2017
Sebagai Tahun Keberhasilan
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN SINDO, 13 Januari
2017
Cukup
beragam peristiwa yang terjadi pada 2016 yang patut dicermati, baik pada
bidang hukum, demokrasi, maupun ekonomi rakyat. Pada bidang hukum misalnya perilaku korup
masih sangat memprihatinkan. Pejabat negara, anggota legislatif, dan kepala
daerah terus bertumbangan karena kasus korupsi. Ada yang memperdagangkan
jabatan dengan imbalan uang suap dari kalangan swasta untuk menggolkan proyek
APBN dan APBD.
Mereka
tertangkap tangan saat menerima suap, termasuk menjadikan izin pertambangan
dan perizinan lain sebagai bancakan untuk kepentingan sendiri dan
kelompoknya. Pejabat yang ditangkap KPK tentu saja sangat memalukan. Khusus
kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) yang paling sering kena jaring
operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Jelang tutup pada 2016, lagi-lagi KPK
menangkap tangan Bupati Klaten Sri Hartini.
Berdasarkan
catatan KPK, sejak pemilihan kepala daerah langsung pada 2005 sampai tutup
2016 sudah 368 kepala daerah yang diproses hukum karena kasus korupsi.
Tindakan tegas kepolisian, kejaksaan, dan KPK belum mampu menimbulkan rasa
takut untuk tidak mewujudkan niatnya melakukan korupsi. Sepertinya mereka
menganut ”prinsip untung-untungan”, siapa yang kebetulan celaka akan kena
OTT.
Pungutan
liar juga terus merebak, padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/ 2016 tentang satuan Tugas
Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) dan sudah banyak yang
ditangkap. Keniscayaan memerangi pungli sebagai salah satu penyakit kronis
birokrasi lantaran meresahkan warga masyarakat saat mengurus. Hampir setiap
pengurusan izin selalu ada pungutan di luar yang ditentukan.
Mulai
dari pembuatan KTP, SKCK, STNK, SIM, BPKB, izin bongkar muat barang di
pelabuhan, sampai pada perizinan usaha di berbagai kementerian dan
pemerintahan daerah. Memperluas objek penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
untuk pengurusan STNK kendaraan bermotor melalui PP Nomor 60/2016 yang saat
ini dikeluhkan publik, selain menambah penghasilan negara dan memperbaiki
pelayanan, juga diharapkan menekan pungli.
Pungli
merupakan salah satu bentuk korupsi selain perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara, suap, dan
gratifikasi. Pungli memiliki ”unsur pemaksaan” yang dapat dijerat Pasal 12
huruf-e UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).
Jika
pun nilai pungli kecil, tetap dapat dipidana sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 12A ayat (2) UU Korupsi bahwa korupsi (suap dan pungli) yang nilainya
kurang dari Rp5 juta dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp50 juta.
Optimisme Baru
Bukan
hanya itu, pada 2016 juga ditandai dengan memanasnya suhu perpolitikan
menjelang pilkada serentak gelombang kedua Februari 2016. Yang paling
mendapat perhatian publik adalah pemilihan gubernur Jakarta. Begitu pula di
bidang ekonomi, para pengamat ekonomi menyebut sedikit mengalami perlambatan
lantaran penyerapan anggaran belum dipenuhi sesuai perencanaan. Sangat wajar
Presiden Jokowi mewanti-wanti agar penyerapan anggaran tidak seperti pada
2015 yang tidak mencapai target.
Kita
ingin pemerintah dan rakyat menggelorakan ”optimisme baru” memasuki 2017.
Setidaknya ada tiga kepercayaan dan optimisme baru pada 2017 yang perlu
digelorakan dan dilaksanakan secara konsisten.
Pertama,
optimistis memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime).
Salah
satu langkah luar biasa memerangi korupsi yang dimulai dari pencegahan adalah
menguatkan kewenangan KPK menerapkan ”pembuktian terbalik”. Itu dilakukan
terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan aparat hukum
yang dilaporkan ke KPK sebelum dilantik. Setiap tahun harta mereka dievaluasi
peningkatannya.
Apabila
ada peningkatan harta kekayaan secara signifikan, KPK diberi kewenangan untuk
meminta dibuktikan dari mana diperoleh penambahan harta yang tidak sesuai
dengan penghasilannya. Kalau tidak mampu dibuktikan keabsahan dari mana
diperoleh, disita untuk negara. Tetapi, penerapan pembuktian terbalik
terhadap LHKPN masih pada tahap pencegahan. Kecuali ditemukan bukti kuat
perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan, barulah diproses dan
dibuktikan di pengadilan.
Kedua,
optimistis melaksanakan pilkada serentak secara demokratis sesuai UU Nomor
10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Calon
kepala daerah yang diduga melakukan korupsi tidak boleh ditunda proses
hukumnya setelah pelaksanaan pilkada dengan alasan jangan sampai dituding ada
kepentingan politis. Menunda proses hukum justru sudah masuk ranah politisasi
sebab tidak ada kaitan antara penegakan hukum dan proses politik, keduanya
bisa berjalan seiring. Malah tambah rumit jika nanti setelah pilkada dan
calon bersangkutan terpilih barulah diproses hukum.
Ketiga,
optimistis membangun perekonomian dengan fokus meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan mengurangi pengangguran.
Infrastruktur
yang dibangun melalui Instruksi Presiden Nomor 1/ 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, seyogianya mengikutkan rakyat kalangan
bawah. Rakyat Indonesia diberi prioritas dipekerjakan dalam proyek tersebut,
bukan tenaga buruh asing dari China seperti yang diributkan. Di situ peluang
pemerintah memenuhi janjinya untuk menekan pengangguran dan kemiskinan.
Isu-isu
tenaga kerja China yang sensitif haruslah dikelola dengan baik agar tidak
makin liar dan menimbulkan keresahan publik. Tidak sertamerta lebih fokus
mengusut siapa yang memberitakan karena bisa dituding hanya menjaga dan
mengukuhkan kekuasaan. Sebaiknya pemerintah menelusuri berita itu, apakah
betul atau tidak. Dari sanalah baru dilakukan tindakan jika berita itu
betul-betul hoax.
Media Sosial
Semua
persoalan selama 2016 harus diwaspadai agar tidak berulang. Fenomena media
sosial (medsos) yang cenderung membius warga masyarakat dengan berbagai
risiko negatifnya diperkirakan akan semakin marak. Maka itu, hasil revisi UU
Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa
menjadi instrumen untuk menata penggunaan medsos. Bukan justru membungkam
sikap kritis publik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat.
Kita
tidak ingin kritikan yang disertai solusi di medsos ataupun di media cetak
begitu gampang digiring ke proses hukum. Kesadaran bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan harga yang mahal jika dinodai oleh kepentingan tertentu. Itu bisa
menjadi pemicu perpecahan dengan saling menafikan keberadaan suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pemerintah
tidak boleh terbuai oleh hasil survei tentang kepuasan rakyat terhadap
kinerja pemerintah. Harus berani melihat fakta di lapangan bahwa hal tersebut
belum sepenuhnya terlaksana sebab realitasnya masih terlalu banyak
pengangguran, kemiskinan, dan perilaku korup yang dilakukan oleh pejabat
negara. Masih banyak janji-janji kampanye Presiden Jokowi-JK yang belum
terlaksana. Maka itu, harus optimistis bahwa dua tahun lebih sisa
pemerintahan sampai Oktober 2019 akan menjadi ukuran keberhasilan. Rakyat
selaku pemilik kedaulatan yang akan menilainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar