Menyoal
Aksi Korporasi Negara
W Riawan Tjandra ; Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Wakil Sekjen Pengurus Pusat
Asosiasi Pengajar HTN-HAN
|
KORAN SINDO, 13 Januari
2017
Awal
2017, selain dapat memberikan harapan baru bagi bangsa dan negara Indonesia,
ternyata juga menjadi “kejutan” yang cukup tragis bagi rakyat di negeri ini.
Bagaimana
tidak? Rakyat dikejutkan oleh kenaikan beberapa biaya jasa publik sekaligus
barang publik secara beruntun. Kebijakan menaikkan sejumlah biaya jasa
administratif di lingkungan Samsat berupa kenaikan sebanyak dua kali lipat
pengurusan dokumen administratif STNK dan BPKB sebagai varian untuk mendorong
peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dilakukan dalam waktu yang
nyaris bersamaan dengan kenaikan sejumlah harga jual barang publik lain.
Terhitung
Kamis (5/1/2017) pukul 00.00 WIB, Pertamina memutuskan untuk menaikkan secara
sepihak harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Dalam surat edaran yang
diteken Umar Chotib dari Direktorat Pemasaran Retail Fuel Marketing Region
Manager IV Pertamina, Rabu (4/1/2017), harga premium tetap Rp6.650. Adapun
harga pertalite menjadi Rp7.350 dari semula Rp7.050, pertamax Rp8.050 dari
Rp7.750, dan pertamax turbo Rp9.100 dari Rp8.800. Harga solar semula Rp5.150
menjadi Rp7.200 dan pertamina dex Rp8.200 menjadi Rp8.500.
Dengan
demikian, BBM nonsubsidi tersebut mengalami kenaikan harga rata-rata sebesar
Rp300, kecuali bahan bakar bersubsidi jenis premium yang tetap tak berubah
meskipun kini mulai kian sulit dicari di pasaran. Belum hilang keterkejutan
rakyat atas kenaikan biaya STNK dan BPKB serta BBM pada 2017, disusul dengan
tindakan sepihak PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mulai 1 Januari 2017
yang memberlakukan kenaikan tarif listrik secara bertahap bagi rumah tangga
golongan mampu dengan daya 900 VA.
Pelanggan
rumah tangga mampu 900 VA tersebut akan dikenakan kenaikan tarif dari
sebelumnya bersubsidi menjadi keekonomian atau nonsubsidi secara bertahap.
Kenaikan tarif dilakukan setiap dua bulan sekali yakni 1 Januari 2017, 1
Maret 2017, dan 1 Mei 2017. Berdasarkan skenario kenaikan tarif tersebut,
secara bertahap tarif pelanggan rumah tangga mampu 900 VA akan mengalami
kenaikan dari Rp605 menjadi Rp791 per 1 Januari 2017, Rp1.034 mulai 1 Maret
2017, dan Rp1.352/kWh per 1 Mei 2017.
Selanjutnya,
terhitung mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA itu akan
dikenakan penyesuaian tarif otomatis setiap bulan seperti 12 golongan tarif nonsubsidi
lain. Selama ini ada asumsi bahwa pengguna listrik dengan daya 900 VA
didominasi oleh pelanggan yang masuk ke dalam golongan mampu. Padahal, dengan
sulitnya memperoleh pelayanan listrik berdaya 450 VA, pengguna listrik
berdaya 900 VA sebagian juga terdapat golongan rakyat tidak mampu yang
terpaksa menggunakan listrik dengan daya 900 VA karena sulitnya mengakses
pelayanan listrik dengan daya 450 VA.
Keterkejutan
sebagian besar rakyat atas kenaikan beruntun dalam waktu yang nyaris
bersamaan dari tarif jasa dan barang publik tersebut timbul karena negara
terkesan melakukan aksi korporasi dalam memberikan pelayanan kepada
rakyatnya. Pemerintah terlihat tergesa- gesa mengejar profit maupun kenaikan
penerimaan negara dengan mengabaikan beberapa faktor penting.
Pertama,
pemerintah sepertinya lupa bahwa Pasal 33 UUD Negara RI 1945 yang mewajibkan
negara untuk melaksanakan konsep hak menguasai negara terhadap cabang-cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup rakyatnya.
Dengan
hak menguasai negara tersebut negara tak boleh melepaskan landasan ideologis
untuk lebih mengedepankan perlindungan sosial bagi rakyatnya dibandingkan
mengejar target-target keuntungan dalam mengelola barang-barang publik.
Listrik, air, dan BBM tergolong barang publik yang seharusnya dikelola negara
dengan mengedepankan misi sosial untuk memberikan pelayanan maksimal kepada
rakyat bukan sekadar mencari keuntungan.
Meskipun
Pertamina maupun PLN menggunakan status hukum PT (Persero), mereka adalah
BUMN yang tak boleh berlari terlalu jauh meninggalkan Pasal 33 UUD Negara RI
1945. Kesalahan cara berpikir dalam memahami hubungan antara BUMN dan Pasal
33 UUD Negara RI 1945 telah menyebabkan negara telah bertindak dengan dasar
paradigma yang salah untuk melakukan berbagai aksi korporasi, alias negara
berdagang dengan rakyatnya sendiri dengan prinsip mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya dari harga jual barang-barang yang tergolong sebagai benda
publik (public goods). Putusan MK
Nomor 48/PUU-XI/2013 telah menegaskan bahwa BUMN apa pun status hukum yang
disandangnya tak lain merupakan “kepanjangan tangan negara” dalam memberikan
pelayanan kepada rakyat.
Kedua,
pemerintah terkesan mengabaikan faktor psikologis rakyat dalam melakukan
tindakan menaikkan sejumlah tarif jasa maupun barang publik.
Daya
beli rakyat bisa mengalami penurunan secara drastis akibat dipicu oleh efek
domino berupa kenaikan harga kebutuhan bahan-bahan pokok dan barang ekonomi
lain yang dipicu oleh kenaikan harga sejumlah tarif jasa dan barang publik.
Ketiga,
aksi korporasi negara sejatinya justru mengingkari semangat negara
kesejahteraan yang menjadi karakter dari negeri ini sebagaimana dinisbatkan
oleh Pembukaan UUD Negara RI 1945.
Pemerintah
lebih terkesan takut mengalami kerugian daripada memberikan perlindungan
sosial terhadap rakyatnya. Pada titik tertentu, hal ini bisa menurunkan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah sekaligus menurunnya legitimasi
pemerintah. Rakyat akan melihat bahwa dirinya berhadapan dengan “korporasi”
daripada sebuah birokrasi yang seharusnya mengedepankan pelayanan daripada
berburu keuntungan. Pemerintah perlu menimbang ulang dengan bijak berbagai
kebijakan publiknya yang justru bisa menimbulkan kepanikan sosial saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar