Menulis
Buku, Menulis Kebenaran
Listoyono Santoso ; Pendidik serta Pengajar mata kuliah Ilmu
Filsafat dan Etika
di Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 12 Januari
2017
PENULIS
buku Jokowi Undercover Bambang Tri Mulyono ditetapkan sebagai tersangka oleh
kepolisian. Bambang Tri dianggap memberikan informasi palsu tentang sosok
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam buku tersebut, Presiden Jokowi dianggap
memalsukan riwayat hidup serta keberhasilannya menjadi presiden tidak lain
buah pencitraan media massa. Pesan yang hendak disampaikan, semua “cerita”
tentang Jokowi selama ini merupakan kebohongan publik.
Penetapan
Bambang Tri sebagai tersangka tentu saja memantik banyak perdebatan. Kesan
yang muncul, pemerintahan saat ini tidak ubahnya rezim Orde Baru yang selalu
otoriter terhadap yang berseberangan. Setiap yang melakukan “kritik” selalu
dianggap subversif dan makar. Negara dianggap memasung hak kebebasan
berpendapat yang dilindungi konstitusi.
Di
bagian lain, ada keinginan pemerintah agar ruang berdemokrasi kita tidak
bergerak liar yang mengabaikan etika berkomunikasi. Realitas media sosial
yang lebih banyak didominasi berita “sampah” daripada ruang komunikasi yang
mencerdaskan merupakan cerminan dari keliaran berdemokrasi.
Banyak
di antara masyarakat sebenarnya yang resah dan gerah terhadap keliaran ruang
berkomunikasi. Selain ujaran kebencian, banyak informasi hoax dan yang
menciptakan narasi-narasi penistaan. Bukan hanya masyarakat awam, kalangan
terpelajar pun turut serta menyebarluaskan tanpa melakukan kroscek
kebenarannya. Seolah ada kebahagiaan menyampaikan berita buruk orang atau
kelompok yang tidak disukainya.
Setali
tiga uang, terbitnya buku Jokowi Undercover dianggap sebagai bagian dari buku
yang menyebarluaskan kebencian kepada seseorang, terutama kepada Presiden
Jokowi. Berbagai informasi dalam buku itu tentu saja masih perlu ditelusuri
kebenarannya. Bagaimanapun, menulis buku, apalagi buku tentang seorang tokoh
atau sebuah peristiwa penting dalam sebuah sejarah, tidaklah sekadar
mengumpulkan data dan membangun opini, kemudian menyusunnya menjadi sebuah
informasi.
Selain
kepakaran di bidangnya, diperlukan pula teknik pengumpulan data secara ilmiah
agar kebenaran data yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya
sumber referensi yang jelas, mengutip pun harus dilakukan dengan cara yang
benar. Interpretasi terhadap data bisa berbeda bukanlah persoalan, sepanjang
data yang digunakan merupakan kebenaran faktual.
Seorang
penulis buku bukan sekadar juru ketik yang hanya merangkai kata demi kata.
Menyusun kalimat demi kalimat. Ada tanggung jawab moral dan intelektual
ketika sebuah buku diterbitkan. Baik fiksi maupun nonfiksi. Menulis buku
merupakan kerja intelektual, bukan kerja sembarangan. Setiap orang boleh
menulis buku merupakan keniscayaan. Tapi, tidak setiap orang boleh menulis
buku secara sembarangan.
Tidak
bisa dibayangkan apa dampaknya ketika sebuah buku ditulis secara serampangan.
Data penuh dengan kepalsuan. Informasi yang disampaikan juga mengandung
kesesatan. Di tengah masyarakat dengan budaya literasi yang masih rendah,
buku yang sembarangan ditulis tentu saja membahayakan bagi opini publik.
Masyarakat
mudah menyerap informasi tanpa sikap kritis. Tokoh yang dituliskan secara
salah akan mengalami delegitimasi dan peristiwa yang dinarasikan secara
manipulatif bakal menjadi jejak sejarah yang menyesatkan publik. Melalui
informasi yang sesat dalam sebuah buku, seorang “pecundang” bisa menjadi
pahlawan. Begitu juga seorang “pahlawan”, dapat dicitrakan sebagai pecundang
di mata publik.
Menulis
buku itu menulis kebenaran. Seorang penulis akan mendedikasikan integritas
intelektualnya untuk mengabdi pada nilai kebenaran. Tidak sekadar mencari
popularitas maupun memenuhi kepentingan materiil lainnya. Di dalam buku yang
ditulis, ada nilai (value) yang hendak disebarluaskan kepada publik pembaca.
Menulis buku adalah menulis dengan jiwa dan kedalaman batin. Dalam menulis
sebuah buku, penulis tidak boleh terlibat kemarahan dan kebencian.
Setiap
kemarahan dan kebencian hanya membuat tulisan tidak bersifat objektif dan tak
menghadirkan kebenaran di dalamnya. Karena itu, jangan menulis ketika Anda
sedang marah dan benci kepada seseorang.
Risikonya
terlalu berat. Selain akan dianggap melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan UU 40/2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang paling serius adalah si
penulis memberikan informasi yang sesat kepada masyarakat dan generasi
selanjutnya. Membohongi publik jelas sebuah kejahatan, apalagi menyandera
generasi dengan informasi yang menyesatkan. Saatnya publik diajak kritis
dalam memilih dan membaca buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar