Menjawab
Tantangan 2017
Susilo Bambang Yudhoyono ; Presiden
RI 2004-2014
|
KOMPAS, 09 Januari
2017
Tahun
2016 yang dinamis telah kita tinggalkan. Kini kita memasuki tahun 2017 yang
tak akan bebas dari tantangan. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang pandai
memetik pelajaran dari masa lalunya dan kemudian melangkah ke depan untuk
berbuat yang lebih baik lagi.
Potret
besar kita pada 2016 sebenarnya tak buruk meskipun masih banyak masalah yang
belum kita selesaikan. Misalnya, yang positif, kecuali terjadi gejolak
sosial-politik di pengujung tahun, situasi nasional kita terjaga dengan baik.
Sementara yang belum kita atasi sepenuhnya adalah upaya memulihkan ekonomi
nasional kita, yang tiga tahun terakhir ini mengalami tekanan yang cukup
berat.
Pertumbuhan
ekonomi yang melambat menekan pula taraf hidup rakyat, utamanya kalangan
miskin dan tak mampu. Adalah benar, lemahnya ekonomi Indonesia tak lepas dari
pengaruh ekonomi global yang belum pulih sejak terjadi krisis besar
2008-2009. Namun, kita juga harus jujur dan mau melakukan introspeksi,
barangkali ada langkah-langkah kita yang belum optimal dan belum efektif.
Sungguhpun
secara umum keadaan nasional kita relatif stabil dan damai, gejolak yang
terjadi di pengujung tahun, yaitu berlangsungnya aksi unjuk rasa dalam jumlah
yang sangat besar, perlu mendapatkan perhatian yang serius. Serius karena isu
yang semula tergolong sederhana itu dengan cepat berkembang menjadi isu yang
rumit dan sensitif. Serius karena guliran dari yang semula merupakan kasus
hukum tiba-tiba menyentuh sesuatu yang sangat peka, yaitu perbedaan
identitas, baik agama maupun etnis.
Pengalaman
menunjukkan, baik di dunia maupun di negeri sendiri, konflik antaridentitas
(agama, etnis, dan suku) sering berkembang menjadi tragedi yang memilukan
karena harus ditebus oleh jatuhnya korban jiwa dan rusaknya sendi-sendi
harmoni dan toleransi. Karena itu, secara bijak dan tepat kita harus segera
menyudahi salah pengertian dan benturan sosial yang bisa membahayakan
kerukunan kita sebagai bangsa.
Ke
depan, kita mesti memiliki kesadaran dan tekad yang kuat untuk menjernihkan
kembali riak-riak sosial yang terjadi di pengujung tahun 2016 yang lalu itu.
Mari kita petik pelajarannya dan kemudian bergerak maju (move on). Kita
diingatkan bahwa dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk, harus dimiliki
kepekaan yang tinggi untuk tidak melukai perasaan saudara-saudara kita yang
kebetulan berbeda dalam keyakinan berikut sistem nilainya.
Kita
juga harus ingat, kebinekaan yang di satu sisi adalah rahmat tetapi di sisi
lain menghadirkan kerawanan tersebut harus terus-menerus kita rawat dan
kelola baik-baik. Semua bertanggung jawab dan semua menjadi bagian dalam
merawat kebinekaan ini. Inilah yang utama. Tak ada resep yang ajaib.
Peluang ekonomi 2017
Dalam
artikel yang saya tulis dan dimuat harian Kompas pada 2 Januari 2017, saya
telah menyampaikan pandangan saya tentang perkembangan lingkungan strategis
dan outlook 2017. Dalam tulisan itu saya kedepankan berbagai kecenderungan,
unknowns (hal-hal yang tidak kita ketahui), dan juga game changers (pengubah
jalannya sejarah). Di samping itu, juga saya angkat perkembangan geopolitik
dan geoekonomi, yang terjadi pada tingkat global ataupun kawasan, yang
berpengaruh pada negara kita, Indonesia.
Dengan
berbagai outlook tentang apa yang bakal terjadi pada 2017, Indonesia bukan
hanya sekadar mempersiapkan diri, melainkan harus menentukan sasaran-sasaran
strategis dan arah kebijakan (policy direction) agar Indonesia sukses dalam
mengarungi tahun 2017. Diperlukan kecerdasan dan kecermatan bagi pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat madani (civil society) untuk menetapkan strategi
dan menjalankan aksi-aksi nyata. Pilihan sering tidak mudah. Namun, dengan
memahami tantangan dan peluang yang tersedia, Indonesia bisa melakukan
langkah-langkah yang tepat dan efektif.
Menurut
pandangan saya, prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo masih tetap pada
pemulihan ekonomi nasional. Mengapa? Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5
persen berturut-turut tiga tahun terakhir, penerimaan negara menurun secara
signifikan karena penerimaan pajak juga menurun. Hal ini wajar karena sektor
riil dan dunia usaha mendapatkan tekanan serius. Akibatnya, tak mudah untuk
memberikan stimulus fiskal untuk menggenjot pertumbuhan karena bisa-bisa berakibat
terhadap membengkaknya utang negara.
Daya
beli masyarakat juga menurun sehingga golongan kurang mampu sulit memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Inflasi kita memang tergolong rendah, tetapi itu semua
akibat menurunnya permintaan (demand). Masih susahnya orang mendapatkan
pekerjaan juga menambah tekanan ekonomi pada tingkat rumah tangga.
Peluang
ekonomi yang tersedia pada 2017 adalah perkiraan membaiknya harga komoditas
pertanian, pertambangan, dan perminyakan. Diharapkan penerimaan negara dapat ditingkatkan.
Namun, sebagai catatan, jika harga minyak terus meningkat hingga mencapai 70
dollar AS per barrel, otomatis harga BBM akan naik. Jika harga BBM harus
dinaikkan, pemerintah perlu mempersiapkan prakondisi sosial baik-baik,
termasuk mental masyarakat kita.
Peluang
yang lain adalah di bidang investasi. Mengingat pasar domestik kita terus
tumbuh, kita bisa menarik lebih banyak investor. Jika investasi dapat kita
tingkatkan, sumbangannya terhadap pertumbuhan akan nyata mengingat belanja
pemerintah dan konsumsi rumah tangga masih terbatas. Namun, perlu diingat,
investasi akan mencari pasar yang reliable di negara yang aman dan stabil.
Itulah sebabnya, di bagian awal tulisan ini saya sungguh ingin ketegangan
sosial-politik yang terjadi pada akhir 2016 bisa diakhiri sehingga investor
tak ragu dan takut menanamkan modalnya di Indonesia.
Taraf hidup dan
kesejahteraan
Pembangunan
ekonomi haruslah bermuara pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu, jika pemerintahan Presiden Jokowi meniatkan
memulihkan dan meningkatkan perekonomian hingga 2019, sasaran strategis dan
arah kebijakan harus dirumuskan dengan baik. Tentunya yang dikejar bukanlah
hanya pembangunan yang serba benda, misalnya infrastruktur fisik. Pembangunan
berkelanjutan abad ke-21 mencakup pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial
(equity), dan pemeliharaan lingkungan. Karena itu, sejak awal perlu
ditetapkan perimbangan yang tepat di dalam mengalokasikan sumber daya
pembangunan. Contohnya, anggaran untuk infrastruktur tidaklah boleh
meniadakan anggaran untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pengurangan
kemiskinan.
Kalau
hal itu dapat dicapai, dalam keadaan sesulit apa pun, masyarakat tidak akan
”memberontak” karena mereka merasa tidak ditinggalkan. Ketimpangan sosial-ekonomi
juga tidak akan menjadi-jadi. Prioritas untuk membangun sumber daya manusia,
termasuk penguasaan teknologi dan inovasi juga diperlukan, karena human
capital yang andal inilah yang akan menjadi motor penggerak pembangunan
jangka panjang.
Sebagai
seorang yang pernah bertugas selama tujuh tahun di jajaran pemerintahan
sebelumnya dan hampir lima tahun menjadi pejabat senior di Bank Dunia,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah sosok yang tepat untuk membantu
Presiden Jokowi dalam menentukan kebijakan dasar ekonomi ke depan, sejiwa
dengan green economy dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang kini
dianut bangsa-bangsa sedunia.
Elemen
dan dimensi kehidupan bangsa tentulah bukan hanya berkaitan dengan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan pula ruang yang cukup bagi rakyat untuk
berekspresi dan ikut serta dalam menentukan nasib dan masa depannya.
Indonesia 2017 dan ke depannya haruslah memastikan bahwa baik ekonomi maupun
demokrasi terus tumbuh dan mekar. Dahulu, pada era Orde Lama dan era Orde
Baru kita seolah harus memilih, ekonomi atau demokrasi. Saya harus mengatakan
bahwa mitos itu telah kita patahkan. Pada era Reformasi, utamanya 10 tahun
ketika saya dan kawan-kawan diberikan amanah untuk mengelola kehidupan
bangsa, ekonomi dan demokrasi kita tumbuh secara bergandengan.
Meskipun
di sana-sini masih ada persoalan, ekonomi kita tumbuh rata-rata sekitar 6
persen dan termasuk peringkat atas di antara sesama anggota G-20. Sejarah
juga membuktikan, pertumbuhan itu kita capai tanpa harus meminggirkan hak
politik dan demokrasi. Adalah benar bahwa kebebasan dan penggunaan HAM tak
boleh absolut dan melampaui batas dan adalah benar pula jika untuk
kepentingan umum negara dan pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan,
tetapi bagaimanapun nilai-nilai demokrasi harus tetap hidup. Yang paling
merugi adalah ketika demokrasi tidak hidup, ekonomi dan kesejahteraan rakyat
pun tidak didapatkan.
Saya
yakin kita bisa mewujudkan dua sasaran kembar itu. Saya amat tahu, di pihak
Presiden Jokowi banyak pencinta dan pejuang demokrasi dan HAM. Dengan senang
hati pastilah mereka ingin bersama-sama Presiden kita menghidupkan demokrasi
di negeri ini.
Dunia
dan kawasan kita akan tetap dinamis. Demikian pula keadaan dalam negeri
sendiri. Namun, kita harus menjadi bangsa pemenang dan bukan bangsa yang
kalah. Untuk itu, diperlukan sikap dan tindakan yang adaptif dan antisipatif,
di atas nilai, prinsip, dan kerangka bernegara yang kita anut. Mari kita
doakan agar Presiden Jokowi senantiasa diberikan bimbingan oleh Allah SWT,
Tuhan yang mahakuasa, agar senantiasa sukses dalam memimpin kita semua,
menuju Indonesia yang lebih maju, adil, rukun dan damai, demokratis dan
sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar