Menakar
Efek Trump di RI, Kawasan, dan Global
Ganewati Wuryandari ; Peneliti
Senior dan Kepala Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
07 Januari 2017
HUBUNGAN
antarnegara saat ini tengah menghadapi ketidakpastian menuju sebuah tata
kelola baru. Kendati ketidakpastian merupakan kondisi biasa dihadapi dalam
interaksi antarnegara, situasi kali ini mungkin jauh berbeda. Kemenangan
Donald Trump sebagai presiden AS menjadi salah satu faktor ketidakpastian itu.
Kemenangannya
tidak saja mengubah peta ekonomi-politik di dalam negeri AS, tetapi juga
konstelasi internasional yang akhirnya akan berdampak terhadap Indonesia.
Sejak Trump terpilih hingga dilantik sebagai Presiden AS ke-45 pada 20
Januari 2017 sesungguhnya tidak mudah membaca arah kebijakan pemerintahan
barunya. Dalam hitungan hari sejak terpilih, contohnya, Trump melunak sikap
kerasnya atas Obamacare. Ketidakkonsistenan ini menyulitkan untuk mengetahui
apakah retorik kampanyenya akan diimplementasikan.
Analisis
dan spekulasi telah banyak dikemukakan. Namun, sejujurnya masih terlalu dini
untuk memastikan apa yang akan dilakukan Trump dengan kebijakan ekonomi
politiknya. Hanya saja beberapa tanda arah kebijakannya sudah mulai sedikit
terkuak dengan melihat pilihan Trump atas calon para pembantunya, yang
ternyata mereka memiliki rekam jejak kontroversial. Seperti Senator Jeff
Sessions (jaksa agung), Mike Pompeo (Direktur CIA), Jenderal (purn) Michael
Flynn (penasihat keamanan), dan Jenderal (purn) James Mattis sebagai Menteri
Pertahanan.
Meski
nominasi mereka masih memerlukan persetujuan Senat, penunjukannya
mengindikasikan pergeseran kebijakan AS di bawah Trump yang lebih keras dan
agresif dalam soal imigran, muslim, perubahan iklim dan strategi antiteror.
Penunjukan tokoh-tokoh juga memperkuat kekhawatiran bahwa AS meninggalkan
pluralisme dan kebebasan individu, yang AS selama ini dikenal sebagai negara
kampiunnya.
Pascakemenangan
Trump juga memunculkan ketidakpastian internasional di tengah-tengah ancaman
antiglobalisasi dan proteksionis AS. Situasi ini tambah dipersuram dengan
adanya kemenangan kubu Brexit di Inggris dan tren naiknya popularitas dan
kemenangan tokoh populis berhaluan kanan di sejumlah negara Eropa, seperti
Victor Orban (Hongaria), Marine Le Pen (Prancis), Geert Wilders (Belanda),
Norbert Hofer (Finlandia), dan Frauke Petry (Jerman) yang juga
antiglobalisasi, antiimigran, dan proteksionis.
Kecenderungan
inward-looking AS telah diisyaratkan dengan keinginan Trump meninjau semua
perjanjian perdagangan, kesepakatan Trans-Pacific Patnership, (TPP) menarik
modal AS di luar negeri dan mengenakan penalti perusahaan AS yang memberi
pekerjaan kepada bangsa lain. Ini tentu menjadi kabar buruk dan mencemaskan
bagi ekonomi dunia, terutama di tengah melambatnya pertumbuhan perdagangan
global yang diperkirakan hanya sekitar 1,7% pada tahun 2016.
Bisa
dibayangkan dalam situasi pelambatan perdagangan global seperti ini AS
melakukan kebijakan proteksionis. Tentu akan ada risiko perdagangan global
semakin menyusut jika Trump memproteksi ekonomi domestik AS. Jika perdagangan
global menyusut, ekspor dari negara yang sedang tumbuh termasuk Indonesia
tentu juga akan terpukul.
Dari
sisi politik, lingkungan strategis global pascaterpilihnya Trump juga mengalami
gejolak transformasi yang belum jelas bentuknya. Ini menimbulkan kecemasan di
berbagai wilayah. Negara sekutu AS di Eropa, Jepang, Korea Selatan,
Australia, dan 'Taiwan' kini merasa gamang karena tidak adanya jaminan
keamanan yang pasti dari AS. Ini belum pernah terjadi sepanjang sejarah
hubungan mereka setelah PD II.
Hal
ini karena Trump ingin keluar dari kemampanan tradisi pertahanan AS yang
dibangun pasca PD II melalui strategi aliansi. Dengan orientasi 'American
first', kebijakan luar negeri AS tidak akan lagi memberikan komitmen terhadap
NATO dan keamanan Eropa. Trump juga mengancam akan menarik pasukan-pasukan
militer AS yang ditempatkan di Eropa dan Asia jika negara-negara sekutunya di
kawasan itu tidak membayar biaya perlindungan AS.
Ketidakjelasan
kebijakan politik Trump di atas pada akhirnya memicu negara-negara yang
selama ini menggantungkan diri pada keamanan AS mulai berbenah diri dengan
melakukan 'self help'. Isyarat ini mulai terlihat di Eropa. Pada pertemuan
para menteri pertahanannya mid November 2016, mereka berencana membentuk
pasukan keamanan dengan markas besar di Brussels. Jepang juga melakukan gerak
cepat, antara lain mulai berpaling ke Rusia. Mid Desember 2016 di Yamaguchi,
PM Abe dan Presiden Putin sepakat meningkatkan hubungan bilateral meski
mereka memiliki konflik teritorial.
Kebijakan
inward-looking yang dikesankan Trump dengan mundur dari kawasan Asia tentu
akan berpengaruh dalam tata keamanan regional. Situasi kevakuman ini
berpotensi memunculkan kepemimpinan baru dalam arsitektur keamanan regional.
Tanpa adanya satu kekuatan penyeimbang yang selama ini dilakukan AS, Tiongkok
berpeluang sebagai satu-satunya kekuatan hegemon di kawasan dengan dukungan
kekuatan besar ekonomi dan pertahanan keamanannya. Rusia juga berpeluang
menancapkan kembali kehadirannya di kawasan. Pada sisi lain, mundurnya AS
juga akan semakin memuluskan inisasi Tiongkok akan perdagangan bebas melalui
Regional Cooperation on Economic Patnership (RCEP).
Sikap
'mundur' Trump dari kawasan dan sikap agresif Tiongkok di Laut China Selatan
(LTS) membuat khawatir stabilitas keamanan di wilayah yang disengketakan enam
negara. Tiongkok yang akan semakin menguasai wilayah itu dikhawatirkan dapat
mengancam kebebasan berlayar di LTS seperti yang diberlakukannya Air Defense
Identification Zone (ADIZ) di Laut China Timur pada November 2013.
Meskipun
kebijakan inward-looking dinyatakan Trump, implementasinya perlu dicermati.
AS tidak mudah menarik kehadirannya di kawasan Asia sebagai salah satu pusat
pertumbuhan ekonomi baru dunia. AS juga tidak mudah menutup perbatasan
AS-Meksiko yang berdampak hilangnya jalur tenaga kerja murah yang dinikmati
AS.
Di
tengah ketidakpastian lingkungan strategis global ini, yang paling tepat bagi
RI melakukan antisipasi. Ekspor yang kemungkinan menurun dengan menguatnya
kebijakan proteksionis AS dan masih terjadinya pelambatan perdagangan global
harus diimbangi dengan penguatan pasar domestik. Peningkatan investasi dan
perdagangan intra kawasan juga bisa menjadi pilihan. Apalagi, perdagangan
intra kawasan menunjukkan penguatan. Tahun 2015, ekonomi ASEAN terbesar ke-7
di dunia, dan urutan ke-3 di dunia.
Indonesia
juga perlu membangun strategi agar tidak terlindas ketidakpastian global.
Inisiasi Indonesia untuk membuat perdagangan bebas antara ASEAN dan Pacific
Alliance (Meksiko, Peru, Cile, dan Kolombia) yang disampaikan Jusuf Kalla
pada APEC di Peru baru-baru ini merupakan isyarat perlunya memperluas
'jangkar' kerja sama dengan negara-negara menengah lainnya. Blok perdagangan
baru ini juga dapat dilihat sebagai alternatif tidak adanya TPP, dan
kemungkinan dominasi Tiongkok di RECP.
Di
tengah ketidakpastian lingkungan strategis, posisi Indonesia sangat penting.
Tidak saja kapasitas material yang dimiliki dalam segi geografi, demografi,
dan ekonomi, tetapi Indonesia juga penting dari keamanan. Sebagai kekuatan
menengah, Indonesia berpeluang menjadi inisiator pemeliharaan stabilitas
keamanan di kawasan. Rekam jejak diplomasi Indonesia sebagai honest broker
dalam menanggulangi deficit distrust kawasan dapat terus dijalankan.
Untuk
itu, Indonesia perlu juga merangkul negara-negara kekuatan besar dalam upaya
menjaga stabilitas kawasan dan sambil mengoptimalkan kepentingan nasional
dari dominasi kekuatan tunggal. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh
perubahan kebijakan ekonomi politik AS Trump dapat menjadi peluang dan
sekaligus momentum bagi RI untuk memainkan peran yang lebih konstruktif di
kawasan.
Tentu
apa yang disampaikan di atas masih sebatas spekulasi. Kita perlu terus
mencermati perkembangan ekonomi politik AS. Apakah arah kebijakan pemerintah
baru AS setelah Trump dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari 2017
benar-benar akan mengakomodasi janji-janji kampanye Trump. Jika memang
demikian adanya, kita memang perlu waspada dan mengambil langkah antisipatif
dan kebijakan yang responsif agar Trump effect dapat kita minimalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar