Hukuman
Mati
Daoed JOESOEF ; Alumnus
Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS, 09 Januari
2017
Kompas
memberitahukan (7/12/2016) tentang pegelaran diskusi terbatas di Jakarta
dengan tema "Hukuman Mati dalam Teologi Agama-agama".
Diskusi
berlangsung pada 6 Desember, dihadiri tokoh-tokoh organisasi dari berbagai
agama. Diskusi berkesimpulan agar pasal-pasal pidana dalam pembahasan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana tidak mencantumkan pidana mati.
Kesimpulan
ini didasarkan pada empat premis pokok. Pertama, publik masih meragukan
kinerja aparat hukum untuk menghadirkan keadilan. Kedua, hukuman mati belum
terbukti menekan kriminalitas. Ketiga, hak hidup dijamin oleh Deklarasi HAM
dan Konvensi Hak Sipil serta diakui dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945.
Keempat, 142 negara sudah menghapus hukuman mati, yang masih mempertahankan,
termasuk Indonesia, tinggal 44.
Iblis yang dibutuhkan
Suatu
masyarakat modern yang menerapkan moratorium hukuman mati sebenarnya tidak
menyuarakan pesan tentang hak hidup, tetapi mengekspresikan suatu kerancuan
moral.
Betapa
tidak. Apabila kita mendorong moratorium dan penghapusan hukuman mati, sama
artinya dengan mengatakan kepada sang pembunuh bahwa apa pun yang dia lakukan
terhadap korbannya, miliknya paling berharga, yaitu hidupnya sendiri, tetap
terjamin. Dengan kata lain, hak hidupnya, kita jamin in advance, walaupun dia
sendiri telah melenyapkan hak hidup orang lain, tidak peduli apakah itu
anak-anak, perempuan, orang tua, atau penjaga keamanan.
Bangsa
yang mendeklarasi bahwa apa pun tidak akan bisa mendorongnya untuk berperang,
cepat atau lambat, akan menjadi sasaran rezim angkara murka. Maka analog
dengan ini, suatu masyarakat yang sok human, yang enggan mematikan
penjahatnya yang terburuk, akan menjadi bulan-bulanan penjahat yang seenaknya
membunuh mereka yang tidak bersalah.
Hukuman
mati, death penalty, bukan buah simalakama yang membuat kita serba salah. Ia
mengharuskan kita membuat pilihan, betapa pun pahitnya, demi kebaikan.
Hukuman mati ibarat iblis yang masih diniscayakan, a necessary evil. Perlu
dipertahankan dan dinyatakan in advance.
Kewajiban asasi manusia
Benar
bahwa aparat hukum kita umumnya masih jauh dari sempurna. Namun, kekurangan
ini bukan penyebab kasus pembunuhan. Kita memang perlu menyempurnakan aparat
tersebut di samping memantapkan kesadaran hukum di kalangan warga, paling
sedikit di lapisan yang terdidik. Berarti, seperti praktik perkuliahan pada
awal-awal kemerdekaan, setiap mahasiswa dari disiplin apa pun wajib mengikuti
kuliah "pengantar hukum" dan diuji agar asumsi "everyone
should know the law" menjadi satu kenyataan. Dunia boleh runtuh, tapi
hukum tetap tegak. Dan, NKRI adalah negara hukum.
Benar
bahwa hukuman mati belum mengurangi kriminalitas. Namun, hal ini bukan
berarti tidak punya efek jera. Semua kriminalis yang tertangkap dan terbukti
bersalah pada minta ampun. Tidak satu terpidana pun mati yang senyum ketika
menjalani hukuman mati.
Yang
tidak jera adalah kriminalis yang belum tertangkap. Mereka nekat berbuat
salah yang terancam hukuman mati berhubung iming-imingan untung besar apabila
tidak sedang apes. Mereka bertindak sesuai teori peluang (probability theory).
Mengapa
kita selalu menonjolkan hak asasi manusia (HAM)? Jangan lupa bahwa di sebelah
"hak asasi" ada "kewajiban asasi" (KAM) sebab kedua
kebajikan tersebut adalah dua sisi dari koin yang sama. Yang merupakan
masalah moral bukan hanya the rights of
man tetapi juga the rights of
others, termasuk the fundamental rights of the earth and the country (hak
mendasar dari bumi dan negeri). Berarti aku tidak punya hak, aku hanya punya
kewajiban. Dan aku punya hak hanya karena orang (pihak) lain. Jadi, makhluk manusia
lebih dahulu punya kewajiban dan hanya hak orang (pihak) lain yang
diutamakan.
Presiden
Kennedy pernah berujar ". ask not what your country can do for you; ask
what you can do for your country". Semua (sepuluh) perintah Tuhan yang
diterima Moses di Gunung Sinai bernuansa kewajiban, thou shall not.. Bagi
orang beradab (sila ke-2 Pancasila) kiranya diharapkan membicarakan dulu
"kewajibannya", baru sesudah itu menyuarakan "hak" yang
terkait dengan kewajiban tadi.
Benar
bahwa jumlah negara yang menghapus hukuman mati cenderung meningkat. Namun,
bukan berarti bahwa (pemerintahan) mereka lebih "human" daripada
kita. Berbeda tidak dengan sendirinya berarti lebih buruk. Kenyataan
menunjukkan bahwa situasi dan kondisi kehidupan kita sehari-hari semakin terancam
oleh bahaya narkoba hingga Presiden Joko Widodo menyatakan perang terhadap
narkoba.
Hukum mati bandar narkoba,
teroris, dan radikalis
Narkoba
memang tidak segera mematikan, tetapi jauh lebih kejam daripada pembunuhan.
Pencandu narkoba yang masih hidup direduksi menjadi "mayat hidup".
Adalah tragedi kehidupan jika apa-apa mati dalam diri, padahal masih
bernapas.
Masa
depannya artifisial, menjadi beban orangtua dan keluarga. Usaha
penyembuhannya tidak jarang menjadi tanggungan masyarakat. Yang meninggal,
menurut Presiden, 15.000 orang setiap tahun. Mereka adalah generasi muda yang
sedianya menjadi penerus bangsa dan harapan negara. Namun, berapa bandar dan
pengedar narkoba yang mati setiap tahun dalam keadaan bebas bergelimang dosa?
Mereka
mati setelah lama menikmati hidup mewah. Mereka nekat melakukan usaha yang
begitu riskan, bukan karena desakan pemuasan hidup minimum, melainkan karena
dorongan nafsu hidup bergelimang aneka kemewahan, sudah hidup di
"surga" sewaktu masih di dunia. Mereka mampu menyewa pengacara
kondang, menyogok penguasa negara, bahkan membayar pembunuh andal selaku
pengawal guna menjamin eksistensi mereka.
Para
bandar narkoba pantas diburu guna dihukum mati tanpa ampun. Sebenarnya
kematian begini masih jauh lebih ringan daripada kejahatan yang telah mereka
lakukan. Eksekusi mati yang dialaminya itu hanya satu kali, sedangkan mereka
telah menyiksa korbannya berkali-kali dalam rentang waktu relatif lama. Di
sini tidak ada pelanggaran HAM. Mereka sendiri yang telah memerkosa HAM, bahkan
membunuhnya dengan sadar dan sengaja.
Berbagai
modus dipakai sindikat narkoba internasional untuk memasukkan asupan maut
tersebut ke Indonesia. Dari Tiongkok, misalnya, ada narkoba yang dimasukkan
ke dalam tiang pancang setebal 4 sentimeter, ada pula yang menyisipkannya ke
dalam lukisan Bunda Maria.
Menilik
gelagatnya, ada usaha sistematik untuk menghancurkan rakyat dan bangsa
Indonesia melalui konsumerisasi narkoba, persis sama dengan serangan
"perang candu" yang telah menghancurkan kerajaan Tiongkok dan Korea
pada abad-19. Maka, upaya Presiden Joko Widodo memerangi narkoba harus kita
dukung sekuat tenaga.
Dewasa
ini bergentayangan sejenis lain pembunuh, yaitu terorisme dan radikalisme. Ia
tak kurang kejam karena membunuh secara acak (at random) dan berafiliasi
dengan sekelompok teror global. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
mengatakan, terorisme harus dianggap sebagai musuh negara. Berarti kepada
teroris-sang pelaku diberlakukan hukuman mati, setimpal dengan kejahatannya.
Maka menurut Presiden, tak ada ruang bagi terorisme, jadi jangan lengah!
Akhirnya
jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal berjubah agama. Sebab menurut
Adjie Suradji (Kompas, 23/11), agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan
dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas
sosial lain. Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan
intensitas tinggi, yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
Mungkin
para pembunuh berdarah dingin ini adalah borok-borok terkutuk dari pergaulan
bawaan peradaban. Sebab peradaban, civilization, tidak berasal dari perbuatan
Abel, tetapi dikembangkan sejak awal oleh Kain, sang pembunuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar