Senin, 09 Januari 2017

Hoax

Hoax
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                    TEMPO.CO, 07 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berbohong adalah salah satu sifat buruk yang dibawa manusia hidup di bumi ini. Berarti orang berbohong dan berita bohong sudah ada sejak dulu. Bahwa kini masalahnya sangat serius, itu lantaran berita hoax dikembang-biakkan oleh media sosial dengan teknologi yang semakin canggih.

Sementara itu, masyarakat terbelah oleh berbagai kepentingan politik. Saling percaya sesama manusia hilang begitu ada kepentingan yang berbeda. Ini gejala tumpulnya nurani, di mana orang tega menyebarkan kebohongan dan sebagian mempercayainya hanya karena satu kelompok.

Sudah pasti di setiap agama, berbuat bohong itu adalah dosa. Berat hukumannya, baik hukuman duniawi maupun hukuman akhirat. Namun orang tahu manusia diciptakan Tuhan dengan berbagai sifat baik dan buruk agar selalu terjadi “pergolakan yang dinamis”. Dengan itulah ajaran agama menjadi penting.

Menarik dikenang sejarah bangsa yang (dulu) berbudaya luhur ini, bagaimana melawan kebohongan. Yang diciptakan lebih dulu justru memilah kebohongan sehingga ada yang disebut “berbohong yang dibenarkan”. Ada lima jenisnya, dan itu disebut Panca Nrta. Di luar lima itulah kebohongan yang dijadikan musuh bersama.

Kelimanya adalah, pertama, berbohong kepada anak-anak. Contohnya pada masa lalu, tidak boleh menduduki bantal karena nanti bisa bisulan. Ini untuk menegakkan sopan-santun karena bantal untuk alas kepala, jadi tidaklah sopan diduduki. Kedua, berbohong bagi pedagang. Pedagang di pasar berani bersumpah bahwa harga yang dipatoknya hanya harga pokok. Ia berbohong kepada pembeli jualannya belum laku dari tadi. Pembeli pun jatuh iba. 

Ketiga, berbohong kepada musuh. Prajurit yang tertangkap oleh musuh boleh berbohong untuk tidak menyebutkan informasi yang sebenarnya. Keempat, berbohong demi keharmonisan rumah tangga. Seorang suami memuji masakan istrinya enak, meski sangat hambar. Kelima, berbohong kepada orang sakit. Sudah tahu lagi kritis, tetap dihibur dengan kebohongan bahwa keadaannya membaik dan pasti sehat.

Kriteria “kebohongan yang dibenarkan” ini pun tergerus zaman lantaran contohnya tak valid lagi. Zaman menciptakan bantal untuk diduduki dan anak-anak pun sudah cerdas: apa hubungan bantal dengan bisul? Ibu-ibu sudah berbelanja di pasar modern, tak ada tawar-menawar, tak diperlukan kebohongan basa-basi. Prajurit yang tertangkap musuh diinterograsi dengan siksaan untuk mengorek kebenaran. Kehamonisan rumah tangga justru datang dari saling terbuka antara suami dan istri. 

Lalu apakah hoax yang dibenarkan itu masih relevan dan patut dicontoh? Bukan itu masalahnya. Pelajaran dari kearifan masa lalu ini adalah ada kriteria yang jelas untuk memilah hoax mana yang dijadikan musuh utama dan mana yang bisa ditenggang. Tanpa kriteria yang jelas, kita berputar-putar tanpa ada langkah pasti. Presiden marah hoax tak bisa dibendung. Dibentuklah badan cyber, situs diblokir, lahir masyarakat pemantau anti-hoax. Tapi hoax jenis mana yang tak boleh ampun harus diperangi dan apa sanksi bagi pencipta hoax?

Apakah pembuat hoax B.J. Habibie meninggal perlu diproses hukum atau cukup dipublikasikan namanya, sehingga masyarakat mencemoh ramai-ramai tindakan yang tidak bermoral ini? Apakah hoax 10 juta buruh Cina itu cukup dibalas dengan data yang benar atau diproses hukum, padahal kita tahu penjelasan yang ada juga tak seragam? Situs mana saja yang perlu diblokir? Semua ini perlu dirumuskan selain akar masalahnya dibenahi, yakni bagaimana merekatkan kembali hubungan harmonis di masyarakat. Ini jauh lebih penting karena hoax hanya subur di tengah masyarakat amburadul. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar