Merentang
Takdir Pemilu
Idil Akbar ; Dosen FISIP Unpad;
Peneliti di Pusat Studi Politik
dan Keamanan Unpad
|
KORAN SINDO, 14 Januari
2017
Sejatinya
pemilu merupakan rangkaian empiris dari partisipasi politik publik secara
lebih luas. Sejatinya pula pemilu menjadi penanda penting apakah sebuah
negara sudah mampu dijalankan secara demokratis atau tidak.
Pemilu
adalah takdir penentu bagi institusionalisasi hak-hak rakyat secara
konstitusional. Bahwa pemilu adalah bagian dari dinamika politik berorientasi
kekuasaan, halter sebut tidak lantas menjadikan pemilu hanya menjadi alat
demi mencapai kekuasaan. Karena itu, meski secara praksis pemilu menjadi
jalan bagi siapa pun dan kelompok politik manapun berkuasa, tetapi secara
prinsip implementatif pemilu membutuhkan reorientasi, secara struktural
maupun fungsional.
Perlu
kiranya mengingat lagi soal indikator-indikator demokrasi strategis dalam sebuah
sistem pemerintahan, yang menurut Prof Affan Gaffar (2004: 7-9) ada lima:
akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik, pemilu dan pemenuhan
hak-hak dasar. Terlihat jelas bahwa pemilu merupakan salah satu indikator
penting dalam sebuah sistem yang demokratis. Sebagai indikator, pemilu
mestinya menjadi sarana konsensus bagi semua pihak, terutama rakyat sebagai
subjek politik.
Bisa
dibayangkan, alangkah ngerinya jika pemilu hanya diorientasikan sepihak, oleh
kelompok politik tertentu, yang ingin memperbesar pengaruh dan memperpanjang
usia kekuasaan. Pada dasarnya kebutuhan reorientasi prinsip-prinsip dalam
pemilu ini dilandasi keinginan dan harapan mendapatkan sistem pemilu yang
lebih baik, melibatkan seluruh unsur masyarakat, menjaga keadilan sosial, dan
mendapatkan hasil yang optimal dan berintegritas.
Korespondensi
ini sebetulnya menjawab pertanyaan penting, apakah pemilu yang sudah dan akan
berjalan nantinya mampu menjamin kelanggengan demokrasi dengan segala prinsip
yang menyertainya. Secara struktural, kinerja pemerintahan menjadi indikasi
krusial di mana pemerintah secara kelembagaan harus menunjukkan integrasi
yang menyeluruh bagaimana sistem pemilu dilaksanakan.
Dengan
kata lain, prinsip akuntabilitas adalah sebuah keniscayaan institusional,
yang termasuk di dalamnya adalah pertanggungjawaban akan jabatan yang
dikuasakan. Pemerintah semestinya terbuka dengan situasi dan idealisme
politik yang diharapkan, lalu bersosialisasi cukup intens untuk mencegah
su’uzhan politik oleh publik. Sayangnya, proses ini cenderung diabaikan.
Hal
ini terlihat jelas dengan pengajuan RUU Pemilu 2019 yang dirasakan ”mendadak”
dan harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Padahal, terdapat
cukup banyak ketentuan krusial di dalamnya yang membutuhkan perdebatan
akademis. Bahwa pemilu kemudian disinyalir akan menjadi alat bancakan elite
politik pada akhirnya juga tak bisa dihindari akibat transparansi yang
rendah.
Secara
fungsional pun logika reorientasi perlu mengarah pada perbaikan substansial,
terutama menjaga marwah pemilu sebagai sarana berdemokrasi rakyat semesta
Indonesia. Titik tekannya adalah bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang
sama dalam politik dan karenanya rakyat diberi pilihan yang integral terkait
mereka, personal maupun lembaga politik, yang memang layak untuk dipilih
dalam pemilu. Sebagaimana Affan Gaffar memaknai demokrasi dengan
indikatorindikator yang ada, reorientasi prinsip-prinsip dalam pemilu mutlak
diperlukan.
Pertama,
terkait rotasi kekuasaan yang harus terlaksana secara benar dan
konstitusional.
Pemilu
karenanya harus menjamin bahwa kekuasaan bukan milik segelintir elite dan
kelompok politik tertentu. Pemilu juga menjamin perputaran kekuasaan
berlangsung secara demokratis, natural dan tanpa trik-trik politik yang sangat
vulgar mendegradasi pengaruh lawan politik. Sayangnya, kondisi dan situasi
ini juga cenderung abai dilaksanakan pemerintah.
Dalam
RUU Pemilu, pemerintah , misalnya, mengajukan bahwa bakal calon presiden
diajukan oleh 20% kursi atau 25% suara berdasarkan perolehan suara pada
pemilu sebelumnya. Jika ini berlaku maka hanya parpol pemenang Pemilu 2014
yang berhak mengajukan calon presiden. Hal ini sudah memperlihatkan adanya
upaya mengangkangi prinsip demokrasi yang mensyaratkan adanya rotasi
kekuasaan.
Parpol
baru atau parpol yang tidak mendapat kursi di parlemen pada Pemilu 2014
dipaksa untuk bergabung dengan parpol peraih kursi parlemen. Lebih jauh
rakyat juga dipaksa untuk menerima calon yang diajukan parpol pemenang Pemilu
2014, tanpa bisa memilih calon alternatif lain. Selain itu, pemerintah
mengajukan sebuah metode baru dalam konversi suara menjadi kursi, yakni
dengan metode Saintlague Modifikasi. Metode ini menggunakan perhitungan 1,4 ,
3, 5, 7 sebagai nilai pembagi.
Jika
perhitungan ini diberlakukan dengan mengacu pada perolehan suara parpol di
Pemilu 2014, maka dipastikan akan memberi keuntungan signifikan pada parpol
besar. Di lain pihak, parpol dengan perolehan suara kecil akan semakin
sedikit perolehan kursinya, dan menutup peluang bagi parpol baru untuk bisa
masuk dan memperoleh kursi di DPR.
Kedua,
terkait rekrutmen politik yang terbuka.
Terbuka
dalam arti tak hanya setiap orang bisa secara aktif terlibat masuk menjadi
anggota parpol tertentu. Tetapi juga adalah bagaimana parpol bisa menempatkan
calon anggota legislatif yang lebih terbuka, berkeadilan dan menjadi pilihan
publik. Dengan kata lain, parpol harus lah membuka ruang keterpilihan yang
sama bagi setiap anggota yang berusaha menjadi wakil rakyat. Kecenderungan
sayangnya tidak demikian.
Ada
upaya untuk menjadikan parpol sebagai pihak yang paling berhak menentukan
siapa yang akan menjadi wakil rakyat, dan bukan ditentukan langsung oleh
rakyat. Pemerintah mengajukan sistem pemilu yakni proporsional terbuka
terbatas. Dalam sistem ini rakyat tetap bisa melihat siapa saja calon yang
diusung. Namun, rakyat tidak bisa memilih calon tersebut secara langsung,
sebab pemilih hanya boleh mencoblos nomor urut atau gambar parpol saja.
Sementara
calon akan disusun berdasarkan nomor urut. Dalam keadaan ini rakyat kembali
dihadapkan pada kenyataan yang sama ketika pemilu berlangsung di era orde
baru, meski saat ini terdapat modifikasi sistem. Padahal prinsipnya sama
yakni menutup peluang calon yang lebih populer dan electable untuk bisa
terpilih sebagai anggota parlemen.
Lalu
buat apa ada keterbukaan calon jika mereka yang akan mendapat kesempatan
untuk menjadi wakil sudah ditentukan berdasarkan nomor urut? Dalam konteks
ini, sekali lagi, adalah sebuah tantangan berdemokrasi, terutama sejauh mana
pengejawantahan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi secara konsekuen
dijalankan. Ataukah hanya sebatas lip service untuk mengesankan bahwa pemilu
telah dijalankan dengan baik?
Diperlukan Perubahan
Tatanan
politik memang perlu dibuat untuk memastikan sistem berjalan dengan aman.
Tetapi, membuat tatanan politik yang hanya berkesesuaian dengan segelintir
kepentingan elite dan kelompok politik tertentu juga sangat tidak bijak.
Perlu pendewasaan politik yang paripurna, dan tak hanya sekedar memenuhi
hasrat kepentingan yang membabi buta. Termasuk perlu perubahan yang
signifikan untuk mengembalikan sistem pemilu yang lebih demokratis dan sesuai
dengan kepentingan rakyat.
Karenanya,
upaya yang dilakukan sekber kodifikasi pemilu misalnya dengan mengajukan
naskah akademik RUU Pemilu alternatif merupakan sebuah upaya untuk merentang
takdir pemilu yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya rakyat Indonesia.
Peran kelembagaan seperti ini perlu diperhitungkan agar mampu meredam nafsu
politik parpol yang kadang tak bisa ditahan. Secara sederhana, sistem pemilu
diorientasikan pada tiga tujuan utama.
Pertama,
sejauh mana bisa menjaga kompetisi politik secara sehat, berkeadilan dan
berkesinambungan.
Kedua,
sejauh mana mampu mendegradasi dari berbagai bentuk kecurangan pemilu dan
money politik.
Ketiga,
sejauh mana bisa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Ketiga
hal ini harus menjadi jiwa di dalam menyusun dan membentuk sistem pemilu yang
nantinya akan dijalankan. Maka dari itu, setiap proses yang berlangsung di
dalamnya haruslah mampu menunjukkan dinamika politik yang positif bagi rakyat
Indonesia. Karena itu sudah waktunya untuk kita merentang takdir pemilu yang
lebih demokratis, berkeadilan dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan
bangsa dan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar