Hoax
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 07 Januari
2017
Berbohong
adalah salah satu sifat buruk yang dibawa manusia hidup di bumi ini. Berarti
orang berbohong dan berita bohong sudah ada sejak dulu. Bahwa kini masalahnya
sangat serius, itu lantaran berita hoax dikembang-biakkan oleh media sosial
dengan teknologi yang semakin canggih.
Sementara
itu, masyarakat terbelah oleh berbagai kepentingan politik. Saling percaya
sesama manusia hilang begitu ada kepentingan yang berbeda. Ini gejala
tumpulnya nurani, di mana orang tega menyebarkan kebohongan dan sebagian
mempercayainya hanya karena satu kelompok.
Sudah
pasti di setiap agama, berbuat bohong itu adalah dosa. Berat hukumannya, baik
hukuman duniawi maupun hukuman akhirat. Namun orang tahu manusia diciptakan
Tuhan dengan berbagai sifat baik dan buruk agar selalu terjadi “pergolakan
yang dinamis”. Dengan itulah ajaran agama menjadi penting.
Menarik
dikenang sejarah bangsa yang (dulu) berbudaya luhur ini, bagaimana melawan
kebohongan. Yang diciptakan lebih dulu justru memilah kebohongan sehingga ada
yang disebut “berbohong yang dibenarkan”. Ada lima jenisnya, dan itu disebut
Panca Nrta. Di luar lima itulah kebohongan yang dijadikan musuh bersama.
Kelimanya
adalah, pertama, berbohong kepada anak-anak. Contohnya pada masa lalu, tidak
boleh menduduki bantal karena nanti bisa bisulan. Ini untuk menegakkan
sopan-santun karena bantal untuk alas kepala, jadi tidaklah sopan diduduki.
Kedua, berbohong bagi pedagang. Pedagang di pasar berani bersumpah bahwa
harga yang dipatoknya hanya harga pokok. Ia berbohong kepada pembeli
jualannya belum laku dari tadi. Pembeli pun jatuh iba.
Ketiga,
berbohong kepada musuh. Prajurit yang tertangkap oleh musuh boleh berbohong
untuk tidak menyebutkan informasi yang sebenarnya. Keempat, berbohong demi
keharmonisan rumah tangga. Seorang suami memuji masakan istrinya enak, meski
sangat hambar. Kelima, berbohong kepada orang sakit. Sudah tahu lagi kritis,
tetap dihibur dengan kebohongan bahwa keadaannya membaik dan pasti sehat.
Kriteria
“kebohongan yang dibenarkan” ini pun tergerus zaman lantaran contohnya tak
valid lagi. Zaman menciptakan bantal untuk diduduki dan anak-anak pun sudah
cerdas: apa hubungan bantal dengan bisul? Ibu-ibu sudah berbelanja di pasar
modern, tak ada tawar-menawar, tak diperlukan kebohongan basa-basi. Prajurit
yang tertangkap musuh diinterograsi dengan siksaan untuk mengorek kebenaran.
Kehamonisan rumah tangga justru datang dari saling terbuka antara suami dan
istri.
Lalu
apakah hoax yang dibenarkan itu masih relevan dan patut dicontoh? Bukan itu
masalahnya. Pelajaran dari kearifan masa lalu ini adalah ada kriteria yang
jelas untuk memilah hoax mana yang dijadikan musuh utama dan mana yang bisa
ditenggang. Tanpa kriteria yang jelas, kita berputar-putar tanpa ada langkah
pasti. Presiden marah hoax tak bisa dibendung. Dibentuklah badan cyber, situs
diblokir, lahir masyarakat pemantau anti-hoax. Tapi hoax jenis mana yang tak
boleh ampun harus diperangi dan apa sanksi bagi pencipta hoax?
Apakah
pembuat hoax B.J. Habibie meninggal perlu diproses hukum atau cukup
dipublikasikan namanya, sehingga masyarakat mencemoh ramai-ramai tindakan
yang tidak bermoral ini? Apakah hoax 10 juta buruh Cina itu cukup dibalas
dengan data yang benar atau diproses hukum, padahal kita tahu penjelasan yang
ada juga tak seragam? Situs mana saja yang perlu diblokir? Semua ini perlu
dirumuskan selain akar masalahnya dibenahi, yakni bagaimana merekatkan
kembali hubungan harmonis di masyarakat. Ini jauh lebih penting karena hoax
hanya subur di tengah masyarakat amburadul. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar