Pendidikan,
”Entry Point ” Atasi Kemiskinan
Ali Khomsan ; Guru
Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KORAN SINDO, 05 Januari
2017
Kemiskinan
sungguh mengerikan. Seorang ibu nekat bunuh diri bersama anak-anaknya karena
didera kemiskinan.
Bayangan
masa depan yang suram, kebutuhan sehari-hari yang tidak terpenuhi, memikirkan
pendidikan anak untuk bekal kehidupan adalah ihwal yang membuat orang miskin
semakin putus asa. Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak yakni
28 juta orang. Karakteristik orang miskin adalah kurang berpendidikan,
lingkungan hidupnya buruk, derajat kesehatannya rendah, dan anak balitanya
kurang gizi.
Busung
lapar akibat kemiskinan yang menyeruak secara sporadis pada waktu tertentu
dan lokasi tertentu akan mengakibatkan generasi-generasi muda yang berotak
kosong. Kemiskinan tidak hanya dialami petani, buruh, atau pekerja informal.
Pegawai negeri golongan rendahan setiap hari juga harus berakrobat mencari
tambahan penghasilan. Terima kasih pada pemerintah yang telah memprogramkan
gaji ke-13 dan 14 bagi pegawai negeri sipil (PNS). Lumayan untuk tambahan
biaya pendidikan anak.
Program
andalan pemerintah untuk mendongkrak kesejahteraan adalah pemberantasan
kemiskinan, pemerataan pendidikan, perbaikan kesehatan dengan menurunkan
angka kematian anak, perbaikan infrastruktur, dan sebagainya. Ada dua langkah
besar yang bisa diambil untuk mengatasi kemiskinan. Pertama,penyediaan
fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat kurang mampu. Misalnya,
pendidikan dasar gratis, pelayanan kesehatan gratis, peningkatan ketersediaan
fasilitas air bersih, penetapan tarif listrik dan harga BBM yang murah.
Kedua,
upaya pemerintah untuk mendorong terbukanya lapangan kerja yang lebih luas.
Pertumbuhan ekonomi makro harus mampu menggerakkan sektor riil yang dapat
mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan
adalah pintu masuk (entry point)
utama untuk mengatasi kemiskinan. Pendidikan akan membuat seluruh rakyat
melek huruf, cerdas, dan kreatif mengatasi persoalan hidup, serta mampu
bersaing dengan tenaga-tenaga kerja dari mancanegara.
Sistem
pendidikan yang membuka kesempatan bagi orang miskin untuk bersekolah di
tempat yang baik akan berperan penting untuk mengangkat derajat hidup siswa
miskin kelak di kemudian hari. Saya mendukung bila birokrat-birokrat dan para
tokoh pendidikan melakukan studi banding ke negara-negara maju seperti
Amerika, Eropa, atau Australia sekadar untuk mengintip serta mempelajari
bagaimana proses pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi diselenggarakan.
Apakah selama ini kebijakan kita di bidang pendidikan sudah pada jalur yang
benar? Kalau pemerintah ingin membuat kebijakan pendidikan yang baik, yang
pertama harus diperhatikan adalah kesejahteraan guru.
Guru
adalah profesi yang harus dibedakan dengan profesi PNS lain. Guru adalah
penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan. Kebijakan yang tidak
memihak guru atau sekadar menyamakan guru dengan PNS lain akan berdampak
buruk bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sertifikasi pendidik kini sudah
dinikmati para guru. Hanya, mengapa dana sertifikasi guru tidak bisa turun
rutin setiap bulan seperti yang sudah bisa dirasakan oleh para dosen di
perguruan tinggi.
Rapel
penerimaan dana sertifikasi tiga bulan sekali atau bahkan enam bulan sekali
menyebabkan guru dalam kehidupan kesehariannya masih merasakan tekanan
ekonomi yang berat. Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia ternyata cukup
berat. Kesibukan siswa Indonesia ternyata mengalahkan kesibukan para birokrat
di Tanah Air. Waktu anak-anak kita habis untuk belajar di sekolah dan
mengikuti berbagai les penunjang pelajaran. Seolah siswa tidak akan lulus
kalau tidak mengikuti bimbingan belajar (bimbel).
Di
negara-negara maju mungkin tidak kita temukan keberadaan bimbel yang menjamur
seperti di Indonesia. Bimbel juga menyedot ekonomi orang tua siswa karena
biaya per bulan ternyata jauh lebih mahal dibandingkan SPP di sekolah swasta
yang baik. Bimbel bisa mempunyai siswa bimbingan sampai 600 orang yang setara
dengan jumlah murid satu SMP. Terlalu banyak mata pelajaran dan dengan
tingkat kedalaman yang luar biasa membuat anak-anak Indonesia bergelut dengan
stres setiap hari. Janganjangan kita saat ini sedang mengarah ke pembentukan
generasi stres.
Untunglah
bupati Purwakarta mempunyai kebijakan yang berani, tidak boleh ada pekerjaan
rumah (PR) untuk siswa sekolah karena anak-anak sudah terlalu overload di
sekolah. Saya pernah mencermati mata pelajaran IPA kelas tiga sekolah dasar
(SD), para siswanya sudah harus memahami berbagai jenis tanah seperti tanah
aluvial, litosol, organosol, andosol, dan sebagainya. Mereka juga harus dapat
membedakan bebatuan seperti batu granit, obsidian, basal, breksi, dan
sebagainya. Apakah pendidikan kita akan mengarahkan anak-anak kelas 3 SD
menjadi seorang geologis?
Jangan
berpikiran bahwa mumpung otak anak-anak sedang berkembang, perlu diisi
sepadat-padatnya dengan aneka ragam iptek. Tidak pernah terpikirkan bahwa
informasi yang berlebihan akhirnya akan luber dan tumpah sehingga tidak ada
gunanya. Materi pelajaran yang terlalu dalam dan sangat beragam tidak akan
menghasilkan anak-anak super. Dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini,
mungkin hanya sebagian kecil di antara siswa yang dapat menyerap pelajaran
dengan baik.
Sementara
yang kemampuannya paspasan, apalagi di bawah ratarata, lebih banyak bengong.
Iptek di negara kita belum terlalu maju, bahkan ada yang mengatakan tidak ada
yang mau mencuri iptek di Indonesia karena ipteknya sudah basi. Tetapi,
mengapa kita membebani anak-anak kita dengan materi pelajaran melebihi dari
apa yang diterima anak-anak di negara maju? Di negara maju, sekolah menjadi
tempat atau arena yang mengasyikkan bagi siswa-siswa karena kurikulum yang
tidak terlalu padat. Tidak bersekolah berarti kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi
dengan teman-teman dan gurunya yang menyenangkan.
Marilah
kita berharap bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar dapat dipakai untuk
menyongsong masa depan generasi muda agar bangsa ini dapat segera membebaskan
diri dari belenggu kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar