Peluang
Banding di WTO
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila;
Ekonom Senior INDEF; Professorial Fellow di Sekolah Bisnis IPB
|
KOMPAS, 07 Januari
2017
Sebagaimana
diduga, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akhirnya mengabulkan gugatan
Selandia Baru dan Amerika Serikat, dan menghukum Indonesia untuk mengganti
ketentuan perdagangan internasional pada produk hortikultura, hewan, ataupun
produk hewan.
Setelah
melalui proses notifikasi (protes keras) dan perundingan bilateral antara
Selandia Baru dan Indonesia, antara Amerika Serikat dan Indonesia, sejak
2012, kedua negara membawa sengketa dagang itu ke meja sidang Majelis Panel
Sengketa dengan nomor perkara DS 477 dan DS 478.
Keputusan
Majelis Panel WTO yang diumumkan pada 22 Desember 2016, setuju dengan gugatan
Selandia Baru dan AS, bahwa prosedur perizinan impor hortikultura, hewan, dan
produk hewan bersifat restriktif, berdampak pada perdagangan internasional,
dan tidak konsisten dengan ketentuan WTO, khususnya Article III dan Article
XI:1 GATT 1994, Article 4.2 Agreement on Agriculture, dan Agreement on Import
Licensing Procedures. WTO memberi batas waktu sampai akhir Januari 2017
kepada Indonesia untuk menerima keputusan atau banding.
Pemerintah
Indonesia tampaknya akan menempuh jalur hukum, mengajukan banding kepada
Majelis Panel WTO, mengingat beberapa ketentuan yang dituduhkan dalam impor
hortikultura dan peternakan telah diperbaiki (Kompas, 31 Desember 2016).
Artikel ini menganalisis peluang keberhasilan Indonesia dalam menempuh jalur
banding.
Terus
terang, banyak yang khawatir jika Indonesia menerima keputusan WTO begitu
saja dan meliberalisasi ketentuan impor hortikultura, hewan, dan produk
hewan. Petani dan peternak skala kecil di dalam negeri mungkin tinggal gigit
jari jika pasar domestik dipenuhi produk impor. Walaupun hanya dua negara
yang mengajukan tuntutan kepada WTO, terdapat 14 negara lain sebagai pihak
ketiga yang berkepentingan terhadap pokok perkara dan mendukung Selandia Baru
dan AS, yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, RRT, Jepang, Korea
Selatan, Uni Eropa, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India, Singapura, dan
Thailand. Hampir dapat dipastikan bahwa nasib petani hortikultura dan
peternak kecil akan semakin terpuruk jika produk impor buah, sayuran, dan
bunga, serta sapi, daging sapi, susu, keju, daging ayam, telur, dan lain-lain
dengan bebas masuk ke pasar Indonesia.
Argumen perdagangan ”fair”
Sidang
perkara gugatan Selandia Baru DS 477 dan Amerika Serikat 478 telah
dilaksanakan pada Februari dan April 2016, disertai adu argumen tertulis yang
dikirim via elektronik dan langsung hard copy. Delegasi Indonesia dipimpin
pejabat Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar
Negeri, pihak swasta dan tenaga ahli, dibantu Kedutaan Besar Republik
Indonesia di WTO dan Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Geneva. Indonesia
didampingi pengacara hukum sengketa dagang internasional dari perusahaan
hukum di Jakarta dan Law Firm AS di Washington DC.
Dalam
setiap sidang, pihak Indonesia berusaha membela diri dan mengajukan
bukti-bukti bahwa pengaturan impor oleh Indonesia tidak menurunkan volume
impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Selandia Baru dan AS,
bahkan sebaliknya, impor produk pertanian Indonesia naik signifikan. Indonesia
telah berargumen bahwa pengaturan masa impor dan masa berlaku impor tidak
dapat disebut quantitative restrictions berdasarkan Article XI:1 of GATT
1994. Persyaratan importir wajib memiliki food storage dan fasilitas
penyimpanan produk hortikultura segar bertujuan untuk menjamin kesehatan dan
keamanan pangan impor. Kebijakan itu tidak berkorelasi dengan pembatasan
volume impor oleh Indonesia.
Ketika
kebijakan impor hortikultura dituduh diskriminatif, Indonesia mengatakan,
pemerintah tidak pernah menolak permohonan impor produk hortikultura
sepanjang persyaratannya memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) No 16/2013 atau Permendag No 71/2015 tentang Ketentuan Produk
Impor Hortikultura (KPIH). Demikian pula, Pemerintah Indonesia tidak pernah
menolak mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sepanjang
sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) No 86/2013 tentang RIPH.
Dalam
hal impor hewan dan produk hewan, Pemerintah Indonesia tidak pernah menolak
permohonan impor hewan dan produk hewan sepanjang persyaratannya memenuhi
ketentuan Permendag No 46/2013 atau Permendag No 5/2016 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Bahkan, Pemerintah Indonesia tidak
pernah menolak mengeluarkan Rekomendasi Impor Hewan dan Produk Hewan
sepanjang persyaratannya sesuai yang ditetapkan dalam Permentan No 139/2014
dan No 58/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke
wilayah Indonesia. Apabila rekomendasi impor produk hortikultura, hewan, atau
produk hewan belum diberikan, hal tersebut karena importir tidak melengkapi
persyaratan pada waktu yang ditentukan.
Indonesia
juga menggunakan argumen perdagangan fair bahwa sebagai negara berkembang
masih tertatih-tatih melaksanakan pembangunan pertanian, ketahanan pangan,
dan keamanan pangan. Oleh karena itu, tidaklah fair jika Indonesia masih
dituntut harus melayani kepentingan negara maju secara kaku.
Banding untuk ulur waktu?
Banyak
ahli hukum tidak menyarankan Indonesia untuk menempuh proses banding, kecuali
untuk mengulur waktu. Mulai sekarang sampai sekian bulan proses sidang
banding, pemerintah perlu lebih serius berusaha memperbaiki ketentuan impor
hortikultura dan peternakan, disertai data pendukung dan sinkronisasi kebijakan.
Keputusan banding tentu memiliki konsekuensi biaya tidak kecil, fee untuk
penasihat hukum, biaya perjalanan dinas, dan energi bangsa yang terkuras.
Contoh
kecil misalnya, jika Indonesia akan mengajukan banding dengan menggunakan
Article XI:2 (c)(ii) GATT 1994 untuk justifikasi persyaratan harga referensi
dan pelarangan impor pada masa panen. Dukungan data, hasil studi ilmiah, dan
argumen lain perlu untuk meyakinkan bahwa surplus produk pertanian dapat
menekan harga sangat jauh sehingga mengurangi kesejahteraan petani.
Demikian
juga jika ingin memanfaatkan Article XI:1 GATT 1994 dan Article 4.2 of
Agreement on Agriculture (AoA) untuk menunjukkan tidak ada quantitative
restriction tentang produk hortikultura. Bukti empiris dan hasil studi,
dukungan data juga harus jelas bahwa harga referensi tidak sama dengan
minimum import price pada tingkat internasional karena mekanismenya berbeda.
Indonesia harus mampu meyakinkan majelis hakim di WTO bahwa harga referensi
lebih banyak berupa indikator oversupply, yang bermanfaat untuk memantau
produk yang tidak terjual cepat agar tidak busuk (terutama cabai dan bawang
merah) serta membawa dampak pada keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Sekali
lagi, upaya banding yang akan ditempuh, selain untuk menunjukkan kedaulatan
sebagai bangsa, juga sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki ketentuan dan
kebijakan impor pada level kementerian/lembaga. Pelajaran berharga dari kasus
DS 477 dan DS 478 ini seharusnya mampu meningkatkan kesadaran para perumus
dan pengambil kebijakan bahwa kebijakan perdagangan internasional perlu
diikuti suatu langkah diplomasi ekonomi yang terintegrasi.
Apalagi,
saat ini Indonesia juga sedang diperkarakan Brasil yang menuduh Indonesia
mempersulit impor daging ayam dari Brasil (DS 484) dan mempersulit impor
daging berhormon pertumbuhan (DS 506). Para negosiator dan diplomat perlu
satu hati untuk mampu memperjelas syarat sertifikat halal dari Lembaga
Sertifikasi Halal negara asal yang telah diakreditasi Majelis Ulama Indonesia
sehingga tak ada inspeksi ulang di dalam negeri. Mitra dagang Indonesia perlu
dipertegas untuk mempelajari ketentuan kehalalan yang amat jelas tercantum
dalam UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang berlaku tanpa
diskriminasi.
WTO
pernah memenangkan gugatan dagang Indonesia kepada AS yang telah
diskriminatif terhadap rokok kretek asal Indonesia. AS tidak melakukan
banding, tetapi berunding secara bilateral dengan Indonesia dan mencari
solusi yang lebih baik. Tidak terlalu salah untuk mencoba strategi tersebut
dengan mengajukan strategi mutually
agreed solution (MAS) dengan Selandia Baru dan AS sambil memperbaiki
ketentuan impor hortikultura dan impor produk hewan. Strategi MAS ini perlu
disertai pemberian konsesi lain dalam sektor pangan dan pertanian, atau
bahkan sektor lain yang relevan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar