Melanggar
Konstitusi di Pulau Kecil
Abdul Halim ; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim
untuk Kemanusiaan
(Center of Maritime Studies for
Humanities)
|
KORAN SINDO, 12 Januari
2017
Pernahkah
Anda mengunjungi situs privateislandsonline. com/areas/ Indonesia ? Situs ini
menjajakan pulau-pulau kecil kepada perseorangan atau badan hukum yang sesuai
dengan ketentuan perundang- undangan di Indonesia. Sebut saja Pulau Ajab di
Kepulauan Riau seluas 30 hektare yang dijual USD3,3 juta.
Contoh
lainnya, Pulau Tojo Una-Una seluas 1.250 hektare di Sulawesi Tengah dan Pulau
Kumbang seluas 6,88 hektare di Sumatera Barat dengan investasi senilai
USD1.000.000. Jika mengunjungi situs tersebut, Anda akan mengetahui bahwa
praktik penjualan pulaupulau kecil di Indonesia bukanlah sebatas wacana,
termasuk penawaran 4.000 pulau kecil kepada investor asing oleh Menteri
Koordinator Kemaritiman Luhut B Panjaitan (KORAN SINDO, 10/2).
Inilah
era komodifikasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Di
Indonesia, tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur di dalam
Undang- Undang Nomor 1/2014 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor
27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam
UU ini, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki otoritas penuh mendelegasikan
kewenangannya kepada investor asing.
Pasal
26A menyebutkan, ”Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di
sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri”.
Untuk menindaklanjutinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan
sedikitnya 100 pulau-pulau kecil berhasil diinvestasikan sejak tahun
2014-2019.
Tercatat
sudah 11 pulau kecil yang dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi
sebesar Rp11,046 triliun dan tersebar di Kepulauan Riau di Provinsi Riau;
Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Lombok Barat di Nusa Tenggara
Barat; Kepulauan Seribu di DKI Jakarta; Kabupaten Ketapang di Provinsi
Kalimantan Barat; dan Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten. Kesebelas
pulau ini dikelola untuk kepentingan wisata bahari, kebun kelapa sawit, dan
gudang penyimpanan minyak (Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Desember
2016).
Menariknya,
untuk pengembangan wisata bahari berbintang di Gili Sunut, salah satu pulau
kecil di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 rumah tangga
nelayan tradisional dipaksa keluar dari pulau tersebut. Ironisnya, negara
terlibat dalam pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat pesisir ini.
Keterlibatan negara
Perluasan
kawasan konservasi laut atas nama perubahan iklim merupakan modus antara yang
lazim dilakukan di banyak negara. Setelah perairan tertentu ditetapkan
sebagai marine protected areas, di situlah penawaran investasi atas wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil mulai berlangsung. Pada saat yang sama,
masyarakat pesisir mesti dikorbankan. Fenomena Gili Sunut jamak terjadi di
Indonesia.
Ada
perbedaan cara pandang antara negara dengan masyarakat terhadap sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil. Negara memandang sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk
memperbesar pundi penerimaan negara. Sebaliknya, masyarakat pesisir
mengartikannya sebagai pusat kebudayaan mereka. Salah satunya adalah
kepercayaan masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera, Kecamatan
Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, terhadap laut sebagai ibu
(ina soro budi) yang melahirkan dan
membesarkan (budi noro apadike).
Maka
menjadi kewajiban nelayan tradisional Lamalera untuk menjaga dan melestarikan
sumber daya laut (pai pana ponu tehama
hama). Di samping itu, kekeliruan memahami kearifan lokal juga menjadi
salah satu pangkal kesalahkaprahan dalam mengelola sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil. Padahal, didalam kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku,
Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Manee di
Sulawesi Utara, dan Ola Nua di Nusa Tenggara Timur, terdapat nilai-nilai
perenial yang mengutamakan kebajikan, di antaranya adalah gotong-royong untuk
sebesar-besar kemakmuran bersama.
Model
pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal dilakukan secara swadaya
dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan
dana utang. Hal tersebut disebabkan masyarakat perikanan tradisional
menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan
prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Terlebih mereka
mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.
Untuk
itulah, Mahkamah Konstitusi menganulir sejumlah pasal Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3) di dalam Undang-Undang Nomor 27/ 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan
Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Karena dengan memiliki sertifikat HP3, perseorangan atau badan hukum tertentu
bisa mengapling wilayah pesisir dan pulaupulau kecil untuk kepentingan
komersial selama 60 tahun.
Belakangan
HP3 diubah menjadi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan untuk mempermudah
berlangsungnya praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan
pulaupulau kecil. Jika hal ini dibiarkan, masyarakat lintas profesi (nelayan
tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan
pelestari ekosistem pesisir) yang tinggal di 10.666 desa pesisir bakal
tergusur.
Inilah
bentuk pengalihan kewenangan negara kepada swasta (privatisasi) untuk
pembesaran kapital (finansialisasi alam) melalui jual-beli wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil (komersialisasi) untuk penyediaan layanan rekreatif berbasis
lingkungan hidup. Selain menganulir pasal-pasal HP3, Mahkamah Konstitusi juga
memberikan panduan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam dengan
menafsirkan frase ”sebesar-besar kemakmuran rakyat” melalui empat indikator
utama, yakni:
(1)
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
(2)
tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
(3)
tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta
(4)
penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan
sumber daya alam (Putusan Nomor 3/2010).
Jika
dilihat dengan memakai empat indikator sebesar-besar kemakmuran rakyat,
mendahulukan investasi asing dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil mutlak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih, pulau-pulau
kecil bermakna strategis bagi kehidupan sebuah bangsa. Karena di dalam isu
”pulau kecil” itulah terletak berbagai persoalan tentang identitas, sumber
daya, dan kedaulatan, serta silang selisih antarentitas politik antarnegara.
Tak
mengherankan apabila Jepang dan China berjibaku memperebutkan Kepulauan
Diaoyu atau Senkaku untuk kepentingan nasionalnya. Pun demikian dengan Negeri
Menara Eifell dalam pengembangan destinasi wisata bahari berbasis masyarakat
di Pulau Île dYeu yang memproduksi kesejahteraan bagi warga pulau di selatan
Prancis tersebut. Di sinilah terlihat kesungguhan penyelenggara negara untuk
mengembangkan dan memperebutkan keberadaan pulau-pulau kecil untuk kemakmuran
rakyatnya, bukan malah melegonya untuk kepentingan bangsa lain.
Maka
sudah semestinya pemerintah mengubah orientasi pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil di Tanah Air dengan mengedepankan dan memastikan
keterlibatan masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan tradisional,
perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem
pesisir) sebagai pemain utama, karena sesungguhnya inilah jalan
konstitusional yang dikehendaki oleh founding
fathers. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar