Paradoks
Pendidikan dan Dunia Kerja
Didik J Rachbini ; Guru Besar Ilmu Ekonomi UMB Jakarta; Ekonom Senior INDEF
|
DETIKNEWS, 10 Januari
2017
Kondisi
sumberdaya manusia (SDM) Indonesia tergolong rendah kualitasnya sehingga
dunia usaha dan industri menghadapi kesulitan untuk merekrut SDM berkualitas
dalam waktu cepat. Investor baru dari luar atau dalam negeri yang membawa
teknologi khusus menghadapi kesulitan yang serius mencari tenaga kerja yang
baik di Indonesia karena ketersediaan tenaga kerja berketerampilan sangat
terbatas.
Lulusan
dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi
tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri.
Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang
sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau
bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan ketrampilan masih sangat sedikit.
Jadi
di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau
bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan
pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang. Pada level menengah dan
atas terjadi labor shortage atau kekurangan ketrampilan dan keahlian tingkat
menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah dan tinggi
banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi
pasokannya kurang.
Sementara
itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak
terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya. Perhatikan
jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara
terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang
datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan
tenaga kerja tidak trampil sangat besar jumlahnya.
Mengapa
terjadi labor shortage di level
atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga
kerja yang berketrampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan
perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas
dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan
laboratorium yang rumit. Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga
tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan
dan ketrampilannya.
Dan
yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia
industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan
pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan
tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan
tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat
pembangunan secara umum (mismatch).
Dunia
industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja
berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan
tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah
maupun yang berpendidikan tinggi.
Kondisi
inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot
loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat
teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China,
kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi.
Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang
berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.
Kekuatan
ekonomi nasional hanya bertumpu pada produksi bahan mentah dan bahan setengah
jadi, yang hanya mengeksploitasi sumberdaya alam. Penerimaan devisa juga
berasal dari ekspor bahan mentah tersebut. Ini terjadi karena SDM di
Indonesia secara umum masih kurang memadai.
Pada
level bawah terjadi apa yang disebut labor surplus atau kelebihan tenaga
kerja tidak terampil. Hampir separuh dari SDM pekerja secara nasional sangat
tidak berketerampilan karena golongan ini cuma lulusan SD ke bawah. Apa yang
bisa diperbuat oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah seperti ini? Tentu
dengan pendidikan seperti ini kualitasnya sangat rendah dan jauh dari memadai
sehingga tidak bisa mendukung industrialisasi secara masif.
Bahkan
banyak investasi asing yang akan masuk masuk sektor industri merasa tidak
layak karena dukungan kualitas tenaga kerjanya yang rendah. Industrialisasi
menghadapi tantangan pada keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang
berkualitas, selain pada aspek kebijakan industri itu sendiri.
Inilah
tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang
modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah
terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam
perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang
banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan ketrampilan kurang
memadai (labor surplus). Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana
permintaan tenaga berkerampilan di level atas kurang pasokannya.
Sistem
pendidikan kita selama 3-4 dekade masih belum berhasil mengentaskan golongan
bawah sampai ke jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bahkan
sampai hampir dua dekade anggaran pendidikan ditingkatkan ekstrem sampai 20
persen, tetap saja saja banyak golongan bawah yang berhenti sampai tingkat
sekolah dasar saja. Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap
pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan
perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di
bidangnya.
Baru-baru
ini pendidikan vokasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian presiden.
Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat
lulusannya dengan ketrampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja,
khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.
Presiden
sudah mengajak dunia usaha dan BUMN untuk mengembangkan dan membangun
pendidikan vokasi agar pasokan tenaga kerja berketrampilan semakin banyak.
Tetapi dalam pandangan saya kebijakan ini masih bersifat wacana karena
rencana kebijakan seperti ini belum diikuti oleh suatu gerakan yang bersifat
kolektif bersama dunia usaha, BUMN dan pemerintah daerah. Sebagai tidak
lanjut arahan dan anjuran presiden juga belum terlihat mobilisasi dana,
sumberdaya kebijakan, sumberdaya birokrasi, teknologi dan lainnya. Juga tidak
terlihat ada kebijakan komprehensif dan birokrasi mana yang bertanggung jawab
untuk hal ini.
Sebagai
perbandingan, lihat dan pelajari kebijakan pangan di masa lalu. Sumberdaya
kebijakannya jelas. Yang bertanggung jawab pasokan pupuk adalah Departemen
Perindustrian yang harus membangun pabrik-pabrik pupuk melalui BUMN (Pusri,
Pupuk Kaltim, Petro Kimia Gresik, dll). Jaringan irigasi dibuat oleh
Departemen PU, benih dan penyuluh dikerjakan oleh Departemen Pertanian.
Anatomi
sistem kebijakan seperti contoh di atas jelas. Tetapi kebijakan pendidikan
vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik.
Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau
opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum
masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan
dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar