Ideologi
Tertutup versus Ideologi Terbuka
Muhammad Takdir ; Alumni jaringan Geneva Centre for Security
Policies
(GCSP), Swiss
|
KORAN SINDO, 13 Januari
2017
Sebagai
wacana, kajian ideologi tertutup versus ideologi terbuka mungkin bagus buat
penguatan fase kebangsaan menuju kepada level “a more perfect union“. Istilah
ideologi tertutup disampaikan Megawati ketika memberikan pidato politik pada
perayaan HUT Ke-44 PDIP di Jakarta, Selasa (10/1). Meskipun tidak menjelaskan
sifat dan karakter ideologi tertutup yang disasar dalam pidato itu, publik
bisa paham bahwa ideologi dimaksud pasti anti atau steril terhadap perbedaan.
Sejak lama para filsuf politik telah mengurai macam ragam ideologi yang
berkembang.
Dalam
hal ini ideologi dipahami sebagai fondasi cara pemerintah atau sebuah
masyarakat mengorganisasi dirinya. Secara textbook, para pengulas ideologi
biasanya hanya membicarakan lima ideologi politik utama yakni anarkisme,
absolutisme, liberalisme, konservatisme, dan sosialisme. Hanya, yang menarik
adalah berbeda dengan yang disuarakan oleh Megawati, ideologi politik
sebagian besar memang bersifat exclusive alias tertutup.
Artinya,
tidak semua ideologi bisa menerima anasir luar begitu saja yang bertentangan
dengan prinsip dasar ideologi tersebut. Kalau ideologi dibuat terbuka,
fleksibel, karet, dan adaptif, kira-kira bisa dipastikan betapa ramuan
ideologi itu tidak lagi menjadikannya logis. Karena, ideologi adalah
grand-design yang tumbuh dari satu sikap elementer berbangsa dan bernegara.
Kira-kira begitu protokol kunci sebuah ideologi.
Ideologi
bukan sikap politik yang dilakukan untuk enak didengar dan dilihat. Tetapi,
sebuah sikap politik yang diyakini harus dilakukan untuk membuktikan
keyakinan alternatif politiknya dalam memerintah sebuah entitas. Sebuah
pemerintahan liberal sudah pasti tidak akan mempraktikkan sosialisme atau
pemerintah absolut mengikuti liberalisme. Partai Republik dan Demokrat di AS
secara ideologis berseberangan dan tidak akan mengompromikan prinsipprinsip
dasar keduanya.
Jika
Republik sangat konservatif, Demokrat dipastikan sebaliknya, sangat liberal.
Sebagai derivasi konservatisme mereka, politisi Partai Republik tidak pernah
menyukai big government karena akan menghisap pajak rakyat. Sebaliknya,
politisi Partai Demokrat menganggap size pemerintahan yang besar diperlukan
untuk menopang pelayanan dan kebutuhan publik konstituen. Konservatisme
Republik membuat mereka tidak menyukai same sex marriage karena mencederai
keyakinan beragama.
Sebaliknya,
liberalisme Demokrat menjunjung kebebasan yang luas, termasuk dalam
menentukan pilihan perkawinan antara sesama jenis sebagai pilihan hak asasi
manusia (HAM) yang harus dihormati. Kontraksi keduanya bisa on-andon dan tak
ada habisnya. Mereka tidak masalah dengan ideologi tertutup sebab benturan
keduanya diperdebatkan secara tertata dalam koridor konstitusi, entah di
parlemen, media atau debat town hall, dan lain-lain.
Ketertutupannya
lebih pada kebutuhan untuk membuat ideologi itu puritan, tidak bercampur
dengan elemen-elemen ideologi ataupun nonideologi lain. Sehingga, publik bisa
menakar ketika diperhadapkan pada dua pilihan sulit. Semua konstituen dapat
menimbang sisi-sisi kontras keduanya yang memungkinkan ideologi-ideologi
berseberangan itu menawarkan plus-minus masingmasing.
Pertanyaan
provokatifnya sekarang, bagaimana kita menempatkan Pancasila sebagai ideologi
tertutup atau terbuka. Bagi saya, Pancasila sebagai ideologi punya sifat tertutup
karena Sila Pertama sudah mengunci para pemangkunya untuk percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, jika Anda tidak berketuhanan, siapa pun tak
dapat mengklaim dirinya bertumpu pada ideologi Pancasila.
Ketertutupan
Pancasila lebih pada kebutuhan untuk mempertahankan fondasi utamanya.
Bagaimana cara “berketuhanan” itu, mungkin baru di situ sisi keterbukaan
diayomi. Saya menilai pentingnya kita memperlakukan Pancasila sebagai
ideologi tertutup, tidak dalam makna negatif. Sebagai ruh berbangsa dan
bernegara, Pancasila hanya dapat dihayati dan diimplementasikan jika kita
tidak mengompromikan sila-sila yang dikandungnya.
Pancasila
tertutup terhadap anasir lain, terutama yang bertentangan dan mengingkari
lima fondasi utamanya. Sebagai ideologi berbangsa dan bernegara, Pancasila
sepantasnya memang tidak mudah berubah karena setting waktu dan kepentingan.
Sebaliknya, kita harus menerima secara terbuka untuk mendiskusikan atau
memperdebatkan bagaimana Pancasila sebagai sebuah ideologi diterjemahkan ke dalam
way of governing.
Bahkan,
bila perlu, diperhadapkan dengan ideologi lain sebagai sebuah alternatif
mengingat tidak banyak referensi yang bisa kita pakai untuk menempatkan
Pancasila sebagai embodiment sosialisme, konservatisme, atau liberalisme.
Boleh jadi dalam rumusan progresifnya, Pancasila mungkin replika kombinasi
ketiganya. Apa pun narasinya, kita tidak perlu naif mempertentangkan sifat
ideologi tertutup atau terbuka.
Karena,
sebagai ideologi sebagaimana laiknya dengan ideologi lain, Pancasila jelas
eksklusif. Tetapi, ketertutupan itu bukan untuk menegasi proyeksinya sebagai
alternatif, hanya lebih pada upaya untuk menjaga puritanismenya sebagai dasar
berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, keterbukaan Pancasila tetap diperlukan
untuk menjadi alternatif bagi ideologi-ideologi lain yang memang mulai
mendemonstrasikan kelemahan sistemik di mata komunitas penganutnya.
Yang
menarik untuk menjadi pekerjaan rumah dari pidato Megawati tentang ideologi
tertutup tersebut adalah bagaimana seluruh partai politik di Indonesia membangun
atau menciptakan branding masingmasing yang berbeda dengan tetap berdasar
pada referensi ideologi Pancasila. Sebagai negara demokratis, publik perlu
melihat ada perbedaan tajam tidak hanya dari sisi program di kalangan partai
politik, tetapi juga dari konstruksi filosofis partai di bawah naungan
ideologi Pancasila.
Sehingga,
kita dapat merasakan ada warna kontras antara PKS dan PKB atau PDI P dengan
NasDem, Golkar maupun Gerindra yang akan menjadi alat bantu bagi konstituensi
memutuskan pilihan mereka. Namun, yang terpenting dari kemampuan merumuskan
pekerjaan rumah itu, tidak ada lagi yang dituding menganut ideologi tertutup
atau terbuka karena masing-masing bersandar pada ideologi yang sama,
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar