Menjadi
Perempuan Rasional
Hasanudin Abdurakhman ; Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku
University, Jepang; Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di
Jepang;
Kini bekerja sebagai General
Manager for Business Development
di sebuah perusahaan Jepang di
Jakarta
|
KOMPAS.COM, 13 Januari
2017
Laki-laki
itu rasional, sedangkan perempuan lebih emosional. Itu kesimpulan umum yang
dianut banyak orang. Tapi tidak sedikit pula yang membantahnya.
Tidak
sedikit perempuan yang keberatan disebut emosional, karena ia merasa
rasional. Tapi benarkah kesimpulan ini? Apakah ini fakta sains atau sekedar
stereotype belaka?
Peneliti
Institut Universitaire En Santé Mentale de Montréal melakukan pengujian. Pada
penelitian terdahulu mereka menemukan terdapat perbedaan reaksi pada limbic
system, pusat emosi dan memori, antara laki-laki dan perempuan.
Dalam
penelitian lanjutan, 46 responden, laki-laki 21 orang dan perempuan 25 orang
disuruh melihat gambar-gambar emosional, dan aktivitas otak mereka diamati
melalui kadar hormon testosterone dan estrogen, serta direkam dengan fMRI.
Secara
keseluruhan disimpulkan bahwa perempuan lebih reaktif terhadap gambar-gambar
emosional. Ukurannya adalah kadar testosteron dan estrogen tadi. Kadar
testosteron yang tinggi menunjukkan rendahnya sensitivitas emosi, sedangkan
tingginya estrogen menunjukkan tingginya sensitivitas emosi.
Dalam
pengamatan melalui fMRI peneliti melihat bahwa dorsomedial prefrontal cortex
(dmPFC) dan amygdala bereaksi pada
perempuan dan laki-laki yang melihat gambar emosional tadi. Namun pada
laki-laki, terjadi interaksi yang lebih kuat antara kedua bagian otak tadi,
sehingga terjadi penurunan rangsangan emosional.
Amygdala
diketahui sebagai bagian otak yang mendeteksi ancaman, biasanya bereaksi
terhadap rangsangan emosional. Sementara dmPFC bekerja dalam interaksi
sosial, mengelola persepsi, emosi, dan nalar.
Interaksi
yang kuat antara dmPFC dengan amuygdala pada laki-laki menunjukkan bahwa
mereka lebih rasional dalam mengelola emosi.
Apakah
ini satu-satunya kesimpulan riset? Bukan. Ada penelitian lain yang dilakukan
oleh MindLab, kesimpulannya, laki-laki ternyata lebih kuat reaksinya terhadap
rangsangan emosional ketimbang perempuan.
Tapi
kenapa hasil kedua penelitian ini saling bertabrakan? Sebenarnya tidak
begitu. Peneliti dari Montreal tadi menjelaskan bahwa terjadi interaksi kuat
antara bagian otak yang mengelola emosi dan nalar pada laki-laki. Artinya,
terjadi proses peredaman emosi dalam otak.
Hal
itu pulalah yang dihasilkan oleh peneliti di MindLab. Menurut mereka,
laki-laki lebih emosional, namun terlatih untuk meredamnya. Ini hasil tempaan
sosial, yang menuntut laki-laki terlihat lebih rasional.
Hasil
penelitian di atas menarik dalam konteks pengelolaan pikiran. Otak kita
sebenarnya mirip dengan otot, dalam arti ia dapat dilatih.
Otot
pada bagian tubuh tertentu akan membesar atau mengeras bila sering dipakai,
atau dilatih. Demikian pula otak.
Secara
garis besar otak bisa kita bagi dua, yaitu bagian pengelola emosi dan
pengelola nalar. Bagian yang paling sering dipakai akan menjadi lebih kuat.
Banyak
perempuan yang “menyerah pada takdir” bahwa mereka adalah makhluk emosional.
Bahkan tidak sedikit pula yang menikmati privilege atau perlakuan istimewa
karena mereka emosional. Mereka merasa sah untuk menjadi sangat sensitif, dan
menuntut laki-laki untuk menjaga perasaan mereka.
Tapi
bisakah perempuan menurunkan kadar sensitivitas emosinya? Bisa. Bahkan
sebenarnya tidak hanya bisa, tapi harus.
Peneliti
di Montreal tadi sebenarnya sedang
meneliti perbedaan kerentanan psikis antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan dua kali lebih berisiko terhadap depresi dan keterasingan dibanding
laki-laki. Artinya, sikap kita dalam pengendalian emosi akan mempengaruhi
kesehatan mental.
Bagaimana
cara menjadi lebih rasional, khususnya bagi perempuan? Pertama adalah dengan
membuang streotype tadi. Tinggalkan keyakinan bahwa Anda ditakdirkan sebagai
makhluk emosional, mulailah meyakini bahwa Anda adalah pengendali emosi Anda
sendiri.
Jangan
manjakan diri Anda dengan sugesti “aku kan perempuan”, yang memberi Anda
pembenaran untuk terus menjadi emosional.
Langkah
berikutnya adalah soal interaksi sosial. Saya selalu mengingatkan semua orang
untuk menjadi pengendali pikirannya sendiri. You are the owner of your mind.
Bagaimana kita berpikir dan bereaksi terhadap sesuatu, sepenuhnya di bawah
kendali kita sendiri. Itu yang disebut sikap proaktif.
Jadi,
langkah keduanya adalah membangun keyakinan bahwa kita adalah pengendali
pikiran kita sendiri.
Praktisnya
bagaimana? Bayangkan ada seorang perempuan yang dimaki dengan sebutan
“pelacur”. Normalnya perempuan akan marah dengan makian itu.
Kembali
ke pola lama, ia akan marah dan berkata,”Wajar dong kalau aku marah. Siapa
juga yang nggak marah dikatain begitu.”
Ini
adalah sugesti bahwa ia berhak marah, dan setiap orang pasti marah. Padahal
tidak demikian. Ia bisa memilih untuk marah atau tidak marah.
Aneh?
Tidak. Reaksi marah itu adalah reaksi emosional. Itu biasanya reflek. Dalam
konteks kerja otak, itu adalah aktivitas di amygdala tadi.
Ketika
reaksi itu terjadi, orang mensugesti dirinya dengan keyakinan bahwa ia berhak
marah, dan semua orang pasti marah bila disebut pelacur. Maka ia sedang
melipat gandakan aktivitas amygdala dalam otaknya. Maka kadar emosinya akan
makin meningkat, dan bisa saja jadi tak terkendali.
Pilihan
lain adalah mengabaikannya. Sebutan itu tidak benar-benar membuat seorang
perempuan jadi pelacur, bukan? Jadi, tidak masalah disebut seperti itu.
Dengan cara ini Anda mengaktifkan interaksi antara amygdala dengan dmPFC
tadi.
Sensitifitas
Anda terhadap stimulus emosi akan diturunkan. Perhatikan bahwa ini bisa
dilakukan oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan.
Mengapa
latihan ini penting? Ingat, siapa yang mengendalikan diri Anda? Bila Anda
marah setiap kali ada yang mengatai Anda, itu sama seperti Anda menyerahkan
remote control emosi Anda ke orang lain.
Bagaimana
membuat Si X marah? Gampang, cukup sebut dia pelacur. Anda sudah di bawah
kendali orang lain. Itu baru satu kata kunci. Anda akan bereaksi yang sama
terhadap kata kunci lain seperti sundal, matre, murahan, ganjen, dan
seterusnya.
Kalau
Anda selalu bereaksi negatif, artinya ada orang-orang yang pegang remote
control yang penuh dengan tombol yang bisa membuat Anda depresi. Maka Anda
harus rebut remote control itu.
Tapi
apakah itu berarti kita diam saja diperlakukan tidak adil? Bukan begitu. Anda
boleh bertindak. Tapi kendali atas
pilihan tindakan itu ada di tangan Anda. Itu bukan produk spontan yang dipicu
oleh emosi Anda.
Anda
bisa berhitung secara rasional, tindakan apa yang akan Anda ambil. Hitung,
tindakan apa yang efektif untuk menghentikan gangguan. Eksekusi tindakan itu
secara rasional, bukan emosional.
Ingat,
jadilah pemegang remote control diri Anda, aktifkan selalu komunikasi antara
nalar dan emosi. Ini sebenarnya berlaku bagi siapa saja, tidak tergantung apa
jenis kelaminnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar