Cost
Recovery Versus Gross Split
Anif Punto Utomo ; Direktur
Indostrategic Economic Intelligence
|
REPUBLIKA, 07 Januari
2017
Sudah
sering kita dengar berita bahwa produksi minyak kita secara gradual terus
menurun. Tetapi sebaliknya, cost recovery (pengembalian biaya operasi) justru
naik. Akibatnya, penerimaan negara dari minyak terus merosot, apalagi
ditambah hantaman penurunan harga minyak dunia.
Di
dalam bisnis pengambilan minyak dari perut bumi, Indonesia menggunakan skema
kontrak bagi hasil--Production Sharing Contract (PSC) atau Kontrak Kerja Sama
(KKS). Gagasan bagi hasil ini disampaikan Ibnu Sutowo pertama kali pada 1960.
Namun,
gagasan ini baru benar-benar diterapkan pada 1966 (antara Pertamina dan
IIAPCO). Dalam perjalanannya, PSC mengalami perubahan sesuai perkembangan
zaman.
Setidaknya
ada enam generasi dinamika PSC, yakni Generasi Pertama (1960 - 1976),
Generasi Kedua (1976 - 1988), Generasi Ketiga (1988 - 1993), Generasi Keempat
(1994 - 2001), Generasi Kelima 2001-2007), dan Generasi Keenam
(2008-sekarang).
Pada
intinya, dengan skema ini, negara mendapatkan bagi hasil sebesar 85 persen
dan 15 persen kontraktor untuk minyak dan 70: 30 untuk gas. PSC juga
menerapkan cost recovery.
Penggantian
biaya operasi dilakukan setelah produksi migas dipotong First Tranche
Petroleum (bagian yang harus disisihkan dari produksi sebelum dikurangi biaya
cost recovery dan invesment credit).
Belakangan,
ketika duet Jonan-Arcandra masuk menjadi menteri dan wakil menteri ESDM,
muncul keinginan untuk mengubah skema yang telah berjalan hampir enam dekade
tersebut menjadi gross split.
Selama
ini memang selalu terjadi tarik-menarik yang menyita waktu dan energi antara
pemerintah dan kontraktor KKS mengenai cost recovery. Hasilnya, hampir selalu
cost recovery lebih besar dibanding dengan penerimaan negara dari minyak.
Sehingga
bagi hasil 85:15 tidak seindah yang terlihat. Pada 2016, biaya cost recovery
10,4 miliar dolar AS (Rp 138 triliun), penerimaan dari migas Rp 110,4
triliun. Secara tidak langsung, keinginan mengubah skema itu juga dipicu
berbagai dugaan penyelewengan.
Terakhir,
temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya penyimpangan cost recovery di
Chevron Pacific Indonesia, Pertamina EP, CNOOC SES Ltd, dan Premier Oil
Natuna Sea B.V.
Temuan
itu mencatat adanya dana Rp 4 triliun berupa biaya-biaya yang tidak
semestinya dibebankan dalam cost recovery. Skema gross split memang lebih
simpel. Sekali diputuskan, selanjutnya pemerintah tinggal menerima bagi
hasilnya.
Ilustrasi
sederhana begini: kita punya lahan pertanian yang subur. Lahan kemudian kita
tawarkan kepada petani penggarap. Jika memakai gross split, tinggal
hitung-hitungan bagi hasil, taruhlah 50:50.
Maka
selanjutnya, kita tidak perlu repot-repot, setiap bulan tinggal menerima bagi
hasil. Jika memakai skema cost recovery, bagi hasilnya 85:15 untuk kita.
Sepertinya tinggi, tetapi itu harus dipotong berbagai pengeluaran investasi
dan operasional.
Pengeluaran
investasi, misalnya pembelian alat-alat pertanian, seperti traktor, cangkul,
dan lain-lain. Kemudian, untuk operasional, misalnya gaji penggarap,
kebutuhan air jika harus beli, bahkan jika ada preman yang merusak tanaman
pun, perbaikan bisa diklaim.
Besaran
klaim itu akhirnya memangkas pendapatan, belum lagi ribetnya negosiasi
sehingga terbuka peluang penyelewengan. Skema gross split biasanya hanya
rumit di awal, tetapi selanjutnya melenggang dengan lancar.
Kerumitan
itu adalah menentukan bagi hasil karena banyak aspek yang harus
dipertimbangkan. Bukan saja faktor teknis dan tinggi rendahnya risiko,
melainkan juga aspek nonteknis, misalnya bagaimana agar terjadi transfer
teknologi, baik software maupun hardware.
Pernah
disinggung Arcandra, dalam penentuan bagi hasil akan dilakukan tiga tahap,
yakni base split (pembagian dasar), variable split (variabel komponen
pembagi), dan progressive split (bagi hasil progresif).
Seluruhnya
dihitung secara detail dengan pembobotan yang adil. Jadi, tahap awal ditentukan
dulu pembagian dasar, misalnya 60:40, selanjutnya masuk di variable split.
Perhitungan variable split mulai rumit terkait detail insentifnya.
Faktor
teknis, misalnya, jika kandungan CO2 dan H2S tinggi akan mendapat insentif
karena pengelolaan rumit dan berbiaya tinggi. Jika dilakukan injeksi kimia
untuk pengurasan juga beroleh insentif.
Lantas
tentang wilayah kerja apakah konvensional atau nonkonvensional, jika
nonkonvensional memperoleh insentif. Lalu, untuk yang bersifat nonteknis
misalnya kontraktor memakai konten lokal tinggi pada kegiatan hulu migas,
akan mendapatkan insentif.
Begitu
pula, jika banyak merekrut tenaga ahli dari lokal, insentif otomatis
menyertainya. Keterjangkauan wilayah dan kerumitan geologis juga akan menjadi
pertimbangan pemberian insentif. Setelah itu adalah progressive split.
Terkait
harga, misalnya, jika harga minyak tinggi, pemerintah yang justru mendapat
insentif dengan bagi hasil lebih besar. Dan jika produksi semakin tinggi,
sama-sama tidak mendapat insentif. Sampai tahap terakhir, bisa saja
pembagiannya berubah menjadi 55:45 atau bahkan 50:50.
Skema
gross split ini akan dijalankan pada 2017 dan berlaku untuk kontrak baru.
Kontrak lama yang menggunakan skema cost recovery tak akan diubah dan tetap
dilanjutkan sampai kontrak tersebut
berakhir.
Dengan
diubahnya skema kontrak ini, tentu akan berimbas pada nasib SKK (Satuan Kerja
Khusus) Migas yang kewenangannya terpangkas hanya menjadi semacam pengawas,
sehingga kesaktiannya pun memudar.
Tugas
SKK Migas tidak lagi berat, konsekuensinya organisasinya --kalau masih
dipertahankan-- perlu dirampingkan. Itu berarti akan terjadi penyusutan
jumlah karyawan yang pada gilirannya terjadi efisiensi.
Efisiensi
memang menjadi roh gross split. Birokrasi berbelit terkait dengan cost
recovery yang tak efisien menjadi hilang. Selain itu, efisiensi juga bisa
diperoleh dari hilangnya inefisiensi yang sering terjadi di perusahaan minyak
terkait perhitungan cost recovery.
Kelebihan
lain, peluang terjadinya korupsi atau penyimpangan tidak ada lagi. Di sisi
lain, penerimaan negara menjadi lebih pasti. Selama lebih dari setengah abad
menggunakan skema cost recovery sudah memberi banyak pengalaman terkait
keuntungan dan kerugian.
Jika
memang sudah waktunya, saatnya skema diubah. Prinsipnya tidak ada perbaikan
tanpa perubahan. Dari pertimbangan untung rugi, tampaknya gross split lebih
menjanjikan bagi negara dan memberi kepastian buat kontraktor KKS.
Dulu,
skema PSC produk asli Indonesia ditiru banyak negara dengan modifikasi sesuai
kondisi negara masing-masing. Tak menutup kemungkinan, skema gross split
dengan pendekatan baru ini kelak juga
menjadi benchmark bagi negara lain dalam menghadapi bisnis minyak yang
semakin tak pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar