Jumat, 06 Januari 2017

Pendidikan, ”Entry Point ” Atasi Kemiskinan

Pendidikan, ”Entry Point ” Atasi Kemiskinan
Ali Khomsan  ;   Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
                                                KORAN SINDO, 05 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kemiskinan sungguh mengerikan. Seorang ibu nekat bunuh diri bersama anak-anaknya karena didera kemiskinan.

Bayangan masa depan yang suram, kebutuhan sehari-hari yang tidak terpenuhi, memikirkan pendidikan anak untuk bekal kehidupan adalah ihwal yang membuat orang miskin semakin putus asa. Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak yakni 28 juta orang. Karakteristik orang miskin adalah kurang berpendidikan, lingkungan hidupnya buruk, derajat kesehatannya rendah, dan anak balitanya kurang gizi.

Busung lapar akibat kemiskinan yang menyeruak secara sporadis pada waktu tertentu dan lokasi tertentu akan mengakibatkan generasi-generasi muda yang berotak kosong. Kemiskinan tidak hanya dialami petani, buruh, atau pekerja informal. Pegawai negeri golongan rendahan setiap hari juga harus berakrobat mencari tambahan penghasilan. Terima kasih pada pemerintah yang telah memprogramkan gaji ke-13 dan 14 bagi pegawai negeri sipil (PNS). Lumayan untuk tambahan biaya pendidikan anak.

Program andalan pemerintah untuk mendongkrak kesejahteraan adalah pemberantasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, perbaikan kesehatan dengan menurunkan angka kematian anak, perbaikan infrastruktur, dan sebagainya. Ada dua langkah besar yang bisa diambil untuk mengatasi kemiskinan. Pertama,penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat kurang mampu. Misalnya, pendidikan dasar gratis, pelayanan kesehatan gratis, peningkatan ketersediaan fasilitas air bersih, penetapan tarif listrik dan harga BBM yang murah.

Kedua, upaya pemerintah untuk mendorong terbukanya lapangan kerja yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi makro harus mampu menggerakkan sektor riil yang dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan adalah pintu masuk (entry point) utama untuk mengatasi kemiskinan. Pendidikan akan membuat seluruh rakyat melek huruf, cerdas, dan kreatif mengatasi persoalan hidup, serta mampu bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari mancanegara.

Sistem pendidikan yang membuka kesempatan bagi orang miskin untuk bersekolah di tempat yang baik akan berperan penting untuk mengangkat derajat hidup siswa miskin kelak di kemudian hari. Saya mendukung bila birokrat-birokrat dan para tokoh pendidikan melakukan studi banding ke negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, atau Australia sekadar untuk mengintip serta mempelajari bagaimana proses pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi diselenggarakan. Apakah selama ini kebijakan kita di bidang pendidikan sudah pada jalur yang benar? Kalau pemerintah ingin membuat kebijakan pendidikan yang baik, yang pertama harus diperhatikan adalah kesejahteraan guru.

Guru adalah profesi yang harus dibedakan dengan profesi PNS lain. Guru adalah penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan. Kebijakan yang tidak memihak guru atau sekadar menyamakan guru dengan PNS lain akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sertifikasi pendidik kini sudah dinikmati para guru. Hanya, mengapa dana sertifikasi guru tidak bisa turun rutin setiap bulan seperti yang sudah bisa dirasakan oleh para dosen di perguruan tinggi.

Rapel penerimaan dana sertifikasi tiga bulan sekali atau bahkan enam bulan sekali menyebabkan guru dalam kehidupan kesehariannya masih merasakan tekanan ekonomi yang berat. Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia ternyata cukup berat. Kesibukan siswa Indonesia ternyata mengalahkan kesibukan para birokrat di Tanah Air. Waktu anak-anak kita habis untuk belajar di sekolah dan mengikuti berbagai les penunjang pelajaran. Seolah siswa tidak akan lulus kalau tidak mengikuti bimbingan belajar (bimbel).

Di negara-negara maju mungkin tidak kita temukan keberadaan bimbel yang menjamur seperti di Indonesia. Bimbel juga menyedot ekonomi orang tua siswa karena biaya per bulan ternyata jauh lebih mahal dibandingkan SPP di sekolah swasta yang baik. Bimbel bisa mempunyai siswa bimbingan sampai 600 orang yang setara dengan jumlah murid satu SMP. Terlalu banyak mata pelajaran dan dengan tingkat kedalaman yang luar biasa membuat anak-anak Indonesia bergelut dengan stres setiap hari. Janganjangan kita saat ini sedang mengarah ke pembentukan generasi stres.

Untunglah bupati Purwakarta mempunyai kebijakan yang berani, tidak boleh ada pekerjaan rumah (PR) untuk siswa sekolah karena anak-anak sudah terlalu overload di sekolah. Saya pernah mencermati mata pelajaran IPA kelas tiga sekolah dasar (SD), para siswanya sudah harus memahami berbagai jenis tanah seperti tanah aluvial, litosol, organosol, andosol, dan sebagainya. Mereka juga harus dapat membedakan bebatuan seperti batu granit, obsidian, basal, breksi, dan sebagainya. Apakah pendidikan kita akan mengarahkan anak-anak kelas 3 SD menjadi seorang geologis?

Jangan berpikiran bahwa mumpung otak anak-anak sedang berkembang, perlu diisi sepadat-padatnya dengan aneka ragam iptek. Tidak pernah terpikirkan bahwa informasi yang berlebihan akhirnya akan luber dan tumpah sehingga tidak ada gunanya. Materi pelajaran yang terlalu dalam dan sangat beragam tidak akan menghasilkan anak-anak super. Dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini, mungkin hanya sebagian kecil di antara siswa yang dapat menyerap pelajaran dengan baik.

Sementara yang kemampuannya paspasan, apalagi di bawah ratarata, lebih banyak bengong. Iptek di negara kita belum terlalu maju, bahkan ada yang mengatakan tidak ada yang mau mencuri iptek di Indonesia karena ipteknya sudah basi. Tetapi, mengapa kita membebani anak-anak kita dengan materi pelajaran melebihi dari apa yang diterima anak-anak di negara maju? Di negara maju, sekolah menjadi tempat atau arena yang mengasyikkan bagi siswa-siswa karena kurikulum yang tidak terlalu padat. Tidak bersekolah berarti kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman-teman dan gurunya yang menyenangkan.

Marilah kita berharap bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar dapat dipakai untuk menyongsong masa depan generasi muda agar bangsa ini dapat segera membebaskan diri dari belenggu kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar