Bernyanyi
Samuel Mulia ;
|
KOMPAS, 15 Januari
2017
Tepat
di hari Natal dan beberapa hari sebelumnya, saya menghadiri ibadah Natal.
Dalam ibadah itu disuguhkan paduan suara yang merdu nan menggelegar, yang
membuat saya berkata dalam hati, mengapa mereka tak ikut kompetisi menyanyi
bergengsi sejagat raya. Saya kok yakin mereka bisa keluar sebagai juara
utama.
Air muka
Tulisan
di hari Minggu ini bukan karena saya terinspirasi suara luar biasa itu,
tetapi melihat mimik para penyanyi saat melantunkan lagu penuh kegembiraan
itu. Mimik yang terlihat begitu kaku, terlihat tegang, bahkan tersenyum saja
pun tidak.
Padahal,
mereka sedang melantunkan pujian yang menurut pendapat saya bukan hanya untuk
jemaat yang tengah mendengarkan, melainkan juga untuk Tuhan yang sudah
mengaruniakan mereka suara yang membuat merinding itu.
Saya
memang bukan penyanyi. Teman saya saja menutup telinga, bahkan menyarankan
untuk berhenti kalau mendengar saya menyanyi. Tetapi, satu hal yang bisa saya
rasakan, pujian-pujian dahsyat itu sepertinya tak dilantunkan dari hati.
Suara yang menggelegar itu hanya datang dari pita suara yang ciamik, dan
bukan dari hati yang memang bergembira.
Di
saat menyaksikan dan mendengarkan paduan suara itu, saya berpikir, mengapa
itu bisa terjadi? Mengapa lagu gembira bisa dilantunkan dengan wajah tanpa
senyum? Apakah karena hatinya lara, tetapi kewajiban bernyanyi tetap harus
dilakukan?
Apakah
mungkin mereka hanya menyanyi karena sebuah kewajiban, dan sama sekali tak
ditujukan untuk siapa-siapa, atau mungkin juga mereka tak bisa tersenyum,
karena susah melakukannya sambil menyanyi.
Atau
mungkin mereka berkonsentrasi penuh karena takut salah menyanyi, takut salah
melafalkan liriknya, takut kalau suara mereka tidak bisa kompak, takut
dimarahi oleh pimpinannya kalau membuat kekeliruan karena akan memalukan,
apalagi di hari istimewa.
Atau
di saat mereka melantunkan lagu-lagu merdu itu, sejujurnya setiap anggota
sedang bersaing ingin menunjukkan suara terbaik mereka, sehingga setiap orang
berkonsentrasi bersaing dan bukan fokus untuk bernyanyi bersama dengan riang
dan dengan gembira. Sungguh saya tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.
Ketar-ketir
Beberapa
hari kemudian saya menceritakan dua kejadian di atas kepada seorang teman yang
cukup dekat, tetapi bukan sahabat. Saya ini sudah hidup sekian puluh tahun
tak pernah punya sahabat. Saya tak pernah menyukai persahabatan, tetapi lebih
cocok dengan pertemanan.
Karena
pengalaman telah mengajari, persahabatan itu membuat seseorang cenderung
merasa punya hak untuk memiliki dan berkuasa atas persahabatan itu. Dan buat
saya, itu sama sekali tidak sehat. Saya sungguh angkat topi buat mereka yang
bisa bersahabat berpuluh tahun lamanya.
Setelah
selesai mendengarkan cerita atas kejadian di atas, teman saya berkomentar.
Komentarnya tak berbeda dengan belati tajamnya. "Pertama-tama aku mau
minta maaf kalau pendapat aku bakal nyakitin kamu. Tetapi aku yakin kamu
masih waras untuk menerima ini, bahkan kalau kamu benar-benar tersinggung."
"Sebetulnya
kamu juga sama aja, gak ada bedanya. Mereka bernyanyi dengan muka yang kaku,
yang gak tersenyum, dan yang meminjam istilahmu menyanyi bukan dari hati, dan
kamu ngejalanin hidup juga banyak menggerutunya, gak ada senyumnya, kamu
melihat hidup dengan kekakuan yang sangat. Makanya kamu itu kenapa sukanya
protes, karena kamu melihat orang bisa hidup enggak kaku, sementara kamu gak
bisa."
"Kamu
melantunkan nyanyian kehidupan aja dengan lirik yang paling kasar dan penuh
dengan keluhan. Belum lagi kalau uda lihat kamu membanting telepon genggam
sampai pecah. Ya, kan? Mereka bernyanyi pakai muka kenceng, kamu nyanyi pakai
mulut kagak sekolahan."
Ia
tetap bercerita meski tingkat ketersinggungan saya sudah mulai sedikit
meninggi. "Kamu mau tahu lirik macam apa yang kamu dendangkan dari mulut
dan lidahmu yang tak bertulang itu? Dengerin..."
"Nyanyian
kamu itu terlalu banyak lirik yang sumbang. Kamu bilang paduan suaranya
terlalu berkonsentrasi karena takut salah, takut ini, takut itu. Lah, kamu?
Sama aja, ciinnnn. Kamu itu ngejalanin hidup dengan menghabiskan energi
berkonsentrasi dengan ketakutan, dengan ketar- ketir. Takut mati, takut
sakit, takut miskin, takut dollar naik, takut kagak laku. Meski maaf, kamu
emang sampai sekarang kagak laku-laku."
"Ngapain
berdoa siang malam kalau kamu kuatir siang malam? Ngapain berdoa kalau kamu
bersaing untuk mengalahkan seseorang? Emang isi doa kamu itu kayak gitu, ya?
Kamu tahu enggak sih, bahwa hidup ini bukan sebuah perlombaan, tetapi sebuah
lahan luas yang kamu bisa nikmati dengan nyanyian kehidupanmu sendiri?"
"Jadi,
ya, bro, kalau paduan suaranya merdu nan menggelegar tetapi menurut elo tidak
dinyanyikan dari hati sehingga tak ada senyum di bibir, sekarang coba lihat
aja bibir elo sendiri. Bibir elo itu emang menggelegar sih. Menggelegarkan
kekhawatiran." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar