Debat
Kandidat Dalam Demokrasi Elektoral
Muhamad Tri Andika ; Direktur Eksekutif Institute for Policy
Studies (IPS);
Kepala Departemen Ilmu Politik
Universitas Bakrie
|
KORAN SINDO, 11 Januari
2017
Hanya
dalam hitungan minggu, masa kampanye Pilkada DKI Jakarta segera berakhir.
Debat kandidat yang akan disiarkan secara langsung oleh beberapa televisi
nasional menjadi puncak dari rangkaian kampanye.
Namun,
pertanyaannya, seberapa penting drama debat kandidat, sebagai klimaks
rangkaian aktivitas kampanye, akan memberikan dampak bagi tingkat elektoral
kandidat? Artikel ini tidak hendak memberikan gambaran pengaruh antara debat
kandidat terhadap cagub-cawagub yang akan unggul pascadebat, namun lebih pada
menguraikan seberapa besar tren pengaruh acara debat kandidat terhadap
tingkat elektabilitas dalam demokrasi elektoral.
Dalam
demokrasi elektoral, debat kandidat adalah momen yang sangat penting.
Terlebih pada era di mana perkembangan media sudah sangat mapan. Ditambah
dengan faktor karakter masyarakat Jakarta, sebagai masyarakat kota, yang juga
semakin kritis. Dorongan publik untuk melihat kompetisi terbuka antar
kandidat cagub dan cawagub dalam beradu wacana dan gagasan tentu semakin
besar pula. Debat cagub dan cawagub DKI Jakarta menjadi wahana bagi para
pemilih untuk menilai secara transparan kapasitas dari tiap calon yang
berkompetisi.
Secara
umum pandangan masyarakat memersepsikan bahwa acara debat memiliki pengaruh
signifikan terhadap hasil kompetisi elektoral. Jika kita lihat data survei,
60%-70% masyarakat menganggap acara debat kandidat penting (Indikator, 2014).
Bahkan, berkembang keyakinan bahwa kandidat yang mampu tampil prima dan
”memenangkan” debat diyakini akan keluar menjadi pemenang sesungguhnya.
Jika
ekspektasi publik sedemikian besar terhadap acara debat kandidat, bagaimana
sebenarnya pengaruh acara debat terhadap hasil elektoral nanti? Apakah
”pemenang” dalam debat selalu keluar menjadi ”pemenang” elektoral? Merujuk
pada ragam studi yang pernah dilakukan, sayangnya pandangan tersebut kurang
memiliki dukungan data yang memadai.
Pada
beberapa studi yang mengkaji perihal pengaruh debat kandidat dalam proses
elektoral, hampir sebagian besar sampai pada kesimpulan bahwa acara debat di
televisi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan pemilih (Holbrok
1996, Jarman 2005). Begitu pun dengan mayoritas pemilih yang menyaksikan
acara debat, sebagian besar tidak akan mengubah pilihannya
(McKinney&Warner 2013).
Dalam
satu studi komprehensif yang pernah dilakukan Robert Erikson dan Chritoper
Wlezien, yang merekam pilpres di AS sejak 1952 hingga 2008, juga menghasilkan
kesimpulan yang kurang lebih sama. Dengan pengecualian debat Pilpres AS 1976,
di mana Ford dinilai menyatakan pernyataan yang blunder, yang kemudian berujung
pada kekalahannya, studi tersebut menunjukkan bahwa tren posisi elektoral
kandidat sebelum dan sesudah acara debat berlangsung relatif tidak mengalami
perubahan berarti.
Dalam
ungkapannya, Wlezein menyatakan bahwa evidence of debate effect is ”fragile”.
Tren tersebut juga ditangkap dalam temuan survei yang dilakukanLembaga Survei
Indonesia pada Pemilu Presiden 2009. Debat calon presiden dan wakil presiden
dalam Pilpres 2009 tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
elektabilitas pasangan calon. Begitu pun dalam Pilpres 2014.
Jajak
pendapat lembaga Indikator Politik Indonesia juga menyimpulkan bahwa sejumlah
responden tetap berada pada kandidat pilihannya meski mereka mengakui
kandidat lawan unggul dalam proses debat. Dengan begitu, secara scientific
tidak ditemukan pengaruh efek yang sangat kuat dari acara debat yang
disiarkan melalui televisi, dengan posisi akhir elektoral. Apalagi, sampai
mengharapkan acara debat kandidat untuk menjadi variabel game changer, yang
mampu memberikan efek dramatis terhadap hasil akhir elektoral.
Dua Faktor Utama
Lantas,
apa yang membuat acara debat kandidat tidak berpengaruh signifikan terhadap
hasil elektoral? Secara umum, terdapat dua argumen utama yang mendasari
kesimpulan tersebut. Pertama, publik yang menyaksikan acara debat kebanyakan
adalah mereka yang telah menentukan pilihan siapa calon yang didukung.
Situasi ini mendorong pada kemunculan faktor yang kedua.
Yaitu,
dikarenakan sudah menentukan pilihan kandidat, audience yang menyaksikan
acara debat cenderung memperkuat pandangan calonnya dan menegasikan setiap
argumen yang berseberangan dengan pendapat calon yang didukungnya. Sehingga,
tidak terjadi proses evaluasi objektif terhadap wacana dan gagasan selama
proses debat kandidat berlangsung.
Dalam
konteks tersebut, acara debat lebih sebagai instrumen untuk mengonfirmasi
pilihan dari pemilih yang sudah mempunyai pilihan. Tidak memiliki pengaruh
signifikan dalam memobilisasi pemilih yang belum menentukan pilihan. Apalagi,
untuk meningkatkan secara drastis perolehan suara pada hari pencoblosan.
Normative Outcome
Meskipun
acara debat tidak memiliki pengaruh signifikan bagi perubahan posisi
elektoral kandidat, debat kandidat tetap memiliki fungsi yang sangat
strategis. Terutama dalam menjamin pelaksanaan demokrasi elektoral yang
berkualitas. Ada empat efek strategis bagi demokrasi, yang dihasilkan oleh
acara debat kandidat (Michael Pfau, 2003).
Yaitu,
meningkatkan pendidikan politik masyarakat, mendorong peningkatan voters
turnoutmeski dalam skala yang tidak signifikan, memberikan peningkatan
jaminan keakuratan informasi dari para kandidat kepada publik, serta
mereduksi sentimen negatif politik antarkandidat dan pendukung. Empat efek
tersebut merupakan normative democratic
outcomes dari pelaksanaan debat kandidat. Sehingga, meski sulit untuk
dikuantifikasikan dan diprediksi akan memberikan efek elektoral yang tidak
begitu signifikan, keberlangsungan acara debat cagub dan cawagub DKI Jakarta
tetap memiliki fungsi strategis dalam menyuburkan democratic value di tengah
masyarakat Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar