Harga
Cabai dan Nasib Petani
Bagong Suyanto ; Dosen Mata Kuliah Kemiskinan dan Kesenjangan
Sosial
Program Pascasarjana Ilmu Sosial
FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA INDONESIA,
11 Januari 2017
RASA
pedas cabai rawit merah tidak hanya terasa di lidah, tetapi juga mengoyak
kantong masyarakat yang menyukai makanan dan rasa pedas. Di pasaran, harga
cabai rawit dilaporkan rata-rata Rp140 ribu per kilogram. Di sejumlah daerah,
seperti Samarinda, harga cabai bahkan dilaporkan sempat melambung tinggi
hingga Rp250 ribu per kilogram.
Kenaikan
harga cabai hingga sepuluh kali lipat dari kondisi normal itu wajar jika
kemudian mengejutkan banyak pihak. Bisa dibayangkan, jika dalam kondisi
normal menjual cabai dengan harga Rp40 ribu per kilogram saja nyaris
mustahil, dalam beberapa hari terakhir tiba-tiba harga cabai melonjak hingga
Rp200 ribu lebih per kilogram. Di mana letak kesalahan yang terjadi?
Bagi
negara agraris beriklim topis seperti Indonesia dengan hanya bermodal sedikit
tanah di pot dan benih cabai kering saja semua rumah tangga bisa menanam
cabai sendiri kenaikan harga cabai yang luar bisa tinggi seperti terjadi
belakangan ini sesungguhnya merupakan sebuah ironi. Dikatakan ironi karena
dari sisi produksi, konon katanya ketersediaan cabai sebetulnya tidak ada
masalah. Persoalannya ialah pada sisi pengaturan distribusi dan kemungkinan
adanya sejumlah pihak yang mencoba memainkan harga cabai di pasaran.
Efek
anomali cuaca dan La Nina yang membuat curah hujan berkepanjangan, untuk
sebagian mungkin benar telah membuat produksi cabai di sejumlah daerah sentra
produksi cabai seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat agak menurun. Akan
tetapi, apakah benar hanya karena curah hujan yang berkepanjangan lantas produksi
cabai menjadi langka hingga harganya kemudian melambung luar biasa tinggi?
Benarkah persoalan kenaikan harga cabai semata hanya karena faktor alam?
Manajemen distribusi
Kasus
harga cabai yang melambung tinggi di luar nalar sesungguhnya bukan fenomena
ekonomi-pasar yang sekali-dua kali terjadi. Kenaikan berbagai komoditas
pertanian yang tidak masuk akal boleh dikata telah berkali-kali dan puluhan
tahun terjadi terulang-ulang. Hal yang memprihatinkan ialah kenapa pemerintah
yang telah berkali-kali menghadapi situasi seperti ini seolah bebal atau sama
sekali tidak bisa memprediksi kemungkinan terjadinya kasus serupa?
Jika
benar curah hujan berkepanjangan yang membuat cabai langka hingga harganya
naik drastis, bukankah pemerintah dengan mudah bisa segera mengatasinya
dengan melakukan manajemen pengaturan distribusi produksi? Di daerah yang
sedang terkena dampak La Nina, produksi cabai yang turun tentu akan bisa
diganti dari daerah lain yang memiliki produksi cabai yang tinggi.
Katakanlah
total kebutuhan cabai di seluruh Indonesia di 2017 tidak berubah, yakni
sekitar 150 ribu ton per harinya seperti 2016. Dengan memiliki peta yang
jelas dan rincian kapasitas produksi di berbagai daerah sentra produksi
cabai, pemerintah dengan mudah akan bisa mengatur distribusi silang
antardaerah. Jika sebuah daerah kekurangan produksi cabai, daerah lain yang
membutuhkan dengan cepat bisa diambilkan dari daerah yang surplus cabai.
Selain
itu, dengan mengetahui terlebih dahulu bahwa di bulan-bulan curah hujan
tinggi--seperti November hingga Maret--mungkin produksi cabai menurun,
pemerintah tentu bisa menutupi kekurangan itu dengan langkah membuat
terobosan mendorong dan memfasilitasi petani agar dapat menanam cabai di luar
musim dengan dukungan pompa air dan irigasi, khususnya di daerah-daerah yang
masyarakatnya merupakan segmen konsumen terbesar cabai seperti wilayah
Jabodetabek dan Jawa Timur. Pendek kata, dengan pemetaan dan manajemen
distribusi yang baik, di atas kertas persoalan kelangkaan produksi dan
kenaikan harga cabai yang menggila tidak akan terjadi atau minimal bisa
dikurangi.
Nasib petani
Di
luar persoalan manajemen distribusi dan menjamin pasokan produksi cabai,
persoalan yang acap kali diabaikan ialah bagaimana nasib petani dalam
fluktuasi harga komoditas yang mereka hasilkan? Pertanyaan ini penting untuk
dijawab, sebab selama ini meskipun harga berbagai komoditas yang dihasilkan
petani naik luar biasa tinggi, ternyata di tingkat petani harga jual produk
pertanian mereka tetap saja bergeming.
Di
pasaran, harga cabai yang melambung hingga Rp140 ribu bahkan Rp250 ribu
ternyata harga yang dipatok tengkulak yang membeli cabai dari para petani
hanya sekitar Rp20 ribu-Rp30 ribu--jauh dari harga pasar yang mereka lihat di
televisi atau diberitakan di berbagai media massa. Di berbagai wilayah
perdesaan, sudah bukan rahasia lagi bahwa petani selalu menjadi pihak yang
tidak berdaya melakukan tawar-menawar apalagi menolak harga yang ditentukan
para tengkulak.
Berbeda
dengan para spekulan dan tengkulak yang kerap kali bisa memainkan harga,
mengatur pasokan cabai, dan memaksa petani mau menerima harga jual komoditas
di tingkat yang terendah, sebagai produsen utama yang menghasilkan cabai atau
komoditas pertanian lain, petani justru kerap kali memperoleh pembagian margin
keuntungan yang paling tipis. Padahal, semua risiko yang mungkin terjadi,
mulai gagal panen karena serangan hama atau karena anomali cuaca, selama ini
selalu menjadi tanggungan petani.
Bagi
para tengkulak, yang penting ialah bagaimana mereka dapat memperoleh
komoditas kualitas terbaik dari petani dengan harga yang serendah-rendahnya.
Sama seperti petani tembakau, petani bawang, atau petani lain yang belakangan
ini nasib mereka juga kian tidak menentu karena anomali cuaca, petani cabai
rawit tampaknya tidak memiliki kesempatan yang sama menikmati kenaikan harga
cabai di pasaran karena posisi bargaining
yang lemah. Para petani yang sebagian meminjam modal dari tengkulak atau
pedagang perantara biasanya tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya
ketergantungan yang sengaja dikonstruksi para tengkulak untuk menekan petani.
Di
saat produksi melimpah dan terjadi overstock,
para petani pasti menjadi pihak pertama yang paling menderita karena harus
menanggung kerugian terbesar akibat terjadinya penurunan harga komoditas
pertanian. Sementara itu, ketika harga komoditas pertanian membaik, para
petani biasanya tidak akan ikut kecipratan menikmati kenaikan harga yang
terjadi di pasaran karena pihak yang mengambil keuntungan niscaya adalah para
tengkulak dan pedagang perantara yang selama ini menguasai permainan harga
dan pasar. Untuk memastikan agar tidak lagi terjadi gejolak harga komoditas
pertanian seperti cabai rawit di samping pengaturan distribusi yang lebih
baik, yang tidak kalah penting ialah bagaimana membatasi ruang gerak para
spekulan dan tengkulak agar mereka tidak mendominasi pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar