Mewaspadai
Serbuan Tenaga Kerja Asing Ilegal
Bagong Suyanto ; Dosen Prodi S-3 Ilmu Sosial FISIP
Universitas Airlangga
|
KORAN SINDO, 11 Januari
2017
Di
tengah laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan, kekhawatiran berbagai
pihak terhadap kemungkinan terjadi serbuan tenaga kerja asing (TKA) ke
Indonesia sebetulnya bisa dipahami.
Meski
masih harus dibuktikan kebenarannya, isu ada 10 juta TKA dari China yang
menyerbu pasar kerja di Tanah Air bagaimanapun akan berpotensi mengancam
stabilitas sosial-ekonomi Indonesia ke depan. Meskipun Presiden Jokowi telah
membantah dan meluruskan rumor tentang serbuan 10 juta TKA dari China dan
bahkan menyatakan tenaga kerja dari China hanya sekitar 21.000 jiwa, tetapi
fakta di lapangan memperlihatkan bahwa serbuan TKA ilegal dari China bukan
isapan jempol.
Di
Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara misalnya dilaporkan ribuan TKA telah
masuk dan mengais rezeki sebagai buruh kasar. Beberapa hari terakhir aparat
juga dilaporkan telah berhasil menangkap sejumlah TKA ilegal dari China yang
bekerja sebagai PSK dan tukang pijat plus-plus di sejumlah tempat hiburan.
Terlepas berapa sebetulnya jumlah TKA yang telah masuk ke Indonesia,
kekhawatiran berbagai pihak terhadap kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air
menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Sebagai
negara yang telah masuk dalam pusaran globalisasi, persaingan tenaga kerja
domestik dengan TKA tidak mungkin terhindarkan. Masalahnya di sini bukan pada
siap-tidak tenaga kerja Indonesia bersaing dengan TKA, tetapi yang lebih
penting adalah kebijakan apakah yang seharusnya dikembangkan pemerintah untuk
meningkatkan keberdayaan dan kesesuaian profil angkatan kerja yang ada dengan
kebutuhan pasar kerja.
Faktor Penyebab
Apa
yang menjadi daya tarik dan faktor penyebab banyak TKA menyerbu pasar kerja
di Indonesia tentu tidak hanya karena keterbatasan kesempatan kerja di negara
asal TKA itu, melainkan juga karena sejumlah faktor internal yang mewarnai
dinamika pasar kerja nasional. Sejumlah faktor yang disinyalir memengaruhi
dan menjadi penyebab terjadi arus TKA yang cenderung lepas kendali.
Pertama,
implikasi dari kebijakan bebas visa kunjungan singkat (BVKS) yang diberlakukan
pemerintah, yang kemudian membuat lubang terbuka bagi TKA ilegal untuk
memasuki pasar kerja nasional tanpa bisa dikontrol dengan efektif. Seperti
dilaporkan media massa, di berbagai daerah telah banyak ditemukan kasus di
mana perusahaan yang ada mempekerjakan TKA walaupun tidak disertai dengan
proses perizinan yang sah.
Kalau
menurut data resmi, tercatat total TKA di Indonesia memang hanya 74.183 jiwa,
di mana sebagian besar didominasi tenaga kerja dari China (21.271 jiwa) dan
Jepang (12.490 jiwa). Namun, kenyataan di lapangan ditengarai jumlah TKA yang
masuk secara ilegal ke Indonesia telah mencapai ratusan ribu jiwa. Ironisnya,
para TKA ilegal ini bukan bekerja sebagai tenaga ahli, tetapi sebagian besar
justru sebagai tenaga kerja kasar sepertitukangbatu, sopirkendaraan berat,
hingga teknisi.
Kedua,
imbas dari kebijaksanaan investasi yang cenderung bias ke sektor industri dan
miss match dengan profil tenaga kerja lokal yang ada.
Dengan
kualifikasi dan profil angkatan kerja yang sebagian besar masih didominasi
angkatan kerja dengan latar belakang pendidikan hanya setara SD-SMP (60,24%),
tentu sulit dibayangkan mereka dapat terserap pada pasar kerja yang
disyaratkan dunia industri. Dari total 125,44 juta angkatan kerja yang ada di
Indonesia, hanya 12,24% yang berpendidikan setara perguruan tinggi. Sisanya
sebanyak 27,52% angkatan kerja dengan latar belakang pendidikan setara SMA.
Untuk
mengisi kebutuhan tenaga kerja yang profesional dan sesuai dengan kebutuhan
sektor industri inilah, yang terjadi kemudian adalah mulai membanjirnya TKA
dari luar yang memang lebih berkualitas. Ketiga, implikasi dari sikap
pengusaha dan kalangan dunia usaha yang cenderung ingin menekan upah
sekecil-kecilnya, dan sekaligus ketidakinginan mereka direcoki aksi-aksi
unjuk rasa kaum buruh lokal. Sejumlah perusahaan yang berhasil dibongkar
mempekerjakan TKA ilegal diketahui mereka ternyata membayar upah pekerja
asing tidak beda dengan upah tenaga kerja lokal. Padahal, dari semangat kerja
dan kepatuhan, TKA-TKA yang ada itu relatif lebih menguntungkan pihak
pengusaha.
Upaya Mengatasi
Bagi
masyarakat Indonesia, fenomena masuknya TKA ilegal ke berbagai wilayah dan
lapangan kerja yang ada di Tanah Air jelas merugikan. Selain mengurangi
kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal, masuknya arus TKA yang berlebih
jelas juga akan menyebabkan upaya peningkatan kesejahteraan dan pemberantasan
kemiskinan menjadi terganggu— di samping persoalan pengangguran yang juga
akan makin krusial.
Tidak
mustahil, akibat serbuan TKA ilegal, sebagian tenaga kerja yang ada akan
tumbuh menjadi pengangguran putus asa( discourage unemployment) yang sulit
ditangani. Pengangguran putus asa ini biasanya akan muncul dan menyebar di
berbagai wilayah sebagai akibat dari faktor demandforlabor dan supply for
labor yang kurang seimbang.
Di
berbagai daerah, ketika lapangan kerja yang tersedia cenderung lebih
ditawarkan untuk tenaga kerja yang profesional, jangan heran jika penduduk
lokal maksimal hanya mampu menjadi tenaga keamanan, dan itu pun jumlahnya
niscaya sangat terbatas. Bagi tenaga kerja lokal yang telah berkali-kali
melamar kerja dan kemudian gagal, cepat atau lambat mereka cenderung tumbuh
menjadi pengangguran putus asa yang makin hari makin minder bersaing dengan
tenaga kerja lain.
Untuk
mengatasi agar serbuan TKA ilegal ke Indonesia tidak merampas hak dan kesempatan
tenaga kerja lokal, selain dibutuhkan ketegasan sikap pemerintah melakukan
razia dan memberi sanksi perusahaan yang melanggar ketentuan, yang tak kalah
penting juga bagaimana pemerintah tetap berusaha mendorong pengembangan dan
pertumbuhan kesempatan kerja baru bagi para pencari kerja atau pengangguran,
baik lewat programprogram pembangunan di daerah maupun multiplier effect dari
kegiatan investasi swasta yang ramah dan sesuai dengan profil tenaga kerja
lokal.
Di
luar penciptaan kesempatan kerja, upaya lain yang juga perlu dikembangkan
pemerintah adalah bagaimana terus berusaha memfasilitasi pengembangan usaha
mandiri masyarakat, terutama di sektor industri kecil, sektor informal, dan
sektor perdagangan tradisional sebagai alternatif kesempatan berusaha di luar
sektor perekonomian firma. Dalam kondisi di mana daya beli masyarakat
cenderung menurun dan iklim investasi tak juga membaik, mendorong angkatan
kerja yang ada untuk bekerja secara mandiri adalah pilihan yang realistis
untuk dikembangkan.
Cuma,
yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana memastikan syakwasangka
kepada masyarakat kecil yang selalu dinilai tidak memiliki etos kerja keras,
boros, dan tidak bisa dipercaya dapat terhapuskan sehingga kesempatan dan
peluang tenaga kerja lokal untuk mengembangkan usaha mandiri dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar