Pemerataan
Wilayah Kepulauan
M Riza Damanik ; Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI
|
KORAN SINDO, 12 Januari
2017
Akhir-akhir
ini tema ”ketimpangan” semakin banyak dibicarakan di ruang-ruang publik.
Bukan hanya karena angka rasio gini Indonesia (sebelumnya) sempat mencapai
0,41, namun juga akibat tingginya komitmen pemerintahan Jokowi-JK menurunkan
angka rasio gini tersebut menjadi 0,36 pada 2019.
Presiden
Joko Widodo mengatakan, perlu kerja keras untuk menurunkan ketimpangan
antarwilayah ataupun kesenjangan antara si kaya dan miskin. Persoalan itu
menjadi perhatian serius pemerintah ke depan. Bagi sebagian kalangan,
tingginya angka rasio gini dideskripsikan sebagai masalah teknis ekonomi, di
antaranya (sebatas) penguasaan inovasi teknologi dan pasar. Sementara dimensi
kewilayahan dan kebudayaan kerap terabaikan.
Padahal,
terjadi pemusatan sumber daya—tidak terbatas pada sumber daya alam,
finansial, dan manusia— di Pulau Jawa adalah contoh paling lengkap
menggambarkan pengabaian aspek kewilayahan dan kebudayaan dalam pembangunan
ekonomi masa lalu. Di sektor perikanan misalnya, meski sumber dayanya teramat
besar, kekayaan ini belum menjadi jalan kesejahteraan bagi masyarakat
Indonesia.
Ketimpangannya
dengan mudah terbaca. Sebanyak 68% pelabuhan perikanan tersebar di Indonesia
bagian barat, 25% di tengah, dan hanya 7% di timur Indonesia. Pun demikian
dengan unitunit pengolahan ikan di mana 67%-nya terpusat di Jawa dan
Sumatera, sedangkan sisanya tersebar dari tengah ke timur Indonesia. Hari ini
dampaknya masih dirasakan berupa tumpukan kemiskinan di kantung-kantung
pesisir, bahkan (di antaranya) telah bertransformasi menjadi kecemburuan
sosial dan konflik.
Dua Penyimpangan
Dalam
aspek sosial budaya, ketimpangan ekonomi Indonesia berjangkar pada dua hal
pokok.
Pertama,
terjadi pergeseran terhadap esensi perdagangan.
Jika
pada abad XI perdagangan antarpulau di Nusantara umumnya dimaksudkan sebagai
sarana untuk saling bekerja sama dalam meningkatkan kualitas hidup kolektif
umat manusia, belakangan ini justru bergeser ke tabiat serakah-individual. Di
era Majapahit misalnya interaksi ekonomi didasarkan pada komitmen mendasar
bahwa komunitas di satu pulau mustahil dapat bertahan hidup dengan kualitas
terbaik, tanpa didukung kebaikan dari pulau lain.
Pun
berlaku sebaliknya. Ambil contoh, Pulau Jawa boleh menghasilkan dan menjual
beras. Maluku dan Maluku Utara berupa rempah-rempah dan cengkeh. Nusa
Tenggara dan Jawa Barat pemasok ternak. Lalu, sagu dari Papua dan Maluku.
Pertanyaannya, apakah interaksi ekonomi berdasarkan keunggulan ini akan
menghasilkan teknologi? Iya. Menghasilkan pengetahuan? Iya. Menghasilkan
modal finansial? Iya.
Perdagangan
semacam ini bahkan telah terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup manusia,
meminggirkan kecurigaan, dan menumbuhkan harapan kolektif warga. Dewasa ini
inisiatif perdagangan ”saling-tukar keunggulan” tersebut masih dapat ditemukan
di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di Pasar Wulandoni, Pulau Lembata,
Nusa Tenggara Timur. Di sana ada semacam bangunan interaksi budaya ekonomi
dengan ekonomi budaya.
Dengan
demikian, Wulandoni merupakan rendesvouz, semacam pertemuan spontan wajah
darat dan wajah laut yang membangun dan membentuk sebuah simpul persaudaraan
dari generasi ke generasi, turun-temurun. Tidak sekadar tempat berdagang.
Kedua,
menyusutnya semangat gotong-royong.
Indikasinya
terang, sebanyak 1% orang terkaya di negeri ini menguasai lebih dari 49% aset
nasional. Rob Rama Rambini, orang Indonesia pertama yang berhasil mengarungi
samudra seorang diri dari California (AS) ke Pulau Dewata, telah membuktikan
dan mengatakan ”Di lautan, semua bersaudara, tolong-menolong sudah biasa”.
Maka, sifat dasar orang laut adalah gotongroyong. Tak peduli warna kulitnya,
agama, dan kepercayaannya, apalagi sukunya.
Semua
warga harus bergotong-royong untuk menghasilkan dan mempertahankan kualitas
hidup kolektif terbaik. Pada keduanyalah kita harus melakukan koreksi
sekaligus merawat kolektivisme pembangunan di negara kepulauan.
Yakni,
setiap pulau di Republik Indonesia, apakah kategorinya pulau besar maupun
kecil, posisinya di barat atau di timur, letaknya di pedalaman atau terluar,
harus dipertahankan keunggulannya masing-masing untuk (juga) saling-bertukar
keunggulan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Sehingga, ke depan keterlibatan Indonesia dalam kerja sama dan perdagangan
luar negeri adalah dalam rangka meningkatkan keunggulan, bukan sekadar (ikut)
meramaikan pasar global.
Cara Pandang
Pasal
25A UUD 1945 berbunyi: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah
negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan
hakhaknya ditetapkan dengan undang-undang”. Pernyataan deklaratif dan
konstitusional tersebut memberi konsekuensi logis bahwa cara pandang dan cara
hidup bangsa kita (harus) berbeda dengan negara lain; khususnya dari mereka
yang bukan negara kepulauan.
Berbeda
dengan Amerika Serikat, berbeda dengan Australia, berbeda dengan India,
berbeda dengan China, atau yang terdekat sekalipun, berbeda dengan Malaysia.
Inisiatif Presiden Joko Widodo merombak target pembangunan dengan pendekatan
mengurangi kesenjangan (baca: rasio gini) harus disambut dalam partisipasi
aktif seluruh komponen bangsa di tingkat tapak.
Mengembalikan
keunggulan sosio- ekonomi, budaya dan lingkungan di tiap-tiap pulau adalah
penting untuk menjawab Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Secara lebih
operasional, program tol laut ala Jokowi tengah disiapkan untuk menjawab
perbaikan kualitas hidup warga negara dengan menyambungkan keberagaman
keunggulan antarpulau dan antarmasyarakatnya. Karena, Indonesia tidak saja
berbineka dalam suku, ras, dan agama. Jauh sebelumnya, kita terlebih dahulu
mengenal kebinekaan terhadap jenis tanah dan air, karakter ekosistem, serta
segenap kekayaan sumber daya yang ada di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar