Sabtu, 07 Januari 2017

Peluang Banding di WTO

Peluang Banding di WTO
Bustanul Arifin  ;   Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila;
Ekonom Senior INDEF;  Professorial Fellow di Sekolah Bisnis IPB
                                                      KOMPAS, 07 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebagaimana diduga, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akhirnya mengabulkan gugatan Selandia Baru dan Amerika Serikat, dan menghukum Indonesia untuk mengganti ketentuan perdagangan internasional pada produk hortikultura, hewan, ataupun produk hewan.

Setelah melalui proses notifikasi (protes keras) dan perundingan bilateral antara Selandia Baru dan Indonesia, antara Amerika Serikat dan Indonesia, sejak 2012, kedua negara membawa sengketa dagang itu ke meja sidang Majelis Panel Sengketa dengan nomor perkara DS 477 dan DS 478.

Keputusan Majelis Panel WTO yang diumumkan pada 22 Desember 2016, setuju dengan gugatan Selandia Baru dan AS, bahwa prosedur perizinan impor hortikultura, hewan, dan produk hewan bersifat restriktif, berdampak pada perdagangan internasional, dan tidak konsisten dengan ketentuan WTO, khususnya Article III dan Article XI:1 GATT 1994, Article 4.2 Agreement on Agriculture, dan Agreement on Import Licensing Procedures. WTO memberi batas waktu sampai akhir Januari 2017 kepada Indonesia untuk menerima keputusan atau banding.

Pemerintah Indonesia tampaknya akan menempuh jalur hukum, mengajukan banding kepada Majelis Panel WTO, mengingat beberapa ketentuan yang dituduhkan dalam impor hortikultura dan peternakan telah diperbaiki (Kompas, 31 Desember 2016). Artikel ini menganalisis peluang keberhasilan Indonesia dalam menempuh jalur banding.

Terus terang, banyak yang khawatir jika Indonesia menerima keputusan WTO begitu saja dan meliberalisasi ketentuan impor hortikultura, hewan, dan produk hewan. Petani dan peternak skala kecil di dalam negeri mungkin tinggal gigit jari jika pasar domestik dipenuhi produk impor. Walaupun hanya dua negara yang mengajukan tuntutan kepada WTO, terdapat 14 negara lain sebagai pihak ketiga yang berkepentingan terhadap pokok perkara dan mendukung Selandia Baru dan AS, yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, RRT, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India, Singapura, dan Thailand. Hampir dapat dipastikan bahwa nasib petani hortikultura dan peternak kecil akan semakin terpuruk jika produk impor buah, sayuran, dan bunga, serta sapi, daging sapi, susu, keju, daging ayam, telur, dan lain-lain dengan bebas masuk ke pasar Indonesia.

Argumen perdagangan ”fair”

Sidang perkara gugatan Selandia Baru DS 477 dan Amerika Serikat 478 telah dilaksanakan pada Februari dan April 2016, disertai adu argumen tertulis yang dikirim via elektronik dan langsung hard copy. Delegasi Indonesia dipimpin pejabat Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri, pihak swasta dan tenaga ahli, dibantu Kedutaan Besar Republik Indonesia di WTO dan Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Geneva. Indonesia didampingi pengacara hukum sengketa dagang internasional dari perusahaan hukum di Jakarta dan Law Firm AS di Washington DC.

Dalam setiap sidang, pihak Indonesia berusaha membela diri dan mengajukan bukti-bukti bahwa pengaturan impor oleh Indonesia tidak menurunkan volume impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Selandia Baru dan AS, bahkan sebaliknya, impor produk pertanian Indonesia naik signifikan. Indonesia telah berargumen bahwa pengaturan masa impor dan masa berlaku impor tidak dapat disebut quantitative restrictions berdasarkan Article XI:1 of GATT 1994. Persyaratan importir wajib memiliki food storage dan fasilitas penyimpanan produk hortikultura segar bertujuan untuk menjamin kesehatan dan keamanan pangan impor. Kebijakan itu tidak berkorelasi dengan pembatasan volume impor oleh Indonesia.

Ketika kebijakan impor hortikultura dituduh diskriminatif, Indonesia mengatakan, pemerintah tidak pernah menolak permohonan impor produk hortikultura sepanjang persyaratannya memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 16/2013 atau Permendag No 71/2015 tentang Ketentuan Produk Impor Hortikultura (KPIH). Demikian pula, Pemerintah Indonesia tidak pernah menolak mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sepanjang sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 86/2013 tentang RIPH.

Dalam hal impor hewan dan produk hewan, Pemerintah Indonesia tidak pernah menolak permohonan impor hewan dan produk hewan sepanjang persyaratannya memenuhi ketentuan Permendag No 46/2013 atau Permendag No 5/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Bahkan, Pemerintah Indonesia tidak pernah menolak mengeluarkan Rekomendasi Impor Hewan dan Produk Hewan sepanjang persyaratannya sesuai yang ditetapkan dalam Permentan No 139/2014 dan No 58/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke wilayah Indonesia. Apabila rekomendasi impor produk hortikultura, hewan, atau produk hewan belum diberikan, hal tersebut karena importir tidak melengkapi persyaratan pada waktu yang ditentukan.

Indonesia juga menggunakan argumen perdagangan fair bahwa sebagai negara berkembang masih tertatih-tatih melaksanakan pembangunan pertanian, ketahanan pangan, dan keamanan pangan. Oleh karena itu, tidaklah fair jika Indonesia masih dituntut harus melayani kepentingan negara maju secara kaku.

Banding untuk ulur waktu?

Banyak ahli hukum tidak menyarankan Indonesia untuk menempuh proses banding, kecuali untuk mengulur waktu. Mulai sekarang sampai sekian bulan proses sidang banding, pemerintah perlu lebih serius berusaha memperbaiki ketentuan impor hortikultura dan peternakan, disertai data pendukung dan sinkronisasi kebijakan. Keputusan banding tentu memiliki konsekuensi biaya tidak kecil, fee untuk penasihat hukum, biaya perjalanan dinas, dan energi bangsa yang terkuras.

Contoh kecil misalnya, jika Indonesia akan mengajukan banding dengan menggunakan Article XI:2 (c)(ii) GATT 1994 untuk justifikasi persyaratan harga referensi dan pelarangan impor pada masa panen. Dukungan data, hasil studi ilmiah, dan argumen lain perlu untuk meyakinkan bahwa surplus produk pertanian dapat menekan harga sangat jauh sehingga mengurangi kesejahteraan petani.

Demikian juga jika ingin memanfaatkan Article XI:1 GATT 1994 dan Article 4.2 of Agreement on Agriculture (AoA) untuk menunjukkan tidak ada quantitative restriction tentang produk hortikultura. Bukti empiris dan hasil studi, dukungan data juga harus jelas bahwa harga referensi tidak sama dengan minimum import price pada tingkat internasional karena mekanismenya berbeda. Indonesia harus mampu meyakinkan majelis hakim di WTO bahwa harga referensi lebih banyak berupa indikator oversupply, yang bermanfaat untuk memantau produk yang tidak terjual cepat agar tidak busuk (terutama cabai dan bawang merah) serta membawa dampak pada keamanan pangan dan kesehatan masyarakat.

Sekali lagi, upaya banding yang akan ditempuh, selain untuk menunjukkan kedaulatan sebagai bangsa, juga sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki ketentuan dan kebijakan impor pada level kementerian/lembaga. Pelajaran berharga dari kasus DS 477 dan DS 478 ini seharusnya mampu meningkatkan kesadaran para perumus dan pengambil kebijakan bahwa kebijakan perdagangan internasional perlu diikuti suatu langkah diplomasi ekonomi yang terintegrasi.

Apalagi, saat ini Indonesia juga sedang diperkarakan Brasil yang menuduh Indonesia mempersulit impor daging ayam dari Brasil (DS 484) dan mempersulit impor daging berhormon pertumbuhan (DS 506). Para negosiator dan diplomat perlu satu hati untuk mampu memperjelas syarat sertifikat halal dari Lembaga Sertifikasi Halal negara asal yang telah diakreditasi Majelis Ulama Indonesia sehingga tak ada inspeksi ulang di dalam negeri. Mitra dagang Indonesia perlu dipertegas untuk mempelajari ketentuan kehalalan yang amat jelas tercantum dalam UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang berlaku tanpa diskriminasi.

WTO pernah memenangkan gugatan dagang Indonesia kepada AS yang telah diskriminatif terhadap rokok kretek asal Indonesia. AS tidak melakukan banding, tetapi berunding secara bilateral dengan Indonesia dan mencari solusi yang lebih baik. Tidak terlalu salah untuk mencoba strategi tersebut dengan mengajukan strategi mutually agreed solution (MAS) dengan Selandia Baru dan AS sambil memperbaiki ketentuan impor hortikultura dan impor produk hewan. Strategi MAS ini perlu disertai pemberian konsesi lain dalam sektor pangan dan pertanian, atau bahkan sektor lain yang relevan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar