Presiden
di Pusaran Pengadaan Alutsista
Dedi Haryadi ; Deputi
Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 05 Januari
2017
Ada
tiga isu krusial menyangkut peranan Presiden dalam pengadaan alat utama
sistem persenjataan. Pertama, sejauh mana efektivitas kontrol politik
presiden terhadap institusi militer. Kedua, seberapa kuat intensi politik
presiden mengendalikan risiko korupsi ditubuh militer, khususnya dalam
pengadaan alutsista, dan ketiga, seserius apa visi Presidendalam membangunindustripertahanan
dan keamanan dalam negeri. Ketigaisu itu nyata terasadalam pusaranpengadaan
helikopter AgustaWestland AW101 yang dilakukan TNI AU baru-baru ini.
Kebersikukuhan
(mungkin lebih tepat disebut pembangkangan) Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus
Supriatna mengadakanhelikopter (AW101) merupakan batu ujian paling penting
dan serius terhadapefektivitas kontrol politik Presiden Joko Widodo terhadap
institusi militer. Keputusan cepat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
membatalkan pembelian helikopter AW101 memperlihatkan Presiden Jokowi mampu
melampaui batu ujian ini. Kontrol politik Presiden Jokowi, yang berasal dari
kalangan sipil, terhadap institusi militer kelihatannya cukup efektif.
Dalam
dua tahun terakhir, Presiden Jokowi sukses melakukan konsolidasi politik.
Partai politik, politisi di parlemen, dan tokoh masyarakat secara sukarela
atau transaksional diserap ke dalam orbitasi kepemimpinannya. Oposisi dari
partai politik dan publik menjadi minimal.
Kapitalisasi konsolidasi
Sukses
ini seharusnyabisa menjadi inspirasi bagi kalangan politisi sipil agar lebih
percaya diri dalam menghadapi dan mengontrol institusi militer. Kepresidenan
Jokowi sebenarnya bisa dimaknai sebagai pertanda berakhirnya stigma
inferioritas politisi sipil menghadapi institusi militer.
Sukses
Presiden Jokowi mengonsolidasikan kekuatan politik harus bisa dikapitalisasi
dan diabdikan untuk memimpin: (1) pengendalian risiko korupsi di tubuh
militer; serta (2) pengembangan industri pertahanan dan keamanan dalam
negeri. Sebagai panglima tertinggi TNI, Presiden perlu memimpin pengendalian
risiko korupsi di tubuh TNI. Lembaga kuyup rahasia seperti TNI memang rawan
korupsi.
Sebuah
hasil studi memperlihatkan risiko korupsi di tubuh TNI memang tergolong
tinggi. Bisa jadi kasus korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan
(alutsista) yang melibatkan Brigjen Teddy Hernayadi senilai 12,4 juta dollar
AS hanyalah puncak dari gunung es korupsi militer.
Kepemimpinan
Presiden Jokowi dalam pengendalian risiko korupsi di tubuh TNI mencakup empat
aspek, yaitu: meningkatkan partisipasi dan kontrol publik dalam proses
kebijakan pertahanan dan keamanan; meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas belanja militer; meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan
integritas pengadaan barang dan jasa di tubuh TNI; dan, yang tak kalah
penting, reformasi peradilan militer. Yang terakhir ini memungkinkan prajurit
yang melakukan tindak pidana umum/khusus diadili di peradilan umum/sipil.
Konsisten dan komitmen
Visi
Presiden Jokowi dalam mengembangkan industri pertahanan dan keamanan, seperti
tercantum dalam Nawacita, sebenarnya simetrisdengan ruh dan semangat UU No
12/2012 tentang Industri Pertahanan. Melalui UU ini, secara politik bangsa
ini sudah memutuskan untuk mengembangkan industri pertahanan dan keamanan
dalam negeri yang tangguh untuk memenuhi kebutuhan sendiri alutsistanyadalam
menjaga kedaulatan negara. Oleh karena itu, kepemimpinan Presiden dalam
mengembangkan industri pertahanandan keamanan dalam negeri dilakukan dengan
memastikan diimplementasikannyaUU ini secara konsisten.
Konsistensi
itu di antaranya Presiden harus mengarahkan dan memaksa supaya TNI—semua
angkatan—membeli dan menggunakan alutsista produksi PT Pindad, PT PAL, dan PT
Dirgantara Indonesia. Tiga perusahaan alutsista ini, ke depan, juga bisa
diproyeksikansebagai produsen alutsista yang tangguh, yang bisa berperan
penting dalam industri dan perdagangan alutsista internasional.
Kalaupun
ada alutsista yang dibutuhkan tetapi belum bisa diproduksi di dalam negeri,
UU Industri Pertahanan ini sudah menggariskan jalan keluar yang elegan.
Yaitu, perlu dikembangkannya mekanisme offset contract (kontrak tambahan),
baik langsung maupun tak langsung,dalam pembelian alutsista.
Hikmah
apa yang bisa dipetik dari kejadian pengadaan helikopter AW101 ini? Ke depan,
sebaiknya Presiden Jokowi mengangkat Panglima TNI dan para kepala staf
angkatannya yang punya pemahaman baik dan komitmen tinggi untuk mematuhi UU
Industri Pertahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar