Merenda
Persatuan dan Keadilan
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 10 Januari
2017
Keadilan
tidak bisa dipertukarkan dengan persatuan. Kita tidak bisa memperjuangkan
keadilan dengan mengorbankan persatuan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan
persatuan dengan mengorbankan keadilan. Keduanya ibarat sepasang sayap yang
harus bergerak serempak.
Kita
bisa belajar dari pengalaman negeri jiran Malaysia. Menyusul kerusuhan rasial
berdarah pada 13 Mei 1969, Pemerintah Malaysia segera meluncurkan kebijakan
Dasar Ekonomi Baru (The New Economic Policy); sebuah rekayasa affirmative
action dalam garis perbedaan rasial, dengan memberikan perlakuan istimewa
kepada kaum Melayu- Bumiputra. Dengan perlakuan khusus tersebut, diharapkan
kesenjangan sosial bisa diciutkan, yang pada gilirannya bisa mendorong
inklusi (kerukunan) sosial.
Setelah
hampir setengah abad berlalu, kesenjangan sosial di negeri itu memang lumayan
bisa diciutkan, tetapi inklusi sosial yang diharapkan tak kunjung datang.
Malahan, hubungan sosial antara komunitas Melayu dan Tionghoa di sana
cenderung kian terbelah. Bukan hanya itu saja, bentuk diskrepansi lain muncul
berupa kesenjangan yang makin lebar antara lapisan elite Melayu—sebagai
pemburu rente kebijakan tersebut—dan lapisan bawahnya.
Alhasil,
affirmative action sebagai ikhtiar mengatasi kesenjangan sosial memang bisa
dibenarkan. Menurut John Rawls, dalam rangka keadilan, setiap orang memang
harus diperlakukan setara (the principle of equal liberty). Apabila dengan
perlakuan setara itu justru melahirkan ketidakadilan lebih lebar, perlu
diberikan perlakuan khusus bagi kalangan termarjinalkan (the principle of
difference). Meski demikian, perlakuan khusus itu seyogianya tidak diletakkan
dalam kerangka perbedaan identitas etnis-keagamaan yang bisa mengoyak
persatuan, tetapi diberikan kepada siapa pun yang termiskinkan tanpa
membedakan asal-usul primordialnya.
Di
dalam kata ”adil” itu sendiri sesungguhnya sudah terkandung imperatif menjaga
persatuan. Berasal dari kata al-adl (adil), yang secara harfiah berarti
”lurus”, ”seimbang”, keadilan berarti memperlakukan setiap orang secara fair,
tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subyektif, perbedaan keturunan,
keagamaan, dan status sosial. Dalam Al Quran (Surat Al-Maidah, Ayat 8)
diingatkan, ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tak adil.
Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Tepatlah
kiranya apabila pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi
menggariskan misi (fungsi) negara untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam Pancasila, sila
kerakyatan didahului sila persatuan, dan diakhiri sila keadilan. Itu berarti,
tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan demokrasi ibarat menegakkan
benang basah. Demokrasi yang tak mendorong keadilan, malah memperluas
kesenjangan, bisa melahirkan frustrasi sosial yang bisa berbalik menikam
demokrasi.
Dalam
demokrasi Pancasila, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak
dapat mendekati perwujudan ”negara persatuan” (negara yang bisa mengatasi
paham perseorangan dan golongan) serta ”negara keadilan” yang dapat
mewujudkan kesejahteraan umum.
Dalam
kaitan negara persatuan, untuk masa yang panjang, politik segregasi telah
mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural yang terkunci dalam situasi
”plural monokulturalisme”; terdiri dari banyak etnis-agama yang hidup dalam
kepompong budayanya masing-masing, tanpa kerapatan interaksi. Political
correctness dituntut untuk mentransformasikan situasi
”plural-monokulturalisme” menuju situasi ”plural-multikulturalisme” lewat
berbagai kebijakan yang dapat mencegah berbagai bentuk segregasi sosial
(dalam dunia persekolahan, permukiman, pekerjaan, dan perkumpulan), seraya
membuka ruang-ruang komunikatif bagi proses-proses interaktif, pertukaran
pemikiran, dan penyerbukan silang budaya.
Masyarakat
multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan
demokratis (democratic citizenship) bisa menjamin bukan saja hak-hak sipil
dan politik individu (individual rights), melainkan juga hak-hak
sosial-budaya masyarakat (communitarian rights). Kata Habermas (1999), ”Warga
bangsa harus dapat mengalami nilai keadilan yang berkaitan dengan hak- haknya
juga dalam bentuk keamanan sosial dan pengakuan timbal balik dalam perbedaan
bentuk-bentuk budaya kehidupan.”
Upaya
negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi
berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh
ongkos mahal berupa fragmentasi masyarakat. Karena itu, setiap kelompok
dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi
konsensus nasional seperti tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara,
serta unsur- unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Seiring
dengan itu, kesenjangan ekonomi yang kerap menyulut sentimen primordial harus
diatasi negara dengan mengembangkan negara kesejahteraan dan pasar
kesejahteraan yang mendorong ke arah perekonomian yang lebih inklusif.
Affirmative action bisa diberlakukan dengan catatan tidak berlandaskan pada
perbedaan kelompok etnis atau agama, tetapi bagi siapa saja yang mengalami
nasib kurang beruntung.
Pada
akhirnya, seperti diingatkan John Rawls (1980), sumber persatuan dari negeri
multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai ”konsepsi keadilan bersama”
(a share conception of justice): ”Kendatipun suatu masyarakat terbelah dan
pluralistik... persetujuan publik akan masalah keadilan sosial dan politik
dapat mendukung persaudaraan kewargaan dan ikatan perkumpulan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar