Disiplin
Fiskal dan Pengampunan Pajak
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 09 Januari
2017
Tahun
2016 merupakan periode yang dinamis dalam pengelolaan fiskal kita. Pemerintah
mencoba menargetkan belanja tinggi, Rp 2.080 triliun, yang didu- kung
penerimaan pajak yang tinggi pula, Rp 1.539 triliun. Kredibilitas angka-angka
ini diragukan, mengingat perekonomian Indonesia dan global masih lesu.
Jatuhnya harga minyak dunia ke titik nadir 27 dollar AS per barrel pada
Februari 2016 sebenarnya sudah mengindikasikan lesunya perekonomian global.
Bagi Indonesia, hal ini kian mencekam karena menyeret harga komoditas,
terutama batubara.
Namun,
pemerintah tidak menyerah dan mencanangkan program pengampunan pajak yang
dimulai pada Juli 2016. Selain untuk memperkuat basis pajak, program ini juga
bisa menaikkan penerimaan pajak secara instan. Program pengampunan pajak
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada akhir periode II (31 Desember 2016),
deklarasi harta mencapai Rp 4.296 triliun, uang tebusan (penerimaan pajak) Rp
103 triliun, dan repatriasi Rp 141 triliun (sekitar 10 miliar dollar AS).
Sebagai perbandingan, aset total perbankan kita saat ini Rp 6.400 triliun dan
cadangan devisa 111 miliar dollar AS. Dengan demikian, pengampunan pajak
cukup signifikan dan bisa disebut sukses.
Namun,
keberhasilan ini belum mampu menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2016. Realisasi pajak Rp 1.283 triliun tetap meleset
(shortfall) Rp 255 triliun dari target. Sementara defisit APBN mencapai Rp
307 triliun. Berita bagusnya, defisit itu setara dengan 2,46 persen terhadap
produk domestik bruto (PDB), atau lebih baik daripada ekspektasi Menteri
Keuangan sebesar 2,7 persen.
Potret
fiskal kita pada 2016 tidak bisa dibilang baik. Namun, keberhasilan menahan
defisit APBN, yang mencerminkan keberhasilan menjalankan disiplin fiskal,
layak diapresiasi. Hasrat pemerintah untuk agresif membangun infrastruktur
dan mewujudkan kesejahteraan melalui sistem jaminan sosial nasional tidak
mengabaikan kesehatan fiskal. Fiskal boleh defisit, tetapi jangan dibiarkan
liar tak terkendali. Itulah esensi politik fiskal.
Brasil
menjadi sorotan karena lemahnya menjaga disiplin fiskal, padahal memiliki
kekuatan terbesar di Amerika Latin. Brasil rajin membangun infrastruktur,
misalnya untuk menyelenggarakan Olimpiade Rio de Janeiro dan tuan rumah Piala
Dunia sepak bola. Ini mengingatkan kita pada agresivitas Tiongkok yang
belanja infrastrukturnya mencapai 10 persen terhadap PDB, sementara anggaran
infrastruktur Brasil 5 persen terhadap PDB. Namun, Brasil tidak mampu menjaga
defisit APBN melampaui 10 persen terhadap PDB.
Bermula
dari kegagalan menjaga disiplin fiskal, Brasil mengalami mata rantai buruk.
Pertumbuhan ekonomi minus 3,8 persen (2015) dan berlanjut minus 3,2 persen
(2016); pengangguran 11,8 persen; pendapatan per kapita anjlok dari 13.200
dollar AS (2011) menjadi 8.600 dollar AS (2015); investasi merosot 14 persen
setahun. Puncaknya, Presiden Dilma Rousseff jatuh pada 31 Agustus 2016 karena
buruknya perekonomian.
Penilaian terhadap
Indonesia
Terkait
kondisi Indonesia, banyak lembaga finansial internasional menaruh asa
terhadap prospek perekonomian Indonesia pada 2017, misalnya rilis terbaru
oleh HSBC yang prospektif. Sementara IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia 5,1 persen. Ini versi yang paling rendah karena Bank Dunia dan
Bloomberg mematok angka yang lebih tinggi, 5,3 persen. Sementara itu,
Pemerintah Indonesia bersikap realistis dengan menargetkan pertumbuhan
ekonomi 5,1 persen.
Tahun
2017 akan tetap tidak mudah bagi kita. Inflasi yang pada 2016 dapat ditekan
rendah 3,02 persen kemungkinan akan meningkat ke 4 persen. Kenaikan harga
yang disebabkan kebijakan pemerintah (administered
price), seperti kenaikan tarif listrik dan elpiji, sudah pasti akan
menaikkan inflasi. Target inflasi 4 persen pada 2017 rasanya masuk akal.
Nilai
tukar rupiah yang mengalami apresiasi 2,6 persen pada 2016 akan menghadapi
tekanan berat karena kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi,
yang berakibat apresiasi dollar AS. Namun, saya tidak yakin The Fed akan
menaikkan suku bunga sampai tiga kali pada 2017. Apresiasi dollar AS yang
terlalu besar berdampak buruk bagi daya saing produk-produk AS. Presiden baru
Donald Trump yang amat menaruh perhatian pada defisit perdagangan AS pasti
tidak akan mengizinkannya.
Risiko
pelemahan nilai tukar rupiah bisa diatasi jika kita mampu menggenjot
repatriasi. Jika dana repatriasi bisa masuk 20 miliar dollar AS-30 miliar
dollar AS, nilai tukar rupiah serta-merta menguat dan stabil. Menteri
Keuangan dan jajarannya harus bekerja keras mewujudkannya pada triwulan
I-2017 ini.
Dengan
segala kesulitan dan kendala yang ada, prospek kita tidaklah sesuram yang
dibayangkan. Namun, itu semua tentu bergantung pada upaya-upaya keras yang
akan kita lakukan di sepanjang 2017. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar