"Hoax"
Kanker Demokrasi
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Direktur Centre
of Statecraft and Citizenship Studies Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 11 Januari
2017
Ibarat
sebuah kanker yang tumbuh tidak terkendali dan menyerang berbagai bagian
tubuh manusia melalui aliran darah, hoax yang menyebar melalui arus informasi
digital berpotensi meruntuhkan jaringan tubuh politik republik.
Ketika
tingginya kualitas pendalaman demokrasi ditentukan oleh perluasan partisipasi
politik dan aksi kolektif warga dalam memengaruhi ruang politik,
maka-sebaliknya-setiap aksi kolektif ataupun partisipasi politik warga dalam
arena demokrasi yang dilandasi oleh informasi hoax atau fitnah justru
menghancurkan, alih-alih menguatkan, tatanan demokrasi.
Hoax,
sebagai kabar bohong yang sedemikian rupa diproduksi untuk memengaruhi dan
memprovokasi audiensi untuk bergerak sesuai orientasi kepentingan dari
pembuatnya, saat ini tengah menyebar luas dalam lalu lintas perbincangan di
ruang publik digital kita. Di Indonesia, fenomena hoax mulai menyebar
semenjak Pemilihan Umum Presiden 2014.
Kita
masih mengingat betapa kabar kebohongan yang digunakan untuk menghancurkan
kredibilitas lawan politik pada momen politik itu diproduksi melalui isu-isu
sensitif: rasialisme, ideologi, maupun agama. Padahal, kabar yang diproduksi
tersebut tidak memiliki fakta sosial yang kuat. Akan tetapi, efek sosialnya,
selain berupa serangan dan penolakan suatu kelompok politik terhadap yang
lain, juga bangunan keberagaman, toleransi dan multikulturalisme di Indonesia
melemah diterpa gelombang berita fitnah.
Gelombang "hoax"
Wabah
penyebaran hoax tidak hanya melanda negara yang mengalami perkembangan
demokrasi, tetapi negara-negara dengan sejarah demokrasi yang panjang juga
mengalami persoalan serupa. Salah satu hoax yang saat ini melanda Indonesia,
misalnya, terkait ancaman tenaga kerja imigran dari Tiongkok dan isu SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan), sesungguhnya juga menjadi isu hoax di belahan
dunia lainnya.
Sebutlah
agenda politik anti-imigran yang diusung oleh berbagai kekuatan politik kaum
nasionalis sayap kanan, seperti kelompok National Front di Perancis di bawah
pimpinan Marine Le Pen, Party of Freedom di Belanda di bawah Geert Wilders,
ataupun kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS 2016.
Pertumbuhan
dukungan politik terhadap mereka dipasok oleh kampanye hoax bernuansa
rasialisme. Kampanye seperti "Tiga Juta Pengangguran, Tiga Juta
Imigran" atau "Islam Mengancam Kebebasan Kita, Awasi Kaum
Muslim", serta berbagai retorika berbalut SARA dan berita bohong
berkembang menjadi kontroversi yang mengancam perlindungan terhadap kaum
marjinal sekaligus memperkuat posisi politik dari kekuatan yang mengklaim
melindungi mayoritas. Akhirnya, baik nilai-nilai liberte, egalite, fraternite
yang menjadi kebanggaan Perancis maupun Life, Liberty and Pursuit of
Happiness yang menjadi spirit demokrasi AS tengah menghadapi hantu fanatisme
dan rasialisme (Todorov 2014; Broning
2016; Mudde 2016).
Mengapa berkembang?
Sebuah
pertanyaan penting yang patut dijawab seiring dengan keresahan di atas,
mengapa dalam dunia yang semakin terbuka terhadap proses demokrasi justru
publik dengan mudahnya menerima fitnah sebagai landasan bertindak dan
kebencian terhadap yang lain sebagai orientasi politik?
Apabila
pertanyaan ini didekati dari perspektif sosiologi politik ataupun
ekonomi-politik, jawabannya tidak bisa dilepaskan dari berlangsungnya proses
dislokasi sosial di banyak tempat sebagai efek dari krisis sosial-ekonomi
yang tidak mampu diantisipasi dengan baik oleh kekuatan politik yang berpijak
pada agenda-agenda demokrasi.
Mari
kita lihat sekilas statistik Indonesia. Dalam ulasan tentang problem
kesenjangan sosial pada tahun 2016 yang dilansir Bank Dunia disebutkan bahwa
saat ini 1 persen dari lapisan sosial terkaya di Indonesia menguasai
distribusi sumber daya ekonomi sebesar hampir 50 persen. Sementara 10 persen
dari mereka yang terkaya menguasai sekitar 77 persen dari sumber daya yang
ada dan menyisakan sekitar 23 persen sisanya kepada 90 persen mayoritas warga
Indonesia (Bank Dunia, 2016).
Di
tengah angka kesenjangan ekonomi dan menguatnya problem ketidakadilan, pada
akhirnya memicu kecemasan sosial di banyak tempat. Kondisi demikian diperkuat
efek sosialnya akibat melemahnya koneksitas politik antara negara dan
masyarakat sipil ataupun kekuatan politik dengan konstituennya. Baik negara
maupun kekuatan politik strategis, seperti diutarakan Larry Bartels dalam
Unequal Democracy (2016), yang semakin tidak responsif dengan agenda-agenda
publik dan makin terserap oleh kepentingan pasar.
Ancaman
pemiskinan sosial, diskoneksi politik antara elite dan warga, semua itu
menumbuhkan persenyawaan antara kecemasan dan rasa takut di lapisan
masyarakat. Di banyak negara, termasuk di Indonesia, kondisi seperti ini
dimanfaatkan oleh berbagai kekuatan elite yang mengklaim mengatasnamakan
suara mayoritas untuk mengarahkan kecemasan sosial tersebut pada ancaman
kehadiran kaum imigran, dominasi kelompok minoritas, ataupun intervensi
asing. Ketika fakta sosial yang ada tidak dapat menunjang klaim yang
diciptakan, hoax jadi racun mujarab di tengah masyarakat yang semakin
kehilangan kemampuan refleksi dan semakin melemahnya habitus literasi.
Hoax sebagai instrumen politik bukanlah sebuah
tanda lahirnya alternatif dari masyarakat sipil terhadap kekuasaan negara.
Hal ini mengingat bahwa penyebaran informasi hoax hadir sebagai bagian dari
pertarungan antara kekuatan di antara elite oligarki untuk memperebutkan
kekuasaan dengan memanipulasi kecemasan publik.
Dengan
demikian, perjuangan melawan kanker hoax adalah perjuangan dari nalar
kemanusiaan dari musuh-musuhnya, di mana prinsip-prinsip kemerdekaan,
demokratisasi pengetahuan, dan partisipasi publik yang setara adalah obat
mujarab satu-satunya untuk mencegah penjalaran kanker tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar