeport baru akan membangun smelter jika
sudah ada kepastian perpanjangan kontrak (Kompas, 15/12/2016). Kontrak karya
Freeport berakhir 2021 dan Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai 2041.
Permintaan
itu masuk akal mengingat pembangunan smelter tembaga butuh dana 2,3 miliar
dollar AS. Bukan hanya itu, Freeport juga sedang berinvestasi di tambang
bawah tanah Grasberg Blok Cave, Deep Mill Level Zone (DMLZ), Deep Mill Level
Zone (DMLZ), dan Deep Ore Zone (DOZ)
dengan investasi 15 miliar dollar AS. Freeport merugi jika membangun smelter,
sementara kontraknya belum jelas.
Meskipun
demikian, klausul perpanjangan kontrak adalah satu dari enam klausul dalam
renegosiasi kontrak, seperti kenaikan royalti, penggunaan barang-jasa
domestik, penciutan luas lahan, divestasi saham, pembangunan smelter, dan
perpanjangan kontrak. Freeport belum sepakat dengan klausul divestasi,
pembangunansmelter, dan perpanjangan kontrak. Freeport, misalnya, sudah
sepakat dengan divestasi saham, tetapi harga yang dipatok perusahaan itu terlampau
mahal.
Padahal,
jika pemerintah cerdas, divestasi saham tak perlu, tunggu saja masa kontrak
berakhir tahun 2021, lahan milik Freeport dikembalikan ke negara dan negara
bisa mendapat itu secara gratis. Perpanjangan kontrak akan dengan mudah
didapat Freeport jika perusahaan itu sepakat dan menuntaskan lima klausul
renegosiasi kontrak yang lain, karena pemerintah memiliki perhitungan matang
dalam mengambil keputusan strategis.
Pembangunan
smelter penting bagi semua perusahaan tambang. Sejak 12 Januari 2014,
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor. Larangan ekspor
mineral mentah itu amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Pertambangan. UU ini mewajibkan semua perusahaan tambang membangun
smelter agar memiliki efek pengganda bagi pembangunan.
Dua persoalan
Selama
ini Freeport mengirim konsentrat tembaga ke dua smelter besarnya di PT
Smelting di Gresik, Jawa Timur, dan Atlantik Copper di Spanyol. Sekitar 60
persen konsentrat dikirim ke Atlantic Copper dan sisanya 37 persen ke PT
Smelting. Tahun 2002, misalnya, Freeport mengirim 1.016.700 metrik ton
konsentrat dan 964.400 metrik ton konsentrat ke Atlantik Copper.
Sementara
pengiriman konsentrat tembaga ke PT Smelting sebesar 719.000 metrik ton
(2002) dan 824.000 metrik ton (2003). Dengan kebijakan hilirisasi, Freeport
tak perlu lagi mengirim konsentrat tembaga ke Spanyol dengan biaya besar.
Freeport wajib membangun smelter di dalam negeri. Meskipun demikian,
pembangunan smelter Freeport masih menyisihkan dua persoalan besar.
Pertama,
pembangunan smelter melibatkan elite dan kelompok-kelompok bisnis besar dan
perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Tahun 2015, Freeport telah mengakuisisi lahan milik PT
Petrokimia Gresik, Jawa Timur, untuk membangun pabrik smelter tembaga. Freeport dan PT Petrokimia Gresik
sejak awal telah menandatangani perjanjian kontrak sewa lahan seluas 80
hektar dengan nilai 150 juta dollar AS selama 20 tahun.
Freeport pun telah memilih mitra usahanya,
Mitsubishi Material Corp, untuk membangun
tembaga di Gresik itu dengan menggunakan Outotec technology untuk mengolah 2 juta ton konsentrat
tembaga per tahun dan akan memproduksi 500.000 ton katoda ( cathode) tembaga
per tahun. Dua perusahaan ini merupakan sahabat lama dalam bisnis smelter. Mereka
bermitra di pabrik smelter tembaga PT Smelting. Di PT Smelting, Freeport
mengontrol 25 persen saham, Mitsubishi Material 60,5 persen, serta sisanya
Mitsubishi Corp 9,5 persen dan Nippon Mining and Metals Co Ltd 5 persen.
Namun,
mengejutkan ketika Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE)
mengklaim telah mengantongi jual beli lahan 100 hektar dengan Freeport di
lahan JIIPE untuk pembangunansmelter. Publik bisa saja terkecoh pada alasan
ekonomis karena lebih untung memakai lahan milik sendiri daripada menyewa
dengan harga sama. Alasan ekonomi memang akan membatasi publik melacak lebih
dalam ada apa sebenarnya di balik polemik lahan pembangunan smelter.
Proyek
JIIPE adalah proyek patungan antara perusahaan BUMN, PT Pelindo III dan AKR
Corporindo (dikontrol keluarga Adikoesumo). Namun, lahannya didominasi oleh
AKR Corporindo. Bukan rahasia lagi bahwa grup ini sudah lama menjalin relasi
bisnis dengan Freeport untuk memasok bahan bakar minyak. Akhir 2015, AKR
Corporindo meraup pendapatan dari penjualan sebesar Rp 2,64 triliun dari
Freeport Indonesia, lebih besar dari PLN sebesar Rp 2,3 triliun. Perubahan
lokasi yang begitu cepat ini boleh jadi manuver besar antara grup-grup bisnis
besar dan pemegang saham Pelindo (BUMN).
Proyek
ini akan menarik perusahaan untuk membangun fasilitas industrial estate,
termasuk pelabuhan. Perusahaan seperti Pelindo mendapat lahan bisnis baru
dari jasa pelabuhan untuk bongkar muat konsentrat tembaga dari Papua-Gresik.
Konstruksi smelter akan mendorong ekspansi perusahaan, seperti PT Petrokimia
Gresik dan perusahaan semen PT Semen Indonesia yang mendapat bahan baku dari
smelter tembaga. Petrokimia akan menyerap sulphuric acid (bahan baku
pupuk)dan Semen Indonesia menyerap granulated slag gypsum (bahan baku semen).
Pada
Maret 2016, Freeport sudah memberikan kontrak engineering and procurement 900
juta dollar AS kepada Chiyoda Singapura (PTE) Limited (Chiyoda Corporation)
untuk pembangunan smelter tembaga di Gresik. Chiyoda bertugas menyediakan
jasa lepas pantai (offshore) untuk smelter tembaga dan produksi akhir katoda
tembaga di atas 2 juta ton per tahun konsentrat tembaga dari Grasberg. Jika
konstruksi berjalan, itu akan menjadi smelter tembaga terbesar di Indonesia.
Selama ini PT Smelting memproduksi 300.0000 ton per tahun LME Grade A katoda
tembaga dari sekitar 1 juta ton konsentrat tembaga. Smelter baru Freeport
akan memproduksi sekitar 600.000 ton per tahun LME Grade A katoda tembaga.
Smelter
ini memerlukan fasilitas, seperti jetty dan wharf, agar mampu menampung kapal
besar untuk pengangkutan tembaga. Selama ini, PT Smelting didukung dua KM
jetty dan 230 meter wharf untuk menangani 35.000 ton konsentrat tembaga.
Konstruksi smelter Freeport juga akan mendorong konsumsi domestik; permintaan
listrik dan gas alam meningkat. Sebagai contoh, PT Smelting membutuhkan
310.000 MWH per tahun pembangkit listrik dan 18.000 kilo normal metrik kubik
(kNm3) per tahun gas alam.
Meski
demikian, lokasi definitif pembangunan smelter tembaga Freeport masih
terganjal izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hidup karena
terkait bahaya zat beracun produk dari smelter tembaga. Buka hanya itu, jika
pembangunan smelter benar-benar beroperasi di lahan JIIPE, Freeport harus
membangun pipa sepanjang 20 kilometer untuk mengangkut sulphuric acid ke
pabrik pupuk yang dioperasikan PT Petrokimia Gresik. Ini tentu jadi isu yang
sangat sensitif.
Keputusan
ini tidak hanya melibatkan Freeport, tetapi juga terkait dengan pemerintah
pusat (Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
serta Kementerian ESDM) dan pemerintah Jawa Timur (pemprov dan bupati). Jika
tak ada keputusan tegas dari pemerintah, pembangunan smelter Freeport bisa
memakan waktu cukup lama.
Kedua,
penetapan lokasi pembangunan smelter di Gresik mengabaikan Papua. Gubernur
Papua Lukas Enembe pada 2015 mengatakan, jika tak membangun smelter di Papua, Freeport keluar saja dari
daerah itu. Ini jangan dianggap sepele oleh pemerintah dan Freeport. Rakyat
Papua selama ini kerap dikecewakan karena pengolahan sumber daya alam tak
memberi manfaat bagi rakyat Papua. Mereka hidup dalam garis kemiskinan dan
jadi penonton atas pembangunan di Papua. Pemkab Timika telah menyediakan
lahan seluas 100 hektar di Pomako (sebelah timur Timika) untuk
pembangunansmelter, hanya saja lahan itu rawa-rawa, barangkali sangat sulit
untuk pembangunan smelter.
Meski
demikian, pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik tak adil. Antara Papua
dan Gresik sangat jauh. Melintasi pulau yang jauh dan melewati lautan luas
minus infrastruktur laut. Lokasi yang jauh butuh logistik pengangkutan.
Boleh
jadi pilihan pembangunan smelter merupakan syarat kepentingan bisnis-
politik. Pembangunan smelter mengisyaratkan rantai bisnis yang panjang,
seperti jasa pengangkutan kapal dan penyedia pelabuhan. PT Indika Energy,
misalnya, melalui anak usahanya, PT Kuala Pelabuhan Indonesia, menjadi
pengelola pelabuhan (Timika). Indika mengais pendapatan dari jasa penyedia
pelabuhan Freeport sebesar Rp 233 miliar dari Freeport pada 2011 (baca, INDY,
2011).
Bagi
Freeport, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa akan mempermudah
ekspansi bisnis mereka di Grasberg. Keamanan investasi pun terjaga dari
berbagai tekanan.
Selama
ini PT Smelting menyerap konsentrat
tembaga dari Freeport dan Newmont. Namun, kebijakan ini merugikan daerah
penghasil mineral dan menguntungkan daerah di pusat industri, seperti Jawa.
Padahal, dengan kebijakan hilirisasi minerba, daerah di luar Pulau Jawa akan
lebih menarik. Pembangunan smelter bisa mengurangi kesenjangan antara Jawa dan
luar Jawa. Ini sekaligus menjadi kritik bagi pemerintah, terutama Kemenperin
yang gagal mendesain kawasan industri berbasis keunggulan kompetitif. Setiap
daerah memiliki kelemahan dan kelebihan. Begitupun pertambangan mineral kita.
Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Morowali, Konawe, dan Halmahera,
misalnya, kaya akan mineral nikel dan bauksit. Demikian pun Papua, kaya akan
tembaga.
Pilihan
lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan
investasi karena produk ikutan dari
tembaga sangat banyak. PT Smelting yang berkapasitas 300.000 ton, misalnya,
memproduksi sulfuric acid (920.000
ton/tahun), gypsum (35000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000
ton untuk semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan
perak), dan copper telluride (50 ton,
untuk semikonduktor). Jika smelter baru dibangun dengan kapasitas 500.000
ton/tahun, Papua mendapat untung besar dari investasi karena produk-produk
itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.
Penentu akhir presiden
Tugas
pemerintah seharusnya merelokasi pabrik-pabrik smelter agar daerah menjadi
lebih menarik investor. Itu memerlukan koneksi lintas sektoral; Kementerian
ESDM, Kementerian Perdagangan, Kemenperin, dan Kementerian LHK. Namun,
pemerintah kelihatannya tak memiliki desain industri yang mumpuni. Risikonya
semua pelaku usaha ingin membangun pabrik di Pulau Jawa. Publik sangat
antusias jika pemerintah mengajak perusahaan pupuk, semen, dan kabel untuk
mulai berinvestasi di Papua dengan pasokan bahan baku dari produk tembaga
yang dihasilkan smelterFreeport. Dengan pembangunan pabrik pupuk, permintaan
tenaga kerja lokal besar, angka pengangguran di Papua ditekan, dan petani
Papua akan lebih mudah membeli pupuk untuk produktivitas pertanian.
Penentu
akhir pembangunan smelter ada di tangan pemerintah. Presiden Joko Widodo
menaruh perhatian besar untuk pembangunan Papua. Presiden ingin mempercepat
pembangunan ekonomi di Papua. Maka, pembangunan smelter di Papua merupakan
jalan untuk mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Maka, pemerintah perlu
tegas kepada Freeport untuk membangun smelter di Papua agar terjadi dampak
pengganda bagi pembangunan. Pemerintah harus menjelaskan bahwa prioritas kita
adalah mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk
Papua.
Setelah
Freeport membangun smelter di Papua, barulah pemerintah bernegosiasi soal
perpanjangan kontrak dan divestasi saham. Pemerintah jangan terlalu fokus
bernegosiasi seputar kenaikan royalti atau perpanjangan kontrak. Pemerintah
perlu fokus berpikir soal
variabel turunan pembangunan
smelter tembaga di Papua. Jika smelter sudah dibangun di Papua, pemerintahan
Joko Widodo baru bisa melangkah lebih lanjut melakukan renegosiasi,
perpanjangan kontrak. Pemda Papua juga harus mencari lahan yang baik dan
menyediakan infrastruktur pendukung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar