Atas
Nama Rakyat
Farouk Muhammad ; Wakil
Ketua DPD RI
|
KOMPAS, 07 Januari
2017
Di
dalam kehidupan bernegara yang menerapkan sistem demokrasi, rakyat dianggap
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Begitu tingginya kekuasaan rakyat
sehingga digambarkan melalui suatu adagium Latin: vox populi vox dei (suara
rakyat adalah suara Tuhan).
Namun,
”suara rakyat” tentu bukan sekadar bunyi. Ia mengandung kehendak, harapan,
dan tujuan bersama yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat itu sendiri.
Untuk mewujudkannya, dibutuhkan ”penyambung lidah rakyat”, yang mampu
menerjemahkan ”suara rakyat” itu menjadi sesuatu yang nyata atas nama rakyat.
Dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia, banyak contoh nyata bagaimana
”penyambung lidah” itu mewujudkan ”suara rakyat”. Ketika rakyat Indonesia
menghendaki kemerdekaan, sementara para pemuda masih tercerai-berai dalam
kotak kedaerahan, muncul gagasan persatuan bangsa sebagai modal untuk meraih
kemerdekaan dengan mengatasnamakan poetra-poetri (rakyat) Indonesia melalui
Soempah Pemuda.
”Suara
rakyat” yang menghendaki kemerdekaan Indonesia kemudian terus digelorakan
”penyambung lidah rakyat”, seperti sosok Bung Karno bersama Bung Hatta yang
berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dengan mengatasnamakan
bangsa (rakyat).
”Suara
rakyat” terus hadir dalam peristiwa-peristiwa monumental. Seperti munculnya
”Tiga Tuntutan Rakyat” (Tritura) yang melahirkan era pemerintahan Orde Baru
(tahun 1966) hingga tuntutan Enam Amanat Reformasi yang mengakhirinya (tahun
1998).
Senjata retorika untuk
legitimasi politik?
Tiada
satu pun rakyat Indonesia yang menggugat mereka yang mengatasnamakan rakyat
dalam peristiwa-peristiwa monumental tersebut.
Kenyataan
tersebut tampak jauh berbeda dengan kehidupan politik dewasa ini. Pernyataan
dengan sisipan frase ”atas nama rakyat” acapkali diucapkan karena kita
menganggap diri sebagai pembawa ”suara rakyat”.
Sebab,
hal itu tidak hanya menjadi alat yang mampu melegitimasi pernyataan atau
tindakan yang kita lakukan, tetapi juga memiliki ”nilai jual” yang sangat
tinggi untuk meraih simpati dan dukungan orang banyak, serta memberikan daya
tekan atas apa yang menjadi tuntutannya.
Tak
usah heran jika kita mendengar para politisi (tulen ataupun karbitan) yang
terpilih jadi wakil rakyat di parlemen menggunakan ”mantra” atas nama rakyat
dalam berbagai kesempatan/forum pertemuan.
Tidak
hanya anggota Dewan, bahkan partai politik pun, menganggap perlu untuk
”mempersenjatai” dirinya dengan slogan atas nama rakyat. Padahal, pada hakikatnya
apa yang disuarakan partai itu lebih mencerminkan pemikiran elite partai
daripada atas nama rakyat itu sendiri.
”Mantra”
itu juga sering kali kita dengar dalam pekikan unjuk rasa di ”parlemen
jalanan” oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, dan mahasiswa
dengan berbagai kepentingan yang diusungnya.
Namun,
kita justru sering kali bertanya-tanya: benarkah yang dikemukakan dengan
mengatasnamakan rakyat itu merupakan ”suara/aspirasi rakyat” yang
sesungguhnya?
Dengan
melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam, apa yang dimaksud
dengan ”suara rakyat”, ”atas nama rakyat”, atau jargon lain yang serupa?
Apakah benar merupakan representasi mayoritas penduduk atau hanya senjata
retorika untuk mendapatkan legitimasi politik?
Lantas
rakyat mana sebenarnya yang kita perjuangkan? Rasanya tidak habis pikir bagi
kita untuk memahami sistem demokrasi yang sedang kita jalani pada saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar