Menyikapi
Era Defisit Kebenaran
Fathorrahman Ghufron ; Dosen
Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta Periode
2011-2016
|
KOMPAS, 06 Januari
2017
Dalam
rapat terbatas yang dihadiri sejumlah menteri dan jajaran lain, 29 Desember
2016, Presiden Joko Widodo mengungkapkan keprihatinan mendalam atas maraknya
berita bohong (hoax), fitnah,
kebencian, dan rasa permusuhan di berbagai media sosial. Untuk itu, Presiden
mengimbau perlunya gerakan masif untuk melakukan literasi, edukasi, dan
menjaga etika serta keadaban bermedia sosial.
Apa
yang dirasakan Presiden sesungguhnya mewakili perasaan miris banyak pihak
yang masih memiliki nurani luhur dan akal sehat. Betapa tidak, banyak dari
pengguna media sosial—baik melalui kanal seperti Whatsapp (WA), Twitter, dan
Facebook— yang sering kali tak hanya mem-posting informasi faktual, tetapi
lebih banyak mengarah pada peneguhan klaim kebenaran sepihak dan disertai
sikap menuduh pihak lain adalah salah.
Dari
sekian informasi yang diposting, tujuannya memengaruhi opini publik dan upaya
memaksakan kehendak agar informasi itu bisa terbaca banyak orang. Bahkan,
secara meyakinkan, penebar informasi itu menggunakan nukilan ayat kitab suci,
pandangan tokoh agama, masyarakat, ataupun adagium lain sebagai modus bahwa
siapa pun yang membagi kembali informasi ini akan memperoleh pahala. Tak
sedikit pula yang membawa nama Tuhan untuk merepresentasikan bahwa
tindakannya adalah yang paling diberkati.
Implikasi
atas pengaruh opini yang tiada henti, yang digiring agar masuk ke wilayah
arus keinginan dan kepentingannya, banyak pihak yang menjadi buzzer media
sosial. Mereka menciptakan gelombang massa yang bisa meyakinkan banyak pihak
lain bahwa informasinya sudah diamini dan disukai ribuan dan jutaan orang.
Pada titik ini, informasi yang muaranya untuk mengaduk emosi massa mulai
merasuki benak setiap orang dan mulai meyakini bahwa informasi itu memiliki
kebenaran.
Setidaknya,
beberapa penelitian tentang sejumlah informasi yang diterima dari media
sosial, terutama dari saluran WA, memberikan bukti, banyak pengguna media
sosial yang mulai bersedia men-copy paste sebuah informasi yang diterima dan
membagikannya ke grup WA lain. Terutama informasi yang berkaitan dengan isu
agama dan pranata lain yang melingkupinya. Dengan sangat mudah isu-isu ini
dikonstruksi sebagai cara pencitraan untuk meneguhkan bahwa hanya ajaran
dirinyalah yang paling benar, sementara ajaran pihak lain dianggap salah.
Pada
titik ini, masyarakat mulai masuk ke dalam jebakan dunia maya yang nuansa
kecenderungannya lebih banyak mendorong orang untuk menyebarkan
informasi-informasi negatif. Tujuannya, baik untuk mengapitalisasi ruang
komunikasi dunia maya maupun membangun media retoris—meminjam istilah Roland
Barthes, sesungguhnya jauh dari keadaban publik.
Secara
sosiologis, merujuk pada pandangan Robin William, ”Social Construction and
The New Technologies of Reproduction” (dalam Irving Velody, The Politics of
Constructionism), gejala ini mendedahkan sebuah konstruksi sosial di mana
teknologi dimanfaatkan hanya untuk memuaskan keinginan dirinya, termasuk
mengonstruksi kebohongan sebagai pesan kebenaran yang penuh dengan banalitas.
”Post truth”
Dalam
kaitan ini, ketika kebenaran mengalami defisit dan yang menyumbul di
antaranya representasi kesepihakan secara egoistik dalam menebar pesan- pesan
yang disertai kebencian, pada titik ini kita tersekap dalam sebuah masa
ketika kebenaran adalah kebatilan yang diamini sebagai ajaran. Dalam wacana
kontemporer, tindakan ini masuk dalam kategori post truth, yaitu sebuah masa
yang banyak mengabaikan etika berpendapat, mengedepankan berita hoax dan fitnah,
yang tujuannya mengaduk-aduk emosi massa dan meminggirkan kebenaran dalam
menyampaikan informasi ataupun gagasan.
Diksi
post truth yang mulai populer pada 2000-an ini digambarkan Ralph Keyes dalam
buku The Post-truth Era sebagai corak psikologis seseorang yang cenderung
menggiring kebenaran dengan selera yang diinginkan meskipun hal itu tak
mencerminkan sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Post truth digunakan sebagai
arah gagasan yang lepas dari jangkar asertifnya. Ia hanya mengakomodasi
kehendak masyarakat umum yang menggambarkan karakter penyuka kebohongan
sebagai sensasi ataupun tindakan.
Dengan
kata lain, jika cara pandang dan ciri berpikir masyarakat diselimuti semangat
antipati, pengetahuan apa pun yang ingin mengklarifikasi dan mengonfirmasi
sebuah informasi yang masuk dalam kehidupan mereka, maka selama itu pula
masyarakat akan menganggap pengetahuan itu tidak lebih sebagai niatan
konspirasi. Masyarakat mulai tidak percaya pada keluhuran pesan yang
berlandaskan pengetahuan secara obyektif dan empiris. Namun, mereka lebih
memercayai pesan-pesan picisan sebagai sumber untuk penyampaian informasi
secara berkelanjutan kepada pihak lain.
Maka,
ketika masyarakat telah merepresentasikan sebagai penyuka berita hoax dan
penggiringan defisit kebenaran, tidak mustahil ruang gerak kehidupannya akan
diselimuti permusuhan. Bahkan, dalam banyak hal, berita hoax dimanfaatkan
sebagai pendulang pendapatan yang lamat- lamat menggerus moralitas
keberadaban kita sebagai bangsa.
Apalagi
post truth yang habitus pergerakannya lebih banyak di ruang maya, yang secara
langsung bisa berhadapan dengan setiap orang dari berbagai lapisan. Indonesia
adalah salah satu negara—berdasarkan data yang disampaikan pemerintah—yang
penggunaan internetnya digandrungi oleh 132 juta jiwa, dengan tingkat
penetrasi penggunaannya hampir mencapai 52 persen jumlah penduduk Indonesia.
Dari jumlah itu, ada 129 juta yang memiliki akun media sosial aktif, serta
penggunaan internet penduduk Indonesia melalui telepon seluler rata-rata
menghabiskan tiga setengah jam per hari.
Melalui
jalur ini, tak mustahil post truth akan menjadi ancaman global yang bisa
merusak tatanan kehidupan kita. Post truth yang ciri sosialnya mengonstruksi
kebohongan dan fitnah bisa jadi akan menjadi instrumen genosida masa kini.
Hulunya memang dari dunia maya, tetapi tak menutup kemungkinan akan berhilir
ke dunia nyata.
Nalar kritis
Menyikapi
era yang serba tunggang-langgang, yang diselimuti post truth, maka kita harus
memiliki nalar kritis dalam menyikapi berbagai hal yang hadir dalam ruang
baca kita. Terutama di media sosial, yang saat ini sudah dianggap sebagai
media paling utama dalam mengakses berbagai informasi.
Secara
sosiologis, nalar kritis ini berkaitan dengan proses debunking, yang dalam
pandangan Michael P Soroka—dalam buku Sociology:
Cultural Diversity in A Changing World—merupakan pengamatan lebih
terhadap level realitas daripada interpretasi baku masyarakat dalam kehidupan
sehari-harinya. Dengan kata lain, proses debunking
mengarahkan kita untuk berpikir kritis dan analitis dan tak serta-merta
menerima informasi yang sampai kepada kita secara apa adanya. Sebaliknya,
kita harus menelaahnya secara obyektif dan empiris agar kita bisa membedakan
mana informasi yang mengajak kita pada kebaikan bersama dan mana informasi
yang sekadar mencari sensasi ataupun bertujuan mengaduk emosi orang.
Dalam
kaitan ini, proses debunking—menghilangkan
prasangka—memberikan kita kecerdasan analisis sosial untuk menginterpretasi
realitas sosial yang setiap waktu mengalami perubahan. Melalui cara ini, kita
bisa memfilter sedini mungkin setiap gejala dan informasi yang coba
memengaruhi pandangan kita.
Dengan
demikian, ketika post truth—kebatilan yang sudah diamini sebagai sebuah
kebenaran —sudah menjadi salah satu risiko teknologi yang hadir dalam
ruang-ruang maya begitu saja, kita harus membekali mentalitas untuk
membongkar prasangka-prasangka agar semangat hasut dan kebencian yang selama ini
semarak di ruang maya tidak menjalar ke dunia nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar