Sabtu, 14 Januari 2017

2017 Sebagai Tahun Keberhasilan

2017 Sebagai Tahun Keberhasilan
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
                                                KORAN SINDO, 13 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cukup beragam peristiwa yang terjadi pada 2016 yang patut dicermati, baik pada bidang hukum, demokrasi, maupun ekonomi rakyat.  Pada bidang hukum misalnya perilaku korup masih sangat memprihatinkan. Pejabat negara, anggota legislatif, dan kepala daerah terus bertumbangan karena kasus korupsi. Ada yang memperdagangkan jabatan dengan imbalan uang suap dari kalangan swasta untuk menggolkan proyek APBN dan APBD.

Mereka tertangkap tangan saat menerima suap, termasuk menjadikan izin pertambangan dan perizinan lain sebagai bancakan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Pejabat yang ditangkap KPK tentu saja sangat memalukan. Khusus kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) yang paling sering kena jaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Jelang tutup pada 2016, lagi-lagi KPK menangkap tangan Bupati Klaten Sri Hartini.

Berdasarkan catatan KPK, sejak pemilihan kepala daerah langsung pada 2005 sampai tutup 2016 sudah 368 kepala daerah yang diproses hukum karena kasus korupsi. Tindakan tegas kepolisian, kejaksaan, dan KPK belum mampu menimbulkan rasa takut untuk tidak mewujudkan niatnya melakukan korupsi. Sepertinya mereka menganut ”prinsip untung-untungan”, siapa yang kebetulan celaka akan kena OTT.

Pungutan liar juga terus merebak, padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/ 2016 tentang satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) dan sudah banyak yang ditangkap. Keniscayaan memerangi pungli sebagai salah satu penyakit kronis birokrasi lantaran meresahkan warga masyarakat saat mengurus. Hampir setiap pengurusan izin selalu ada pungutan di luar yang ditentukan.

Mulai dari pembuatan KTP, SKCK, STNK, SIM, BPKB, izin bongkar muat barang di pelabuhan, sampai pada perizinan usaha di berbagai kementerian dan pemerintahan daerah. Memperluas objek penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk pengurusan STNK kendaraan bermotor melalui PP Nomor 60/2016 yang saat ini dikeluhkan publik, selain menambah penghasilan negara dan memperbaiki pelayanan, juga diharapkan menekan pungli.

Pungli merupakan salah satu bentuk korupsi selain perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara, suap, dan gratifikasi. Pungli memiliki ”unsur pemaksaan” yang dapat dijerat Pasal 12 huruf-e UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

Jika pun nilai pungli kecil, tetap dapat dipidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12A ayat (2) UU Korupsi bahwa korupsi (suap dan pungli) yang nilainya kurang dari Rp5 juta dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp50 juta.

Optimisme Baru

Bukan hanya itu, pada 2016 juga ditandai dengan memanasnya suhu perpolitikan menjelang pilkada serentak gelombang kedua Februari 2016. Yang paling mendapat perhatian publik adalah pemilihan gubernur Jakarta. Begitu pula di bidang ekonomi, para pengamat ekonomi menyebut sedikit mengalami perlambatan lantaran penyerapan anggaran belum dipenuhi sesuai perencanaan. Sangat wajar Presiden Jokowi mewanti-wanti agar penyerapan anggaran tidak seperti pada 2015 yang tidak mencapai target.

Kita ingin pemerintah dan rakyat menggelorakan ”optimisme baru” memasuki 2017. Setidaknya ada tiga kepercayaan dan optimisme baru pada 2017 yang perlu digelorakan dan dilaksanakan secara konsisten.

Pertama, optimistis memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Salah satu langkah luar biasa memerangi korupsi yang dimulai dari pencegahan adalah menguatkan kewenangan KPK menerapkan ”pembuktian terbalik”. Itu dilakukan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan aparat hukum yang dilaporkan ke KPK sebelum dilantik. Setiap tahun harta mereka dievaluasi peningkatannya.

Apabila ada peningkatan harta kekayaan secara signifikan, KPK diberi kewenangan untuk meminta dibuktikan dari mana diperoleh penambahan harta yang tidak sesuai dengan penghasilannya. Kalau tidak mampu dibuktikan keabsahan dari mana diperoleh, disita untuk negara. Tetapi, penerapan pembuktian terbalik terhadap LHKPN masih pada tahap pencegahan. Kecuali ditemukan bukti kuat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan, barulah diproses dan dibuktikan di pengadilan.

Kedua, optimistis melaksanakan pilkada serentak secara demokratis sesuai UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Calon kepala daerah yang diduga melakukan korupsi tidak boleh ditunda proses hukumnya setelah pelaksanaan pilkada dengan alasan jangan sampai dituding ada kepentingan politis. Menunda proses hukum justru sudah masuk ranah politisasi sebab tidak ada kaitan antara penegakan hukum dan proses politik, keduanya bisa berjalan seiring. Malah tambah rumit jika nanti setelah pilkada dan calon bersangkutan terpilih barulah diproses hukum.

Ketiga, optimistis membangun perekonomian dengan fokus meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi pengangguran.

Infrastruktur yang dibangun melalui Instruksi Presiden Nomor 1/ 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, seyogianya mengikutkan rakyat kalangan bawah. Rakyat Indonesia diberi prioritas dipekerjakan dalam proyek tersebut, bukan tenaga buruh asing dari China seperti yang diributkan. Di situ peluang pemerintah memenuhi janjinya untuk menekan pengangguran dan kemiskinan.

Isu-isu tenaga kerja China yang sensitif haruslah dikelola dengan baik agar tidak makin liar dan menimbulkan keresahan publik. Tidak sertamerta lebih fokus mengusut siapa yang memberitakan karena bisa dituding hanya menjaga dan mengukuhkan kekuasaan. Sebaiknya pemerintah menelusuri berita itu, apakah betul atau tidak. Dari sanalah baru dilakukan tindakan jika berita itu betul-betul hoax.

Media Sosial

Semua persoalan selama 2016 harus diwaspadai agar tidak berulang. Fenomena media sosial (medsos) yang cenderung membius warga masyarakat dengan berbagai risiko negatifnya diperkirakan akan semakin marak. Maka itu, hasil revisi UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa menjadi instrumen untuk menata penggunaan medsos. Bukan justru membungkam sikap kritis publik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat.

Kita tidak ingin kritikan yang disertai solusi di medsos ataupun di media cetak begitu gampang digiring ke proses hukum. Kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga yang mahal jika dinodai oleh kepentingan tertentu. Itu bisa menjadi pemicu perpecahan dengan saling menafikan keberadaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pemerintah tidak boleh terbuai oleh hasil survei tentang kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Harus berani melihat fakta di lapangan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya terlaksana sebab realitasnya masih terlalu banyak pengangguran, kemiskinan, dan perilaku korup yang dilakukan oleh pejabat negara. Masih banyak janji-janji kampanye Presiden Jokowi-JK yang belum terlaksana. Maka itu, harus optimistis bahwa dua tahun lebih sisa pemerintahan sampai Oktober 2019 akan menjadi ukuran keberhasilan. Rakyat selaku pemilik kedaulatan yang akan menilainya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar